Kamis, 27 Maret 2014

Membangun Solidaritas (Roma 12:9-12)



  1. Sudah merupakan suatu kebiasaan para sarjana Perjanjian Baru untuk membagi Surat Roma ke dalam 2 (dua) bagian besar: bagian yang pertama, pasal 1-11, yaitu penekanan yang sifatnya lebih kepada hal-hal yang dogmatis/ajaran, tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan isi kepercayaan dari kekristenan itu sendiri. Bagian yang kedua, pasal 12-16, berisikan tentang nasehat dan perintah yang praktis. Sehingga dengan demikian, dari kedua bagian tersebut dapat kita lihat apa yang ingin dikatakan Paulus: bahwa iman kekeristenan itu bukan hanya sebatas teori (konseptual) semata, tetapi dia hidup dan dihidupi dalam kehidupan nyata dan tampak di setiap diri dan perjuangan orang-orang Kristen. Selanjutnya, dengan pembagian tersebut, maka perikop khotbah Minggu Rogate ini termasuk ke dalam bagian yang kedua. Khususnya Roma 12:9-12 ini sengaja dituliskan Paulus untuk menolong orang-orang Kristen di Roma supaya mereka sungguh-sungguh mampu menghidupi kasih yang benar itu sebagai identitas kekeristenan, sebagaimana yang telah Yesus tunjukkan dan ajarkan semasa hidup-Nya kepada murid-murid-Nya dan orang banyak. 
  2. Terjemahan bebas untuk ayat 9-10 : “dalam mengasihi (Yun. agape) lakukanlah tanpa kepura-puraan (kebencian, kedengkian, menaruh rasa dengki), dan yang jahat, tetapi (melekat, menempel pada, tergabung pada) apa yang baik. Dalam mengasihi saudara (philadelfia) jadilah baik, penuh kasih sayang (philasorge), saling mendahului, menampakkan perasaan pada orang lain dalam proses menghormati”. Terjemahan ini mungkin sedikit berbeda dengan Terjemahan Baru LAI (TB-LAI), tetapi demikian sekaligus juga akan sedikit lebih membantu kita untuk mengerti penekanan apa yang sesungguhnya yang ingin dimaksudkan oleh Paulus. Paulus memenuhi kedua ayat ini dengan kata kasih, ia memakai kata-kata tersebut dalam kumpulan kata untuk memberitahu kita sampai tingkatan mana sesungguhnya kita harus mengasihi. Mengasihi (agape) dilakukan dengan tulus hati, tanpa kebencian, kedengkian, atau kepura-puraan. Dalam dunia Yunani, terminologi kepura-puraan berasal dari theater Yunani, dimana ada aktor yang memakai topeng untuk menggambarkan suatu karakter. Mengasihi tanpa topeng, yaitu mengasihi tanpa dua wajah. Apa yang terlihat, itulah yang sebenarnya. Mengasihi dengan tulus adalah bagian dari kebaikan yang ada di hati kita. Mengasihi (agape)adalah kata kerja, yang harus tampak dan berdampak bagi orang-orang di sekitar kita, tidak hanya bagi diri-sendiri, tetapi juga memberikan ruang hati bagi orang-orang lain (philadelfia, kasih dalam keluarga). Dimulai dari sesama orang-orang Kristen. Tentu juga, tidak menjadikan orang Kristen menjadi ekslusif (tertutup) karena pada bagian selanjutnya nanti (ayat 14-21) ditekankan juga kasih kepada orang-orang yang bukan Kristen. Sehingga keluarga yang dimaksudkan nantinya bukan hanya sebatas ikatan darah, tetapi setiap orang yang hadir di hadapan dan di sekitar kita, yang membutuhkan  senyuman dan uluran nyata kita. Dia tidak hanya simpati, tetapi juga empati terhadap apa yang terjadi pada orang lain dan lingkungannya. Solidaritas (dari kata solid: satu, kokoh, kuat) yang menunjukkan kebersatuan perasaan terhadap pergumulan dan hidup orang lain. 
  3. Ayat 11-12: Kehidupan merupakan pemberian Tuhan sekaligus juga tugas yang wajib dikerjakan. Tiga kata yang dirangkaikan dalam ayat 11: kerajinan – roh – pelayanan. Roh (pneuma) merupakan pemberian Tuhan, merupakan dorongan untuk membuat kita selalu bersemangat. Jangan pernah ada yang mendukakan dan memamdamkan roh (bnd. Efesus 4:30; 1 Tesalonika 5:19). Kerajinan dan pelayanan adalah tanggung jawab orang-orang percaya di bumi ini. Tidak ada kata malas dan dingin dalam pelayanan, tetapi tetap mengingat bahwa pelayanan adalah tujuan mengapa ia ditempatkan di dunia ini. Roh yang diberikan dan semangat yang berapi-api bukanlah yang menjadi tujuan akhir, tetapi harus menjadi sarana pembangunan jemaat dan pemupuk solidaritas di antara umat Tuhan dan juga dunia sekitarnya. Pengharapan di ayat 12 menunjuk kepada sesuatu hal yang di depan kita, sehingga dengan mengingat dan menatapnya saja telah menjadikan kita tetap mampu untuk bersuka cita dan bersabar sebagaimanapun hampangan menghadang karena kesetiaan pada iman dan kemuridan kita. Jurgen Moltmann, teolog yang mengembangkan Teologi Pengharapan (The Theology of Hope) mendasarkan pemikirannya pada hal ini. Keberadaan kita sekarang, yang kuat dan tahan serta bersemangat, diberikan atas dasar pengharapan kita pada sesuatu yang akan datang, dan pengharapan itu sekaligus pada saat ini dihadirkan-Nya dalam kekinian kita. Apakah sisi-sisi dari pengharapan kekristenan itu? Kemuliaan yang kekal yang melampaui segala hal yang ada di bumi (bnd. 2 Korintus 4:17), kedatangan Yesus untuk kita nantinya dan persekutuan yang kekal orang percaya dengan Sang Pencipta, penghadiran dari setiap hal tersebutlah yang menjadikan kita mampu untuk selalu bersyukur dan bersuka cita di sini dan saat ini. Bertekunlah dalam doa! Luther pernah mengatakan bahwa doa adalah nafas setiap orang percaya. Jiwa dari setiap orang percaya dan kekuatannya adalah dengan bertekun dalam doa. Dengan doa kita dapat bertahan dan mampu menghadapi setiap terpaan badai kehidupan yang menghempaskan perahu hidup kita. Berdoa adalah cara terbaik membuka pintu bagi Tuhan untuk mengetahui apa kehendak-Nya di dalam hidup kita. Berdoa adalah pelatihan diri untuk bersatu dengan kehendak Tuhan, merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain, dan sekaligus memupuk solidaritas kemanusiaan kita. 
  4. Kasih itu dilakukan dengan setulusnya dan bersungguh-sungguh. Kata sungguh-sungguh dalam bahasa Latin berasal dari kata sine cera (sincere) yang artinya tanpa wax/lilin. Konon katanya, retakan pada keramik kuno dulu ditutup dengan wax/lilin untuk menyembunyikan fakta bahwa keramik itu kurang baik atau rusak.  Seperti pada zaman ini atau mungkin saat kita menutupi karat pada mobil dengan plastik filler dan mengecatnya supaya pembeli tidak dapat melihat keadaan mobil yang sebenarnya. Nasehat untuk hal ini: jangan pernah mengasihi dengan cara seperti itu. Biarkan kasih anda merupakan ungkapan yang sejati/asli. Jangan pura-pura mengasihi, bersungguh-sungguhlah mengasihi. Kita harus mengasihi dengan kasih agape dan mengasihi tanpa pura-pura; kasihilah dengan sungguh-sungguh, tanpa wax/lilin.
  5.  Kita mengasihi dan menunjukkan kasih yang benar kepada saudara-saudara dalam persekutuan orang-orang percaya dengan cara saling mendahului dalam memberi hormat dan menghargai. Jadilah yang pertama untuk itu, biarkan yang lain melakukan hal sesuai kehendak mereka. Jangan kuatir tentang apakah mereka akan balas mengasihi kita atau tidak. Jangan menunggu sampai ada indikasi respon penghormatan sebelum kita melakukannya. Lakukan lebih dulu dan sungguh-sungguh kasihilah mereka secara maksimal. Ketika kita mengasihi dengan cara demikian maka kita dapat membiarkan hasilnya secara penuh ada pada Tuhan. Melayani Tuhan adalah dengan melayani sesama (berdiakonia), kepada setiap wajah yang ada di hadapan kita. Hanya dengan mengasihi dengan cara yang demikian kita dapat memberikan pendidikan solidaritas, yang berguna bukan hanya bagi diri kita, bukan hanya bagi orang yang ada di sekitar kita saat ini, bahkan juga bagi generasi gereja dan bangsa ini di hari-hari yang akan datang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar