1. Kematian, dalam arti yang sesungguhnya, bukanlah sesuatu yang ditakutkan
dalam kehidupan umat Israel, sehingga “kematian” tidak pernah termasuk salah
satu pokok penting dalam Teologi Perjanjian Lama, jarang sekali dibicarakan.
Dalam pergumulan iman mereka, bukan kematian yang paling menakutkan, tetapi
yang paling menakutkan bagi umat Israel adalah keterputusan (terputusnya)
hubungan di antara umat dengan Allah, hal itu merupakan malapetaka yang sangat.
Pada fase itu, umat sesungguhnya tidak lagi merasakan apa itu makna hidup,
tidak memiliki tujuan, dan tidak lagi memiliki pengharapan. Dan salah satu fase
“keterputusan hubungan” tersebut adalah ketika umat (bangsa) Israel dibuang ke
Tanah Babilonia.
2. Walaupun sejarah mencatat bahwa di Tanah Babilonia (saat ini disebut Irak)
umat Israel dapat hidup dengan baik, mereka tidak diperbudak, bahkan beberapa
di antara mereka bisa hidup sangat sejahtera secara perekonomian dengan
berniaga ataupun menjadi pegawai di pemerintahan, namun sesungguhnya hati dan
jiwa mereka tetap merasakan “kekosongan” yang sangat. Bila kita menemukan
“istilah-istilah Masa Pembuangan” seperti: ratapan/tangisan (32:2 dst.),
tulang-tulang yang kering (37:2,4), tulang-tulang yang bertaburan/berserakan
(37:2), pengharapan yang lenyap... hilang (37:11), sesungguhnya itu semua sudah
cukup untuk menunjukkan bagaimana perih-getir penderitaan batiniah mereka, dan
inilah yang menjadi latar belakang perikop khotbah kita.
3. Dalam situasi dibuang, saat ini mereka sudah sampai kepada tahap puncak dan
stagnasi tanpa pengharapan, karena kota Yerusalem yang selama ini merupakan
pegangan mereka sebagai simbol jaminan pemeliharaan Allah walaupun mereka jauh,
ternyata kota itu pun telah dihancurkan. Oleh karenanya dibutuhkan suatu “hal
yang luar biasa” untuk membangkitkan semangat dan pengharapan mereka kembali.
4. Penglihatan Yehezkiel
dalam lembah yang penuh dengan tulang yang kering ini, menurut saya, merupakan
bagian yang paling terkenal dalam Kitab Yehezkiel ini. Bagian ini tersusun oleh
kisah dramatis sebuah penglihatan (ayat 1-10), dan penafsirannya (ayat 11-14).
Tuhan membimbing Yehezkiel ke tempat yang penuh dengan tulang kering (ayat
1-2). Di tempat yang penuh dengan tanda-tanda kematian ini, Allah bertanya
kepada Yehezkiel, “... dapatkah tulang-tulang ini dihidupkan kembali?” Nabi
menunjukkan sikap takluk akan kuasa Allah untuk membuat keputusan mengenai
hidup atau mati. Ia menjawab dengan hormat: “... Engkaulah yang mengetahui!”
(ayat 3). Artinya ia menyadari bahwa segala sesuatu tidak ada yang mustahil
bagi Allah Yang Hidup. Padahal, “tulang-tulang yang berserakan” itu adalah
simbol bahwa tidak ada lagi pengharapan dalam hidup umat Israel. Bagi pemikiran
manusiawi, masa depan mereka sudah habis dan tidak ada lagi, bangsa Israel akan
tinggal sejarah. Namun tidak demikian
ternyata di mata Allah.
5. Selanjutnya, Allah
memerintahkan kepada Yehezkiel untuk menubuatkan kepada tulang-tulang mati,
sehingga roh, otot-otot, daging, kulit, dan nafas yang baru akan menghidupkan
tulang-tulang itu (ayat 4-6). Nabi melakukan itu dan ia mendengar suara keras ketika
otot-otot, daging, dan kulit menutupi tulang, tetapi belum ada nafas baru
mendatangi mereka (ayat 7-8). Dengan perintah kedua, Allah memerintahkan dia
supaya memanggil nafas hidup dari keempat penjuru angin, supaya datang dan
menghembuskan kehidupan ke dalam tubuh itu (ayat 9). Nabi melakukan seperti
yang diperintahkan, dan nafas hidup itu masuk ke dalam mereka sehingga mereka
hidup kembali. Mereka menjejakkan kakinya laksana suatu pasukan yang sangat
besar jumlahnya (ayat 10).
6. Dalam bagian penafsirannya berikut (ayat 11-14), Allah menjelaskan bahwa
mereka, yang pengharapannya berbalik menjadi putus asa, akan dibimbing dari
pengalaman kematian (tentu bukan dalam arti kematian fisik, namun kematian
semangat dan pengharapan) kepada kehidupan yang baru di tanah Israel (ayat
11-12). Bila diperhatikan, ada sedikit perbedaan pada ayat 12, dikatakan bahwa
tulang-tulang bangkit dari kuburannya, bukan dari sebuah lembah yang penuh
dengan tulang-tulang berserakan. Tentu hal ini dapat ditafsirkan sebagai kuasa
Tuhan yang melebihi dari kuasa apapun, dunia dan maut. Ayat 13-14, yang
berisikan dua rumus pengakuan, menekankan bahwa hidup baru yang diberikan Tuhan
kepada umat akan menghidupkan kembali, baik pemahaman mereka mengenai Allah
maupun hidup mereka di tanah air mereka. Gambaran dalam perikop ini sama sekali
bukanlah gambaran kebangkitan individual dari kematian, namun ini suatu
pelukisan penglihatan mengenai kesatuan politik yang baru di Israel, suatu
pengharapan keisraelan yang sungguh. Dengan menghidupi pengharapan ini sajalah
yang membuat mereka akan mampu bertahan dan semangat dalam menjalani tahun dan
hari-hari terakhir di Tanah Pembuangan.
7. Apakah relevansi firman ini terhadap kehidupan masa kini? Tentu banyak.
Salah satunya, mungkin frekuensi kesibukan kita tinggi, perekonomian kita baik
saat ini, karier bagus, dan sebagainya, namun sesungguhnya kita sering sekali
bagaikan “tulang-tulang yang kering” yang tanpa arah dan tujuan. Kita mengalami
“kekosongan”, keterputusan hubungan dengan Allah. Atau kita mungkin adalah
“tulang-tulang yang sudah ditumbuhi daging dan ditutupi kulit” namun tanpa
nafas kehidupan. Umat yang hidup tanpa gairah dan pengharapan. (Di Suku Toraja,
memang tulang dan mayat dapat disuruh berjalan, namun begitu ada yang menyapa,
dia langsung terjatuh, tak memiliki kekuatan apalagi pengharapan). Hanya
bersekutu dengan Allah Yang Hidup yang dapat menolong kita. Menghidupkan
pengharapan dan arah tujuan kepada kehidupan yang lebih baik, pengharapan bahwa
suatu waktu akan dibawa dari tanah pembuangan menuju negeri yang penuh
kedamaian dan suka cita. Dialah sumber hidup, pengharapan, dan jaminan masa
depan dengan mentari yang lebih bersinar.
Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar