Senin, 10 Maret 2014

GEREJA BERPOLITIK, BOLEHKAH?



Keterpanggilan Gereja dalam Politik sebagai wujud Kemarturiaan
Ambigiunitas Sikap
Na huboto, ndang adong hadomuan ni Gareja dohot Politik, ulaon ni Partondion do Huria i (Politik itu bukan urusan gereja, karena gereja dilahirkan untuk hidup kerohanian)”, ujar Bapak Andre dalam sebuah perbincangan ringan usai ibadah Minggu. Demikian pula apa yang dikatakan oleh Ibu Maria, “Janganlah gereja ini kita kotori dengan politik, gereja itu kudus..!!”
Pendapat Bapak Andre dan Ibu Maria di atas menjadi wakil dari mayoritas warga gereja dalam hubungannya dengan perpolitikan. Walaupun menurut hemat kami, mereka tidak bisa disalahkan begitu saja, karena itulah yang selama ini yang sering diajarkan gereja dalam setiap perbincangan masalah politik, termasuk melalui khotbah. Lebih umum, ini adalah perwakilan sikap banyak orang Kristen yang cenderung menjauhi politik, dan bahkan pantang berbicara tentang politik, terutama di gereja. Kita sebut sikap ini sebagai sikap a-politik (anti-politik).
Tetapi, bila kita cermati, bukankah sikap jemaat (baca: gereja) yang menjauhi politik itu juga sering  “dilangkahi” oleh kita sendiri? Karena pada kenyataannya, mau tidak mau sering kali kita harus menentukan sikap politis. Misalnya dalam pemilu, kita harus memilih. Bahkan bila memutuskan untuk tidak turut memilih pun itu sebenarnya sudah merupakan sikap politis. Yang lebih konkret bahkan di gereja: dalam doa-doa syafaat, kita sering memasukkan doa untuk bangsa, negara, dan pemimpin. Bukankah itu juga sudah merupakan sikap politis gereja?
Panggilan Gereja: Bermarturia
Istilah marturia, telah dikenal sejak empat ratus tahun sebelum Yesus lahir di Bethlehem. Merupakan buah pemikiran Sokrates dan Plato, dua filsuf Yunani yang terkenal. Saat itu, di Athena-Yunani, untuk mempertimbangkan kepu-tusan seadil-adilnya di ruang pengadilan, maka didatangkanlah sejumlah martus (saksi) untuk ber-marturia atau menuturkan apa yang mereka lihat, dengar, atau dialaminya sendiri (marturia: perbuatan menyampaikan kesaksian).
Istilah ini pula yang dipakai oleh para rasul dalam Perjanjian Baru merujuk pada salah satu tugas gereja (baca: jemaat) yang berlaku di segala abad. (Dalam Perjanjian Lama, LXX, kata maturia juga beberapa kali disinggung, misalnya di Yesaya 43 dan 44). Tentu kata marturia (bersaksi) bagi para rasul tidak lagi hanya sebatas arti semula di dalam dunia pengadilan semata, seperti dalam dunia Yunani kuno, namun substansinya lebih men-dalam yaitu Diri Yesus yang telah mati, bangkit dan memberikan kedamaian bagi dunia. Di sini gereja bermaturia tidak hanya sebatas ko-munikator atau pelapor, melainkan bersaksi melalui perilaku kehidupan mereka sendiri (lihat Kisah Para Rasul 2:37-40). Gereja adalah saksi Kristus yang bersaksi di segala aspek kehidupan, bermarturia di setiap sisi-sisi dunia, di segala tempat dan di segala waktu.
Sehingga dengan demikian, tidaklah berdasar dan bijaksana bila kita mencoba memilah-milah hanya ruang-ruang tertentu saja yang menjadi “dunia” dan arah kemarturiaan gereja. Meminjam istilah Barth, Gereja adalah “gerak” yang meng-hubungkan Kristus dengan dunia. Dunia adalah ruang di mana Gereja bersaksi. Gereja tidak dapat ada tanpa dunia, namun dunia tidak mempunyai tujuan tanpa Gereja yang bersaksi. Sesungguhnya  semua bidang kehidupan di dunia ini menjadi tanggung jawab panggilan kemarturiaan gereja: pendidikan, kesehatan, kemiskinan, lingkungan hidup, ketidakadilan sosial, perbudakan, rasisme, pluralitas, dan segala sesu-atunya yang menyangkut hajat hidup kemanusiaan, ter-masuk politik!
Walaupun Gereja bukanlah organisasi politik, tetapi harus kita sadari bahwa gereja adalah bagian dari “polis” (kota, dari kata “polis inilah muncul kata “politik”: seni mengelola sebuah kota) atau negara. Karena itu Gereja dan warga gereja tidak boleh lepas tangan atau apatis terhadap apa yang sedang terjadi dalam negara. Yeremia 29:7 berkata, “Usahakanlah kesejahteraan kota (polis) ke mana kamu Aku buang, dan berdoalah untuk kota (polis) itu kepada Tuhan, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu.” Sederhananya: Politik adalah lapangan kesaksian (kemarturiaan) gereja!
Gereja Berpolitik, Politik yang Bagaimana?
Tentu kita pantas untuk tertunduk malu bila keterlibatan gereja dalam politik masih hanya sebatas sebagai institusi yang dianggap sebagai basis politik yang sungguh menjanjikan dalam rangka  merebut keuntungan dan kekuatan ke-kuasaan. Politisasi Gereja. Gereja dieksploitasi sedemikian rupa untuk meraup keuntungan politik (misalnya: suara) dari oknum atau lembaga kepartaian tertentu. Gereja hanya menjadi “kendaraan” mereka, ditunggangi. Ironi.
Pola dan pandangan seperti itu (Politisasi Gereja), sesungguhnya suatu yang telah usang. Sejarah mencatat, di Eropah, pola itu telah ditinggalkan sejak Abad Pencerahan, abad 18. Sehingga bila ada saat ini yang masih mencoba menghidupinya, sikap itu hanya akan membuat gereja menjadi semakin teraniaya dan terbelakang. Mereka itulah yang tidak mencintai gereja. Faktanya, di lain sisi bila ada pihak-pihak tertentu yang masih hendak menghidupkan partai politik yang berbasis Kristen (Gereja), menurut saya, hampir dapat dipastikan tidak akan bertahan lama. Ronald J. Sider dalam  The Scandal of Avangelical Politics (2008), menceritakan bagaimana orang-orang Injili di Zambia merebut kekuasaan politik dan mengantarkan Chiluba sebagai presiden (1991), be-liau yang mendeklarasikan negara itu sebagai “Negara Kristen”, tetapi akhirnya ia dipecat sebagai Presiden karena: korup!
Lalu bila demikian, bagai-manakah sikap gereja dalam berpolitik? Gereja harus me-lakukan politik moral (moral politic) sebagai kesaksian pelayanannya. Gereja tidak boleh lagi masa bodoh dengan masalah-masalah politik, namun juga tidak boleh masuk dalam politik praktis, yaitu membentuk kekuatan politik untuk merebut kekuasaan politik. Politik agama (baca: Gereja) sesungguhnya adalah Politik Kenabian (prophetic politics), bukanlah politik partisan (partisan politics). Politik kenabian adalah politik moral yang senantiasa menyuarakan kebenaran: menyatakan benar kepada yang benar dan salah kepada yang salah. Karena itu politik moral (politik kenabian) harus senantiasa melakukan kritik kepada para penguasa dan pemerintah yang berkuasa, agar mereka tidak melalaikan tugas dan tanggung jawabnya yang utama yaitu memberikan kesejahteraan dan rasa aman kepada seluruh warganya.
Kitab Suci kita merekam berbagai cerita bagaimana nabi-nabi mun-cul dalam panggung sejarah untuk menyuarakan suara Tuhan dan mengkritik para penguasa yang lalim, arogan, korup yang tidak melindungi janda-janda, yatim piatu dan mereka yang lemah. Bukankah gereja hadir sebagai Wakil Allah yang meng-gantikan peran para nabi pe-nyuara kebenaran?
Lebih konkret, dalam konteks keindonesiaan yang berdasarkan Pancasila dan yang sedang belajar bagaimana proses demokratisasi. Gereja-gereja tidak bisa lagi untuk apatis (tidak peduli) terhadap politik. Namun juga sangat menyedihkan bila gereja apalagi menjadi “alat politik”. Demikian pula, gereja bukan hanya asal berpolitik, melainkan gereja dipanggil untuk menggarami perpolitikan dalam perspektif Kerajaan Allah: nenghadirkan kebenaran, suka cita, dan damai sejahtera di dalam Roh Tuhan. Gereja harus bersikap positif, kritis, kreatif dan realistis terhadap proses perpolitikan itu sesuai dengan porsinya sebagai kekuatan moral, bukan kekuatan massa politik. Gereja yang tidak mampu mempertahankan jati-diri sebagai penyambung lidah Allah, penyuara kebenaran Allah, sesungguhnya telah kehilangan “roh”-nya sebagai gereja.
Gereja bertanggung jawab untuk memberikan pendidikan politik sekaligus meminta pertanggungjawaban dari warganya (yang mengaku-ngaku putera-puteri gereja) yang akan dan yang telah duduk dalam dunia perpolitikan tersebut. Tidak boleh lagi hanya membiarkan mereka berjalan begitu saja, bahkan harus mengawasi dan mengoreksi setiap langkah kebijakan yang mereka ambil, apakah sesuai dengan missi gereja atau malah sebaliknya?
Demikian pula, setiap warga jemaat juga harus selalu didorong dan dididik untuk menjadi “warga politis” yang kritis dan cerdas. Sikap itu tidak boleh dibatasi dan dinilai dengan lembaran rupiah dan segala bentuk pemberian yang membuat mereka tidak mampu lagi memilah kebenaran, seperti yang sering terjadi dalam setiap pesta demokrasi belakangan ini. Karena bila mereka sudah dapat “dibeli” maka tentu saja “suara kenabian” akan terberangus. Warga gereja harus dengan lantang menolaknya!
Sehingga akhirnya, sesungguhnya harus selalu disadarkan bahwa Bapak Andre, Ibu Maria, Ibu Aldi, Bapak Candra, Bapak Tigor, dan semua anggota jemaat merupakan perwujudnyataan gereja dalam menyuarakan politik moral, politik kenabian, politik Kerajaan Allah demi Indonesia yang lebih bermartabat.

The church must be reminded that it is not the master or servant of the state, but rather the conscience of the state.”
(Martin Luther King Jr.)

Pdt. Roy Charly Sipahutar, M.Th

Tidak ada komentar:

Posting Komentar