Keterpanggilan
Gereja dalam Politik sebagai wujud Kemarturiaan
“Na huboto,
ndang adong hadomuan ni Gareja dohot Politik, ulaon ni Partondion do Huria i
(Politik itu bukan urusan gereja, karena gereja dilahirkan untuk hidup kerohanian)”,
ujar Bapak Andre dalam sebuah perbincangan ringan usai ibadah Minggu. Demikian
pula apa yang dikatakan oleh Ibu Maria, “Janganlah gereja ini kita kotori
dengan politik, gereja itu kudus..!!”
Pendapat Bapak Andre dan Ibu Maria di atas
menjadi wakil dari mayoritas warga gereja dalam hubungannya dengan
perpolitikan. Walaupun menurut hemat kami, mereka tidak bisa disalahkan begitu
saja, karena itulah yang selama ini yang sering diajarkan gereja dalam setiap
perbincangan masalah politik, termasuk melalui khotbah. Lebih umum, ini adalah
perwakilan sikap banyak orang Kristen yang cenderung menjauhi politik, dan
bahkan pantang berbicara tentang politik, terutama di gereja. Kita sebut sikap
ini sebagai sikap a-politik (anti-politik).
Tetapi, bila kita cermati, bukankah sikap jemaat
(baca: gereja) yang menjauhi politik itu juga sering
“dilangkahi”
oleh kita sendiri? Karena pada kenyataannya, mau tidak mau sering kali kita
harus menentukan sikap politis. Misalnya dalam pemilu, kita harus memilih.
Bahkan bila memutuskan untuk tidak turut memilih pun itu sebenarnya sudah merupakan sikap politis. Yang lebih
konkret bahkan di gereja: dalam doa-doa syafaat, kita sering memasukkan doa
untuk bangsa, negara, dan pemimpin. Bukankah itu juga sudah merupakan sikap
politis gereja?
Istilah marturia, telah dikenal sejak empat ratus
tahun sebelum Yesus lahir di Bethlehem. Merupakan buah pemikiran Sokrates dan
Plato, dua filsuf Yunani yang terkenal. Saat itu, di Athena-Yunani, untuk
mempertimbangkan kepu-tusan seadil-adilnya di ruang pengadilan, maka didatangkanlah
sejumlah martus (saksi) untuk ber-marturia atau menuturkan apa yang mereka
lihat, dengar, atau dialaminya sendiri (marturia:
perbuatan menyampaikan kesaksian).
Sehingga dengan demikian, tidaklah berdasar dan
bijaksana bila kita mencoba memilah-milah hanya ruang-ruang tertentu saja yang
menjadi “dunia” dan arah kemarturiaan gereja. Meminjam istilah Barth, Gereja
adalah “gerak” yang meng-hubungkan Kristus dengan dunia. Dunia adalah ruang di
mana Gereja bersaksi. Gereja tidak dapat ada tanpa dunia, namun dunia tidak
mempunyai tujuan tanpa Gereja yang bersaksi. Sesungguhnya semua bidang kehidupan di dunia ini menjadi
tanggung jawab panggilan kemarturiaan gereja: pendidikan, kesehatan,
kemiskinan, lingkungan hidup, ketidakadilan sosial, perbudakan, rasisme, pluralitas,
dan segala sesu-atunya yang menyangkut hajat hidup kemanusiaan, ter-masuk
politik!
Walaupun Gereja bukanlah organisasi
politik, tetapi harus kita sadari bahwa gereja adalah bagian dari “polis” (kota, dari kata “polis” inilah muncul kata “politik”: seni mengelola sebuah kota) atau
negara. Karena itu Gereja dan warga gereja tidak boleh lepas tangan atau apatis
terhadap apa yang sedang terjadi dalam negara. Yeremia 29:7 berkata, “Usahakanlah
kesejahteraan kota (polis) ke mana
kamu Aku buang, dan berdoalah untuk kota (polis)
itu kepada Tuhan, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu.” Sederhananya: Politik adalah lapangan kesaksian (kemarturiaan) gereja!
Gereja
Berpolitik, Politik yang Bagaimana?
Tentu kita pantas untuk tertunduk malu bila
keterlibatan gereja dalam politik masih hanya sebatas sebagai institusi yang
dianggap sebagai basis politik yang sungguh menjanjikan dalam rangka merebut keuntungan dan kekuatan ke-kuasaan.
Politisasi Gereja. Gereja dieksploitasi sedemikian rupa untuk meraup keuntungan
politik (misalnya: suara) dari oknum atau lembaga kepartaian tertentu. Gereja
hanya menjadi “kendaraan” mereka, ditunggangi. Ironi.
Pola dan pandangan seperti itu (Politisasi
Gereja), sesungguhnya suatu yang telah usang. Sejarah mencatat, di Eropah, pola
itu telah ditinggalkan sejak Abad Pencerahan, abad 18. Sehingga bila ada saat
ini yang masih mencoba menghidupinya, sikap itu hanya akan membuat gereja menjadi
semakin teraniaya dan terbelakang. Mereka itulah yang tidak mencintai gereja. Faktanya,
di lain sisi bila ada pihak-pihak tertentu yang masih hendak menghidupkan
partai politik yang berbasis Kristen (Gereja), menurut saya, hampir dapat
dipastikan tidak akan bertahan lama. Ronald
J. Sider dalam The Scandal of Avangelical Politics (2008), menceritakan bagaimana
orang-orang Injili di Zambia merebut kekuasaan politik dan mengantarkan Chiluba
sebagai presiden (1991), be-liau yang mendeklarasikan negara itu sebagai
“Negara Kristen”, tetapi akhirnya ia dipecat sebagai Presiden karena: korup!
Lalu bila demikian, bagai-manakah sikap gereja
dalam berpolitik? Gereja harus me-lakukan
politik moral (moral politic) sebagai
kesaksian pelayanannya. Gereja tidak boleh lagi masa bodoh dengan
masalah-masalah politik, namun juga tidak boleh masuk dalam politik praktis,
yaitu membentuk kekuatan politik untuk merebut kekuasaan politik. Politik agama
(baca: Gereja) sesungguhnya adalah Politik Kenabian (prophetic politics), bukanlah politik partisan (partisan politics). Politik kenabian
adalah politik moral yang senantiasa menyuarakan kebenaran: menyatakan benar
kepada yang benar dan salah kepada yang salah. Karena itu politik moral
(politik kenabian) harus senantiasa melakukan kritik kepada para penguasa dan
pemerintah yang berkuasa, agar mereka tidak melalaikan tugas dan tanggung
jawabnya yang utama yaitu memberikan kesejahteraan dan rasa aman kepada seluruh
warganya.
Kitab Suci kita merekam berbagai
cerita bagaimana nabi-nabi mun-cul dalam panggung sejarah untuk menyuarakan
suara Tuhan dan mengkritik para penguasa yang lalim, arogan, korup yang tidak
melindungi janda-janda, yatim piatu dan mereka yang lemah. Bukankah gereja
hadir sebagai Wakil Allah yang meng-gantikan peran para nabi pe-nyuara
kebenaran?
Lebih konkret, dalam konteks keindonesiaan
yang berdasarkan Pancasila dan yang sedang belajar bagaimana proses demokratisasi.
Gereja-gereja tidak bisa lagi untuk apatis (tidak peduli) terhadap politik. Namun
juga sangat menyedihkan bila gereja apalagi menjadi “alat politik”. Demikian
pula, gereja bukan hanya asal berpolitik, melainkan gereja dipanggil untuk
menggarami perpolitikan dalam perspektif Kerajaan Allah: nenghadirkan
kebenaran, suka cita, dan damai sejahtera di dalam Roh Tuhan. Gereja harus
bersikap positif, kritis, kreatif dan realistis terhadap proses perpolitikan
itu sesuai dengan porsinya sebagai kekuatan moral, bukan kekuatan massa
politik. Gereja yang tidak mampu mempertahankan jati-diri sebagai penyambung
lidah Allah, penyuara kebenaran Allah, sesungguhnya telah kehilangan “roh”-nya
sebagai gereja.
Gereja bertanggung jawab untuk memberikan
pendidikan politik sekaligus meminta pertanggungjawaban dari warganya (yang
mengaku-ngaku putera-puteri gereja) yang akan dan yang telah duduk dalam dunia
perpolitikan tersebut. Tidak boleh lagi hanya membiarkan mereka berjalan begitu
saja, bahkan harus mengawasi dan mengoreksi setiap langkah kebijakan yang
mereka ambil, apakah sesuai dengan missi gereja atau malah sebaliknya?
Demikian pula, setiap warga jemaat juga
harus selalu didorong dan dididik untuk menjadi “warga politis” yang kritis dan
cerdas. Sikap itu tidak boleh dibatasi dan dinilai dengan lembaran rupiah dan
segala bentuk pemberian yang membuat mereka tidak mampu lagi memilah kebenaran,
seperti yang sering terjadi dalam setiap pesta demokrasi belakangan ini. Karena
bila mereka sudah dapat “dibeli” maka tentu saja “suara kenabian” akan
terberangus. Warga gereja harus dengan lantang menolaknya!
Sehingga akhirnya, sesungguhnya harus
selalu disadarkan bahwa Bapak Andre, Ibu Maria, Ibu Aldi, Bapak Candra, Bapak
Tigor, dan semua anggota jemaat merupakan perwujudnyataan gereja dalam
menyuarakan politik moral, politik kenabian, politik Kerajaan Allah demi
Indonesia yang lebih bermartabat.
“The church must be reminded that it is not the master or servant of the
state, but rather the conscience of the state.”
(Martin Luther King Jr.)
Pdt. Roy Charly Sipahutar, M.Th
Tidak ada komentar:
Posting Komentar