Pertanyaan
Penuntun
- Apakah yang menjadi latar belakang atau akar permasalahan sehingga Petrus merasa perlu mengklarifikasi tentang pokok keimanan yang ada dalam perikop ini? (lihat 11:1-3)
- Kepada bangsa yang mana Tuhan memberikan karunia keselamatan-Nya, apakah Dia hanya memberikan karunia itu bagi satu bangsa tertentu saja? (ayat 5-17, 18b)
- Bagaimanakah sesungguhnya sikap terbaik dari setiap umat Tuhan yang telah menerima anugerah keselamatan tersebut? (ayat 18)
Penjelasan
- Ternyata peristiwa Kornelius (yang diceritakan pada perikop sebelumnya, pada pasal 10), menimbulkan reaksi di antara jemaat induk di Yerusalem (11:1-3). Reaksi seperti itu sebetulnya wajar, karena memang ada sesuatu yang luar biasa. Tradisi yang sampai sekarang (pada waktu itu, di jemaat Yerusalem) dalam kehidupan jemaat beriman adalah tradisi yang terbatas dalam lingkungan Yahudi. Maka perkembangan Injil/sabda/firman ataupun penglihatan di lingkungan orang yang bukan Yahudi mau tidak mau menimbulkan reaksi, bahkan mungkin gejolak. Walaupun memang peristiwa bahwa orang lain menerima sabda atau firman Tuhan, sudah pernah terjadi dalam peristiwa Samaria (lihat Kisah 8:14). Walaupun juga bahwa lingkungan Samaria, sesuai dengan sejarah, tidak bisa dikatakan sebagai hal di luar batas dan wilayah (perjanjian). Namun itu pun sesungguhnya sudah menakjubkan. Apalagi sekarang penerimaan firman Tuhan itu telah melewati batas wilayah dan bangsa, yaitu di Kaisarea.[1] Hal ini semakin berarti dan menakjubkan seluruh anggota jemaat beriman dengan tradisi keyahudian yang sangat kuat itu. Ada keterangan yang menarik dalam pernyataan 11:3, yaitu tentang mereka yang disunat dan tidak disunat. Keterangan yang seperti ini juga kita temukan dalam bagian lain Perjanjian Baru, misalnya Galatia 2:12, yaitu ketika Petrus menarik diri dari makan bersama dengan kelompok orang-orang bukan Yahudi. Pada waktu itu Paulus memberikan catatan kritis terhadap Petrus, terhadap sikap yang seperti itu (lihat Galatia 2:14). Tampaknya jemaat mula-mula memang harus melewati masa kritis itu untuk menemukan sikap yang tepat bagi pewartaan iman Kristen di lingkungan orang-orang yang bukan Yahudi.
- Rasanya tidak cukup untuk melihat peristiwa ini hanya sebatas sebagai masalah lembaga gerejawi (jemaat mula-mula) atau kepentingan keutuhan organisasi semata, melainkan harus melihat juga “dorongan Roh Kudus” yang memungkinkan dan menuntun jemaat muda tersebut mengembangkan diri secara penuh. Petrus dan para murid yang lain bertanggung jawab untuk itu. Itulah sebabnya menjadi penting dibuka pertanggungjawaban publik dalam perikop ini agar gerakan Roh itu bergerak menjadi suatu kesadaran bersama. Sekali lagi, ini bukan hanya demi kepentingan organisasi gereja, melainkan perutusan Roh Kudus yang harus mereka wartakan dan laksanakan! Tidak ada batas yang bisa mengurung dan membatasi pekerjaan Roh Kudus, apalagi batas-batas yang dipertahankan manusia untuk menjaga keekslusifannya. Karunia keselamatan itu tidak terbatas, Allah yang berhak menentukan kepada siapa Roh itu diberikan, dan kepada siapa iman itu ditanamkan (ayat 17, dan 18b). Namun demikian bukan berarti bahwa perjanjian Allah dengan leluhur Yahudi (Israel) menjadi batal begitu saja, tetapi Roh Kudus memberikan dimensi yang baru terhadap perjanjian tersebut. Allah yang telah memilih Israel, tetap mengasihi Israel, karena dalam prakteknya yang sering menjadi masalah bukan tentang Allah yang memelihara perjanjian-Nya tetapi bagaimana cara umat Yahudi (Israel) memelihara perjanjian mereka dengan Allah (bnd. Rom 9:6f.).[2] Dimensi yang baru dari perjanjian tersebut adalah, kini orang bisa menyadari bahwa jemaat mula-mula bukanlah sebuah organisasi massa, melainkan suatu gerakan rohani yang terbuka bagi semua orang dalam karunia Roh Kudus. Pekerjaan Roh Kudus yang tanpa batas ini menjadi kenyataan hidup bersama dengan bangsa-bangsa lain.
- Selanjutnya menjadi menarik sekali untuk melihat respon dari jemaat yang tadinya ekslusif dan yang sedang bergejolak tersebut. Sesungguhnya ini tidak sesederhana yang kita pikirkan, mengubah pola pikir keimanan jemaat (Yahudi) yang telah ditanamkan sejak kecil dalam pikiran dan hati mereka. Tetapi ternyata Roh Kudus tidak hanya bekerja di Kaisarea kepada Kornelius (pasal 10), tetapi Ia berkarya juga di Yerusalem melalui dialog antara Petrus dan Jemaat yang ada di sana. Dialog (diskusi, atau mungkin lebih tepatnya “musyawarah jemaat”) itu dijadikan Roh Kudus sebagai alat-Nya untuk mendewasakan dan memupuk kemengertian iman yang sungguh bagi jemaat mula-mula. Baiklah gereja pada masa kini selalu merenungkan hal ini, “keajaiban musyawarah jemaat”! Tampaknya tokoh-tokoh Kristen di jemaat mula-mula sudah sangat menyadari hal ini, sehingga Lukas pun menuliskan dalam suratnya ini (Kisah Para Rasul).
Buah dari dialog tersebut
sangatlah jelas, jemaat menjadi tenang (dari kegundahan hati mereka) dan
mengerti betapa luasnya cakupan karunia keselamatan Allah (universality grace, inklusif) sebagai ungkapan pujian kemuliaan
mereka bagi Allah (ayat 18). Nyanyian baru mereka adalah kemengertian yang
sungguh akan hancurnya batas-batas teritorial, bangsa, ras, suku, ekonomi, dan
sebagainya dalam hubungan keluarga yang hidup di dalam kemurahan karunia
keselamatan Allah yang dinyatakan dalam diri Yesus Kristus.
Permenungan
Allah
sendiri yang menanamkan akar yang kuat pada orang Yahudi, dan oleh mereka
diberi tugas untuk menjadi berkat bagi bangsa-bangsa lain, sebagai bukti kemurahan
Allah bagi seluruh ciptaan-Nya yang telah berdosa. Ketika umat Yahudi sering
sekali gagal memelihara perjanjian mereka, Roh Allah memberikan dimensi yang
baru dalam perjanjian itu dengan cakupan yang lebih universal tanpa batas-batas
yang dapat menghambat pekerjaan-Nya.
Permulaan
zaman yang baru telah dimulai, bagi yang percaya dan mengaku Kristus adalah
Tuhan, tentu mereka akan merasakan perubahan oleh Roh Kudus seperti yang
terjadi pada jemaat mula-mula di atas, yaitu mereka menjadi tenang dan memuliakan
Allah. Tetapi pertanyaannya sekarang apakah semua kita menjadi tenang dan
memuliakan Allah? Apakah kita juga menjadi tenang ketika orang lain (yang kita
anggap selama ini bukan umat) merasakan juga karunia dari Allah yang kita
percaya tersebut? Apakah kita juga dapat tenang ketika bangsa-bangsa lain juga
mendapatkan berkat dari Allah yang kita sembah itu?
Kita
masih terlalu sering terjebak pada “kidung nyanyian lama” yang membatasi karya
Roh Kudus hanya sebatas orang-orang “yang sama dengan kita”. Bahkan di dalam
gedung gereja sendiri pun kita sudah terlalu sering membuat “kamar-kamar”
dengan batas dinding kesukuan, marga, tingkat ekonomi, tingkat pendidikan, profesi,
jemaat baru atau jemaat lama, jabatan, dan sebagainya sehingga pekerjaan Roh
Kudus “menjadi terhambat” berkarya di dalam gereja yang kita sebut-sebut juga
merupakan kepunyaan Allah. Setelah itu dapat terselesaikan, selanjutnya,
kemudian barulah kita bisa berbicara dalam cakupan yang lebih luas, bahwa karunia
keselamatan Allah telah diberikan-Nya kepada seluruh bangsa-bangsa melalui
pekerjaan Roh Kudus.
Sehingga
nyanyian baru (Kantate) kita adalah
ketika umat Allah dapat menjadi tenang dalam kebhinekaan, sekaligus mensyukuri
perbedaan yang ada dengan merobohkan tembok-tembok yang dapat memisahkan kita
dengan yang lain sebagai keluarga yang hidup dalam satu kasih anugerah
keselamatan di dalam diri Yesus Kristus.
[1] Ada dua nama tempat Kaisarea di Palestina. Yang pertama, Kaisarea
Filipi, letaknya di kaki Gunung Hermon, tempat asal Sungai Yordan, terkenal
sebagai tempat pengakuan Petrus (Matius 16:13). Kaisarea yang kedua adalah,
Kaisarea Maritim. Kota ini berada di pantai Laut Mediterania (Laut Tengah),
jaraknya lebih dari 100 km sebelah barat laut dari Yerusalem. Banyak kuil dan
penyembahan agama Romawi dan Yunani di sana. Kota Kaisarea Maritim inilah yang
dimaksudkan sebagai tempat kediaman Kornelius, sehingga dapatlah dimengerti
“ketidakterimaan” orang Yahudi terhadap kenyataan bahwa Firman Tuhan telah
dinyatakan di sana.
[2]
Untuk hal ini dengan bijaksana, seorang sarjana Perjanjian Baru, Anders Nygren
mengatakan bahwa: yang pertama, Allah memberikan janji-janji-Nya kepada Israel
dan tidak pernah menghancurkan mereka, mereka tetap umat Allah dengan tanggung
jawab menjadi berkat bagi bangsa lain. Kedua, Janji-janji Allah tersebut
dipenuhi di dalam Kristus, dan nyata dalam kedirian umat-Nya. Perjanjian yang
kedua tidak menghancurkan perjanjian yang pertama, tetapi memberi cakupan
karunia yang lebih universal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar