1. “Please, don’t judge a book by the cover”. Ungkapan asing tersebut
sesungguhnya memiliki cita-cita supaya setiap kita tidak spontan saja menilai
sesuatu pada pandangan atau perkenalan pertama. Demikian pula tidak terjebak
hanya oleh penampakan luar (cover)
semata, sehingga dengan demikian kita menjadi mudah “diterlenakan”, terpesona,
bahkan segera terjebak untuk menghakimi.
2. Dunia akhir-akhir ini,
setidaknya menurut pengamatan saya, sering sekali merasa puas jika sudah
memiliki kekuatan dan kepintaran. Bukankah itu yang menjadi ukuran kesuksesan
dunia pada saat ini? Itu yang sering dijadikan ukuran kesuksesan juga dijadikan
tujuan dan harapan manusia tentang dirinya dan diri anak-anaknya. Setiap orang
yang memiliki kekuatan dan kepintaran akan mudah mencari pekerjaan, uang, dan
ketenaran. Tetapi apakah itu yang dikehendaki Allah? Allah menghendaki lebih
dari itu. Dalam pendahuluan sebelum ayat ini, Samuel diperintahkan Allah untuk
pergi ke rumah Isai mencari pengganti Saul, Raja yang telah membuat Allah
menyesal memilihnya (1 Samuel 15:11, 26). Samuel disuruh mengurapi salah
seorang dari antara anak-anak Isai (1 Samuel 16:3). Tetapi selain Daud,
ternyata semua anak-anak Isai ditolak Allah. Menurut ukuran dunia, apakah yang
kurang dari diri Eliab (salah seorang anak Isai) itu? Pastilah ia seorang
pemuda yang kuat dan pintar, sampai-sampai ketika melihatnya Samuel sendiri
terpesona dan bergumam dalam hati menyatakan keyakinan bahwa inilah dia orang
yang dikehendaki Allah (1 Samuel 16:6). Tetapi Tuhan berkata, ”Jangan pandang
parasnya atau perawakan atau perawakan yang tinggi, sebab Aku telah
menolaknya.” (ayat 7a).
3. Memang, orang yang kuat
dan pandai apalagi ditambah dengan ketampanan dan kecantikan, tidak terlalu
banyak di dunia ini. Itu sebabnya banyak perusahaan berani membayar mahal untuk
mendapatkan pegawai yang memenuhi syarat seperti itu. Sekolah-sekolah
menyediakan beasiswa untuk siswa yang cerdas. Orang tua mau berusaha apa saja,
asal anaknya memiliki kriteria seperti itu. Tetapi, bila kita mengusulkan
kepada Allah manusia yang sekadar kuat, pandai, cantik ataupun tampan, tentu
Allah tetap akan mengatakan: “Aku telah menolaknya!” Dunia mungkin memiliki
ukuran baku yaitu kekuatan dan kepintaran, tetapi itu tidak cukup untuk
mengerjakan keinginan Allah.
4. “Bukan
yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan
mata, tetapi TUHAN melihat hati.” (ayat 7b). Pertimbangan Allah bukanlah apa
yang tampak secara kasat mata, bukan hanya “sampulnya”, tetapi apakah orang
tersebut memiliki hati yang layak ditempati oleh Roh Tuhan, hati yang mau
bekerja sama dengan Roh Tuhan, dan hati yang cukup peka dengan bisikan dan
dorongan Roh Tuhan? Bukankah banyak orang di sekitar kita yang kuat dan pintar,
sangat berbakat, tetapi hati mereka dipenuhi oleh kesombongan? Bukankah banyak
orang yang perawakannya gagah, mengesimakan mata, namun sesungguhnya tidak
memiliki nurani? Lihatlah televisi, bukankah banyak orang yang pandai,
berbicara hebat, orator, memiliki kekuatan kuasa, namun ternyata hatinya tidak
lagi peka terhadap penderitaan sesamanya? Di dunia ini, yang dinginkan Allah
untuk dapat melakukan pekerjaan-Nya adalah orang-orang yang hatinya mau didiami
oleh Roh Tuhan. Memang menjadikan orang menjadi pintar itu penting, memiliki
intelektual yang baik, cerdas, kuat, dan sebagainya itu sungguh baik, namun
dunia ini akan kehilangan maknanya bila Roh Tuhan tidak hadir di dalam hatinya.
Oleh karenanya, membangun dunia, bangunlah dunia yang memiliki hati.
Mengembangkan sumber daya manusia haruslah juga mengembangkan kepekaan hatinya,
agar menjadi hati yang mau bekerja sama dengan “hati Allah” yaitu “Roh Tuhan”.
Dengan demikian, kita membangun manusia, anak-anak kita, bukan hanya manusia
yang diterima manusia, tetapi manusia yang diterima dan diurapi oleh Allah.
Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar