Kamis, 27 Maret 2014

Gereja: Persekutuan Yang Telah Diperdamaikan (Efesus 2:11-22)



  1. Cara terbaik untuk memahami keberadaan suatu masyarakat ataupun pribadi pada masa kini adalah dengan memahami secara penuh latar belakang kehidupan mereka. Hal ini disadari benar oleh Paulus ketika melihat permasalahan yang terjadi di jemaat Efesus, ia membuka ide pemikirannya dengan menggambarkan bagaimana keadaan anggota jemaat Efesus yang non-Yahudi sebelum mereka didamaikan di dalam Kristus (lihat juga bagian awal Efesus 2, ayat 1-10). Mereka memang “orang luar” yang merupakan bukan umat pilihan, mengikuti jalan dunia ini. Sedangkan di lain pihak, anggota jemaat yang berlatarbelakang Yahudi (anggota jemaat di jemaat yang sama itu juga, di Efesus) telah ditanamkan sejak lahir sebuah konsep bahwa mereka adalah umat yang kudus, umat pilihan Allah. Sehingga sulit bagi mereka untuk menerima “orang luar” (non-Yahudi) tersebut untuk masuk ke dalam komunitas mereka.[1] Konsep pemahaman seperti itu telah menimbulkan persoalan di dalam gereja yang masih sangat muda tersebut, sebab anggota jemaat di Efesus terdiri dari bukan saja orang-orang Yahudi melainkan juga orang-orang yang non-Yahudi. Selain menimbulkan kebingungan, hal ini juga disebut-sebut telah memunculkan kekurang-harmonisan (mungkin juga perselisihan) di antara mereka (anggota jemaat Yahudi dan non-Yahudi). 
  2. Ada dinding pemisah antara orang Yahudi dan orang non-Yahudi. Orang-orang non-Yahudi disebut sebagai “orang yang tidak bersunat”. Sunat adalah tanda perjanjian Allah terhadap Israel sebagai legitimasi bangsa pilihan semenjak nenek moyang mereka, Abraham (lihat Kejadian 17). Perjanjian ini sangat baik, karena sesungguhnya juga memiliki dimensi yang sifatnya horizontal, menjadi berkat bagi bangsa-bangsa lain, Israel (orang Yahudi) menjadi alat keselamatan universal. Namun mereka sering sekali gagal dalam perjanjian tersebut, sehingga Allah harus selalu memperbaharui perjanjian-Nya. Dalam prakteknya, sunat bagi orang Yahudi hanya menjadi sesuatu yang lahiriah, dan akar sektarianis bagi hubungan mereka dengan orang-orang lain. Sesungguhnya sunat tidak menyelamatkan sehingga tidak menjadi alasan untuk memegahkan diri. Mungkin di jemaat Efesus ada permintaan orang-orang Yahudi supaya setiap anggota jemaat haruslah disunat terlebih dahulu, Paulus melihat hal tersebut adalah sebuah keanehan karena sunat hanyalah tanda secara lahiriah (ayat 11). 
  3. Di pihak lain, Paulus juga tidak memungkiri adanya dinding pemisah antara orang non-Yahudi itu dengan Allah. Ia menyebutkan bahwa mereka sebagai “warga tanpa Kristus”, “tanpa pengharapan”, dan “tanpa Allah” (ayat 12). Paulus juga mengatakan bahwa orang non-Yahudi sebagai yang “jauh” dari Allah (ayat 13,17), sedangkan orang Yahudi disebut umat yang “dekat” (ayat 17). Istilah “jauh” dan “dekat’ sering digunakan juga dalam Perjanjian Lama (lihat Ulangan 4:7; Mazmur 148:14; Yesaya 49:1; 57:19). Israel disebut “dekat” karena Allah memberikan hukum-hukum-Nya kepada mereka (bandingkan Mazmur 147:19-20). Namun sesungguhnya mereka juga tetap terpisah dari Allah bila ukurannya adalah Kristus. Namun orang non-Yahudi mempunyai tembok pemisah yang lebih tebal lagi, dan karena itu mereka disebut “jauh”. Mereka hidup tanpa Allah di dunia ini, walau memiliki banyak ilah, justru situasi kepemilikan banyak ilah itulah yang membuktikan bahwa sesungguhnya mereka tidak memiliki Allah. Paulus meminta mereka untuk mengingat keadaan mereka yang dahulu ini, hal tersebut penting supaya mereka tetap rendah hati dan tetap ingat kasih Allah kepada mereka. 
  4. Gereja adalah persekutuan yang telah diperdamaikan oleh Kristus. Paulus menjelaskan bagaimana Allah telah mendekatkan mereka dengan-Nya dan menjadikan mereka satu umat. Perseteruan Allah dengan mereka dan antara mereka dengan Israel telah dirubuhkan oleh kurban darah Kristus yang tercurah di kayu salib. Perseteruan telah didamaikan. Kristuslah kurban damai perseteruan antara manusia dan Allah dan sesama (ayat 14). Tidak hanya tembok pemisah antara manusia dan Allah yang rubuh, tetapi tembok pemisah antara etnis Yahudi dan etnis-etnis non-Yahudi pun telah dihancurkan! 
  5. Yesus membatalkan hukum Taurat (ayat 15). Selain membatalkan hukum-hukum yang memisahkan Yahudi dan non-Yahudi seperti hukum sunat dan makanan halal/haram, Yesus juga membatalkan fungsi Taurat yang mungkin sering dianggap sebagai jalan keselamatan. Tetapi fungsi Taurat sebagai hukum bagi umat Allah tetap berlaku sebagai petunjuk hidup baru. Tuhan Yesus menciptakan satu umat yang baru (ayat 15). Semua etnis Yahudi atau non-Yahudi dipersatukan menjadi satu umat di dalam dan oleh Yesus. Namun ini tidak berarti bahwa Yahudi dan non-Yahudi bersatu membentuk etnis ketiga atau hilangnya etnis Yahudi dan non-Yahudi. Etnis Yahudi tetap Yahudi, etnis non Yahudi tetap non-Yahudi, namun yang dibatalkan adalah ketidaksetaraan di hadirat Allah melalui Diri Yesus Kristus. 
  6. Keadaan yang sekarang (ayat 19-22). Sekarang umat yang telah didamaikan Kristus disebut sebagai kawan sewarga (ayat 19), dan menjadi anggota kerajaan Allah yang hidup di bawah pimpinan dan hukum-hukum Allah. Umat (gereja) yang didamaikan ini juga disebut keluarga Allah (ayat 19). Sebagai anggota keluarga Allah, maka dengan sendirinya relasi antar etnis pun diungkapkan dengan istilah “saudara”. Selanjutnya, umat yang didamaikan itu juga disebut Paulus sebagai tempat kediaman Allah (ayat 21-22). Umat yang diperdamaikan itu dilihat sebagai Bait Allah Baru. Penggenap perjanjian Allah itu bukan pada bangunannya tetapi pada persekutuan yang hidup dari anggota keluarga Allah yang didasari oleh pemberitaan janji Allah melalui para nabi dan kesaksian para rasul tentang Kristus. Jadi setiap orang kristen adalah batu yang tersusun bagi Bait Allah! Kalau dahulu orang-orang non-Yahudi (tidak bersunat) beribadah  dalam Bait Allah secara terpisah (dipisahkan oleh dinding pemisah)[2], maka seka­rang bukan saja tidak ada lagi dinding pemisah, bahkan mereka disebutkan menjadi batu-batu penyusun Bait Allah! 
  7. Ada beberapa jenis kesatuan umat: Pertama, Kesatuan fenomenal. Di dalam Efesus 2:11 tadi menekankan kesatuan lahiriah melalui sunat. Dalam arti kalau sama-sama sudah disunat berarti satu. Ini persatuan yang bohong yang tidak asasi dan hanya kesatuan lahiriah. Di luar kelihatannya baik padahal di dalamnya kropos dan penuh dengan segala macam kepentingan masing-masing. Kelihatannya ada dampaknya, namun dampaknya seringkali lebih berbahaya dari pada apa yang baik yang kita pikirkan. Kedua, Kesatuan Egosentrik. Orang Yahudi selalu menganggap kalau mereka adalah orang yang berhak mempunyai Allah dan Allah menjadi kepentingan bagi dirinya sendiri. Konsep ini begitu menguasai orang Yahudi dengan sifat egois dan sektarian. Di dalam kesatuan kita seringkali juga bersatu karena urusan egois dan banyak kesatuan dibentuk karena ada kepentingan masing-masing yang mau diselesaikan. Di dalam kalangan Kristen sendiri ini yang menjadi kesulitan untuk bersatu, karena cara berpikirnya masih masalah kepentingan dan egosentrik. Suatu saat pasti akan terjadi konflik kepentingan. Itu sebabnya hati-hati jika kita ingin bersatu karena jika ini didasarkan pada kepentingan diri sendiri, siap-siap sajalah menunggu bom waktu tersebut akan meledak. Ketiga, Kesatuan di dalam Kristus (head up to Christ). Kristus sebagai Kepala, dimana semua mengarahkan diri dan memandang (head up) kepada Kristus. Jadi yang mempersatukan kita adalah jika setiap anggota jemaat yang telah diperdamaikan itu mengarahkan pikiran kepada Kristus dan hanya menjalankan apa yang Kristus perintahkan untuk kita lakukan. Anggota gereja, latar belakang, baju kita, kulit kita, bahasa kita, dsb. mungkin berbeda, namun karena kita memandang kepada Kristus akan menimbulkan harmonisasi dan kesamaan gerak. Dalam kasus seperti ini tidak mengatakan tidak ada perbedaan pendapat. Perbedaan pasti ada karena jika tidak ada itu berarti juga kebohongan semata. Namun di dalam perbedaan ini kita memiliki kesatuan yang indah, yang saling melengkapi, seperti Kristus, hidup kita ada bagi orang lain.

Jadi sekarang, baiklah gereja kita merenungkan, di posisi manakah letak kesatuan gereja (anggota-anggota jemaat gereja) yang telah kita bangun selama ini?


[1] Bahkan dalam benak orang-orang Yahudi zaman itu, mereka menganggap najis untuk masuk ke dalam rumah orang non-Yahudi! Kalaupun orang Yahudi bersedia menerima keberadaan orang non-Yahudi, tentu dengan syarat mereka harus mau mengikuti tata cara Yahudi seperti sunat dan hukum-hukum lainnya.

[2] Bahkan bagi para Yahudi Proselit (orang-orang luar Yahudi yang masuk menjadi warga Yahudi, yang rela menjadi turut disunat serta mengikuti hukum dan agama Yahudi) tetap juga dianggap merupakan warga Yahudi “kelas dua” yang tidak memiliki derajat yang setara dengan “Yahudi asli”, mereka beribadah terpisah atau mungkin juga beribadah di luar Bait Allah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar