1. Surat Kolose merupakan salah
satu surat kiriman dari penjara, ketika Rasul Paulus dipenjarakan di Roma
karena pemberitaan Injil Kristus (Ayat 3, mungkin ia dipenjara sekitaran tahun
61-63). Kolose adalah sebuah kota kecil berjarak sekitaran 160 km sebelah timur
kota Efesus, telah berdiri sebuah jemaat Kristen di sana, tidak begitu jelas
apakah Paulus pernah mengunjungi tempat ini, walaupun dalam 2:1 ada kesan ia
belum pernah ke sana. Namun yang pasti ia banyak mendapatkan informasi tentang
jemaat Kolose melalui si Epafras (1:8), yang mungkin juga pendiri jemaat Kolose
tersebut. Beberapa tantangan yang dihadapai jemaat Kolose adalah para pengajar
sesat dengan filsafat mereka, penyembahan malaikat, ajaran Yahudi, asketisme
(pertapaan), sehingga mungkin juga telah terjadi percampur-bauran (seperti
sebuah sinkretis) ajaran dalam gereja di kota Kolose tersebut.
Ada banyak penekanan-penekanan teologis
dalam surat Kolose ini, khususnya tentang Kristus dan keilahian-Nya. Kemudian
setelah itu, Paulus pada bagian akhir suratnya juga menyentuh hal-hal yang
praksis, tentang bagaimana kehidupan umat yang sesuai dengan citra Kristus itu
sendiri, dan perikop 4:1-6 ini adalah bagian dari nasehat-nasehat praksis
tersebut. Sehingga pesan pertama perikop ini menjadi jelas: tekanan teologis
penting dan menjadi berarti ketika ia memiliki tempat dalam tindakan-tindakan
praksis kita.
2. Ayat 1, agaknya masih merupakan
bagian nasehat praksis Paulus tentang hubungan antara anggota-anggota di dalam
rumah tangga yang tertuang pada bagian sebelumnya (3:18 – 4:1). Penekanan ayat
ini adalah bagaimana hubungan yang benar antara tuan dengan hambanya (Yun. doulois, bentuk jamak dari doluos: pembantu, budak, hamba). Pada
dasarnya, setiap tuan dan hamba juga adalah merupakan “hamba” dari Tuan segala
sesuatu, sehingga dengan begitu mereka sesungguhnya adalah juga merupakan “saudara”
di dalam perhambaan mereka kepada Tuan tersebut. Ini memiliki implikasi bahwa
setiap tuan tidak boleh berlaku semena-mena terhadap hambanya, tidak
memperlakukan mereka seperti benda milik ataupun tanpa derajat kemanusiaan.[1]
Semua tuan dan hamba adalah milik Kristus. Hanya ada satu Tuhan pendiri gereja,
dan semua orang adalah hamba-hamba-Nya, milik-Nya. Dalam konteks ketika itu,
ide Paulus ini adalah sesuatu yang baru dan terdengar asing. Bahkan
sesungguhnya bagi gereja Kristen sendiripun ini merupakan aib yang besar,
karena nanti sekitaran abad 19-lah barulah perhambaan ini dihapuskan dari
kehidupan gereja dan orang-orang Kristen (kita tentu masih ingat, perjuangan
anti diskriminasi oleh Martin Luther King 1963, ini menunjukkan perhambaan
kulit hitam masih ada). Keadilan sosial haruslah dimulai dari gereja dan rumah
tangga Kristen, menghadirkan hubungan-hubungan persaudaraan yang sesungguhnya
di dalam Kristus.
3. Ayat 2-4, gereja Kristus akan
tetap menjadi gereja yang hidup dan sehat, bilamana tetap bertekun dan berdoa.
Gereja adalah tubuh Kristus, dan Kristuslah yang menjadi Kepalanya. Gereja
sendiri tidak mempunyai apa-apa dan tak berarti sama sekali, bila bukan Kristus
yang membuatnya menjadi berarti. Sebab itu setiap hari gereja harus selalu
menantikan hidup dan bersekutu dengan Kristus, melalui doa. Doa adalah nafas
gereja. Disamping doa, haruslah juga ada kewaspadaan (berjaga-jaga). Bahkan
sesungguhnya doa membantu kita untuk tetap berjaga-jaga (Yesus juga mengajak
murid-murid-Nya untuk tetap berjaga-jaga, Mat 25:13; 26:41). Doa membuat jemaat
menjadi sadar dan aktif akan tanggung jawab pelayanannya di dunia ini.
Doa bukan selalu hanya berisikan
permintaan, tetapi juga merupakan sarana pengucapan syukur. Berdoa tidak hanya
dalam keadaan terdesak, tetapi juga dalam keadaan kuat dan stabil. Berdoa untuk
orang lain, serta berdoa bagi pemberita dan pemberitaan Injil supaya banyak
orang mengenal dan merasakan keselamatan yang dibawa oleh Kristus (ayat 3).
Jadi penting juga ternyata mendoakan setiap pemberita firman, sehingga firman
itu menjadi benar-benar “berbicara” melaluinya dan sekaligus dimengerti oleh
para pendengar (ayat 4).
Paulus dalam hal ini sangat membutuhkan
doa jemaat, sebagai penguat dan pendamai bagi dirinya, bukankan ia tepat dalam
penjara sewaktu menuliskan surat ini? Bukan belenggu penjara yang sangat
menyiksanya, tetapi terhambatnya pemberitaan Injil karena ia dipenjara itulah
yang sangat membuatnya menderita. Doa syafaat[2]
adalah ungkapan tulus yang lahir dari rasa simpati (syafakat, Yun. syn-pathos:
sama-sama merasakan) yang dalam. Benar-benar turut merasakan objek doa yang
terucap dalam syafaat jemaat.
4. Ayat 5-6, jemaat Kristen
mempunyai tugas yang diembankan kepadanya terhadap dunia sekitarnya, bukan
hanya berkarya di dalam gedung gereja semata. Allah telah memilih dan
menempatkan gereja di dunia ini bukan untuk jemaat itu sendiri, tetapi untuk
dunia. Sebab itu gereja yang tidak sadar bahwa ia hidup untuk menggarami dunia,
tidak dapat lagi disebut sebagai gereja Kristus. Dengan ini penting sekali
untuk kembali melihat ulang kebijakan-kebijakan gereja kita, apakah kebijakan itu
mempunyai dampak bagi orang-orang lain, ataukah hanya berguna bagi warga gereja
itu sendiri saja? If something only good
for the church and Christian, it’s unchristian (jika sesuatu hanya baik dan
berguna bagi gereja dan kekristenan, itu bukanlah kekristenan yang benar).
Gereja dapat memberi kesaksian kepada
dunia melalui dua cara: yang pertama, dengan melalui gaya hidup yang benar (ayat
5) dari setiap anggota jemaat, penuh kasih dan menjadi teladan, sehingga
orang-orang yang melihat akan merasakan bahwa orang-orang Kristen itu adalah “imititatio Christi” (tiruan Kristus),
dan selanjutnya mereka akan menerima Injil dengan penuh suka cita. Cara yang
kedua, adalah dengan kata-kata yang penuh kasih (ayat 6), yang mampu menggarami
dialog dan komunikasi. Perkataan jemaat yang menjadi berkat bagi setiap yang
mendengarnya. Perkataan yang menghadirkan kebenaran, sukacita, dan damai
sejahtera bagi dunia sekitarnya. Gereja hadir melayani dunia dengan melaksanakan
tugas imam dan nabi terhadap dunia, mewartakan kasih karunia Allah, menyatakan
kebenaran dan memperjuangkan keadilan.
5. Gereja yang sejati adalah gereja yang selalu
berdiakonia (melayani). Tetapi panggilan melayani ini bukan hanya dilakukan
untuk anggota-anggota jemaat gereja saja, namun haruslah memberikan arti kepada
dunia sekitarnya. Pelayanan yang tidak hanya dilakukan dengan hal-hal yang
verbal (mis. khotbah), tetapi yang lebih penting adalah adanya tindakan yang
nyata bagi gereja dan orang-orang lain. Gereja memulai dan harus selalu
mengidupi doa (Latin: Rogate) dalam
setiap pelayanannya, Itulah yang menjadi kekuatan gereja dalam menghadapi
tantangan dan pergumulan dunia yang harus digarami dan diubah agar menjadi selalu
lebih baik di setiap harinya. Hanya dengan cara seperti itulah gereja dan
anggota-anggotanya tetap memiliki arti, di sini dan saat ini.
[1] Umumnya dalam lingkup masa itu, hamba atau budak ini mempunyai tiga
ciri yang menentukan: ia pribadi yang dimiliki orang lain, kemauannya tunduk
kepada otoritas pemiliknya, dan kerja atau pelayanannya didapat melalui
paksaan. Karena dianggap tidak lebih daripada benda yang dapat bergerak sendiri
dan dibuang semaunya, budak-budak biasanya tidak memiliki hak-hak manusia yang
elementer, misalnya hak menikah, hak pemilikan, atau bahkan tidak boleh menjadi
saksi di pengadilan! Budak-budak dijual, dilelang, dihukum sesukanya, dan
dianggap sebagai manusia yang tidak sempurna.
[2] Kata Arab syafa’at memiliki
arti perantaraan atau pertolongan untuk menyampaikan pertolongan. Menarik untuk
disimak bahwa dalam bahasa Arab, kata syafa’at
sejajar dengan kata syafakat yang berarti
adalah simpati, sama-sama merasakan.
Horas Amang Pandita..., ndang huboto manang manjou aha tu Amang. Ahu St. Edonard Sipahutar/M. br. Sibarani sian Op. Partuhoran no. 14. Tinggal di Jakarta Timur. Asal sian Simarangkir Tarutung. No. tel 0813 1584 2295
BalasHapusHoras..., salam kenal..
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusSalam kenal di amanguda, au no 15 op. Sahata. Adong do huboto Op. Radot Sipahutar br Silitonga di Simarangkir, smg ditanda amanguda. Tabe tu keluarga. 082165305526
BalasHapus