Rabu, 26 Maret 2014

MEMBANGUN DUNIA YANG MEMILIKI HATI (1 Samuel 16:7)



1.   Please, don’t judge a book by the cover”. Ungkapan asing tersebut sesungguhnya memiliki cita-cita supaya setiap kita tidak spontan saja menilai sesuatu pada pandangan atau perkenalan pertama. Demikian pula tidak terjebak hanya oleh penampakan luar (cover) semata, sehingga dengan demikian kita menjadi mudah “diterlenakan”, terpesona, bahkan segera terjebak untuk menghakimi. 

2.    Dunia akhir-akhir ini, setidaknya menurut pengamatan saya, sering sekali merasa puas jika sudah memiliki kekuatan dan kepintaran. Bukankah itu yang menjadi ukuran kesuksesan dunia pada saat ini? Itu yang sering dijadikan ukuran kesuksesan juga dijadikan tujuan dan harapan manusia tentang dirinya dan diri anak-anaknya. Setiap orang yang memiliki kekuatan dan kepintaran akan mudah mencari pekerjaan, uang, dan ketenaran. Tetapi apakah itu yang dikehendaki Allah? Allah menghendaki lebih dari itu. Dalam pendahuluan sebelum ayat ini, Samuel diperintahkan Allah untuk pergi ke rumah Isai mencari pengganti Saul, Raja yang telah membuat Allah menyesal memilihnya (1 Samuel 15:11, 26). Samuel disuruh mengurapi salah seorang dari antara anak-anak Isai (1 Samuel 16:3). Tetapi selain Daud, ternyata semua anak-anak Isai ditolak Allah. Menurut ukuran dunia, apakah yang kurang dari diri Eliab (salah seorang anak Isai) itu? Pastilah ia seorang pemuda yang kuat dan pintar, sampai-sampai ketika melihatnya Samuel sendiri terpesona dan bergumam dalam hati menyatakan keyakinan bahwa inilah dia orang yang dikehendaki Allah (1 Samuel 16:6). Tetapi Tuhan berkata, ”Jangan pandang parasnya atau perawakan atau perawakan yang tinggi, sebab Aku telah menolaknya.”  (ayat 7a). 

3.   Memang, orang yang kuat dan pandai apalagi ditambah dengan ketampanan dan kecantikan, tidak terlalu banyak di dunia ini. Itu sebabnya banyak perusahaan berani membayar mahal untuk mendapatkan pegawai yang memenuhi syarat seperti itu. Sekolah-sekolah menyediakan beasiswa untuk siswa yang cerdas. Orang tua mau berusaha apa saja, asal anaknya memiliki kriteria seperti itu. Tetapi, bila kita mengusulkan kepada Allah manusia yang sekadar kuat, pandai, cantik ataupun tampan, tentu Allah tetap akan mengatakan: “Aku telah menolaknya!” Dunia mungkin memiliki ukuran baku yaitu kekuatan dan kepintaran, tetapi itu tidak cukup untuk mengerjakan keinginan Allah.

4.   Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi TUHAN melihat hati.” (ayat 7b). Pertimbangan Allah bukanlah apa yang tampak secara kasat mata, bukan hanya “sampulnya”, tetapi apakah orang tersebut memiliki hati yang layak ditempati oleh Roh Tuhan, hati yang mau bekerja sama dengan Roh Tuhan, dan hati yang cukup peka dengan bisikan dan dorongan Roh Tuhan? Bukankah banyak orang di sekitar kita yang kuat dan pintar, sangat berbakat, tetapi hati mereka dipenuhi oleh kesombongan? Bukankah banyak orang yang perawakannya gagah, mengesimakan mata, namun sesungguhnya tidak memiliki nurani? Lihatlah televisi, bukankah banyak orang yang pandai, berbicara hebat, orator, memiliki kekuatan kuasa, namun ternyata hatinya tidak lagi peka terhadap penderitaan sesamanya? Di dunia ini, yang dinginkan Allah untuk dapat melakukan pekerjaan-Nya adalah orang-orang yang hatinya mau didiami oleh Roh Tuhan. Memang menjadikan orang menjadi pintar itu penting, memiliki intelektual yang baik, cerdas, kuat, dan sebagainya itu sungguh baik, namun dunia ini akan kehilangan maknanya bila Roh Tuhan tidak hadir di dalam hatinya. Oleh karenanya, membangun dunia, bangunlah dunia yang memiliki hati. Mengembangkan sumber daya manusia haruslah juga mengembangkan kepekaan hatinya, agar menjadi hati yang mau bekerja sama dengan “hati Allah” yaitu “Roh Tuhan”. Dengan demikian, kita membangun manusia, anak-anak kita, bukan hanya manusia yang diterima manusia, tetapi manusia yang diterima dan diurapi oleh Allah. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar