Kamis, 27 Maret 2014

Keselamatan Yang Menembus Batas-Batas (Kisah Para Rasul 11:15-18)



Pertanyaan Penuntun

  1. Apakah yang menjadi latar belakang atau akar permasalahan sehingga Petrus merasa perlu mengklarifikasi tentang pokok keimanan yang ada dalam perikop ini? (lihat 11:1-3) 
  2. Kepada bangsa yang mana Tuhan memberikan karunia keselamatan-Nya, apakah Dia hanya memberikan karunia itu bagi satu bangsa tertentu saja? (ayat 5-17, 18b) 
  3. Bagaimanakah sesungguhnya sikap terbaik dari setiap umat Tuhan yang telah menerima anugerah keselamatan tersebut? (ayat 18)

 Penjelasan

  1. Ternyata peristiwa Kornelius (yang diceritakan pada perikop sebelumnya, pada pasal 10), menimbulkan reaksi di antara jemaat induk di Yerusalem (11:1-3). Reaksi seperti itu sebetulnya wajar, karena memang ada sesuatu yang luar biasa. Tradisi yang sampai sekarang (pada waktu itu, di jemaat Yerusalem) dalam kehidupan jemaat beriman adalah tradisi yang terbatas dalam lingkungan Yahudi. Maka perkembangan Injil/sabda/firman ataupun penglihatan di lingkungan orang yang bukan Yahudi mau tidak mau menimbulkan reaksi, bahkan mungkin gejolak. Walaupun memang peristiwa bahwa orang lain menerima sabda atau firman Tuhan, sudah pernah terjadi dalam peristiwa Samaria (lihat Kisah 8:14). Walaupun juga bahwa lingkungan Samaria, sesuai dengan sejarah, tidak bisa dikatakan sebagai hal di luar batas dan wilayah (perjanjian). Namun itu pun sesungguhnya sudah menakjubkan. Apalagi sekarang penerimaan firman Tuhan itu telah melewati batas wilayah dan bangsa, yaitu di Kaisarea.[1] Hal ini semakin berarti dan menakjubkan seluruh anggota jemaat beriman dengan tradisi keyahudian yang sangat kuat itu. Ada keterangan yang menarik dalam pernyataan 11:3, yaitu tentang mereka yang disunat dan tidak disunat. Keterangan yang seperti ini juga kita temukan dalam bagian lain Perjanjian Baru, misalnya Galatia 2:12, yaitu ketika Petrus menarik diri dari makan bersama dengan kelompok orang-orang bukan Yahudi. Pada waktu itu Paulus memberikan catatan kritis terhadap Petrus, terhadap sikap yang seperti itu (lihat Galatia 2:14). Tampaknya jemaat mula-mula memang harus melewati masa kritis itu untuk menemukan sikap yang tepat bagi pewartaan iman Kristen di lingkungan orang-orang yang bukan Yahudi. 
  2. Rasanya tidak cukup untuk melihat peristiwa ini hanya sebatas sebagai masalah lembaga gerejawi (jemaat mula-mula) atau kepentingan keutuhan organisasi semata, melainkan harus melihat juga “dorongan Roh Kudus” yang memungkinkan dan menuntun jemaat muda tersebut mengembangkan diri secara penuh. Petrus dan para murid yang lain bertanggung jawab untuk itu. Itulah sebabnya menjadi penting dibuka pertanggungjawaban publik dalam perikop ini agar gerakan Roh itu bergerak menjadi suatu kesadaran bersama. Sekali lagi, ini bukan hanya demi kepentingan organisasi gereja, melainkan perutusan Roh Kudus yang harus mereka wartakan dan laksanakan! Tidak ada batas yang bisa mengurung dan membatasi pekerjaan Roh Kudus, apalagi batas-batas yang dipertahankan manusia untuk menjaga keekslusifannya. Karunia keselamatan itu tidak terbatas, Allah yang berhak menentukan kepada siapa Roh itu diberikan, dan kepada siapa iman itu ditanamkan (ayat 17, dan 18b). Namun demikian bukan berarti bahwa perjanjian Allah dengan leluhur Yahudi (Israel) menjadi batal begitu saja, tetapi Roh Kudus memberikan dimensi yang baru terhadap perjanjian tersebut. Allah yang telah memilih Israel, tetap mengasihi Israel, karena dalam prakteknya yang sering menjadi masalah bukan tentang Allah yang memelihara perjanjian-Nya tetapi bagaimana cara umat Yahudi (Israel) memelihara perjanjian mereka dengan Allah (bnd. Rom 9:6f.).[2] Dimensi yang baru dari perjanjian tersebut adalah, kini orang bisa menyadari bahwa jemaat mula-mula bukanlah sebuah organisasi massa, melainkan suatu gerakan rohani yang terbuka bagi semua orang dalam karunia Roh Kudus. Pekerjaan Roh Kudus yang tanpa batas ini menjadi kenyataan hidup bersama dengan bangsa-bangsa lain. 
  3. Selanjutnya menjadi menarik sekali untuk melihat respon dari jemaat yang tadinya ekslusif dan yang sedang bergejolak tersebut. Sesungguhnya ini tidak sesederhana yang kita pikirkan, mengubah pola pikir keimanan jemaat (Yahudi) yang telah ditanamkan sejak kecil dalam pikiran dan hati mereka. Tetapi ternyata Roh Kudus tidak hanya bekerja di Kaisarea kepada Kornelius (pasal 10), tetapi Ia berkarya juga di Yerusalem melalui dialog antara Petrus dan Jemaat yang ada di sana. Dialog (diskusi, atau mungkin lebih tepatnya “musyawarah jemaat”) itu dijadikan Roh Kudus sebagai alat-Nya untuk mendewasakan dan memupuk kemengertian iman yang sungguh bagi jemaat mula-mula. Baiklah gereja pada masa kini selalu merenungkan hal ini, “keajaiban musyawarah jemaat”! Tampaknya tokoh-tokoh Kristen di jemaat mula-mula sudah sangat menyadari hal ini, sehingga Lukas pun menuliskan dalam suratnya ini (Kisah Para Rasul).

   Buah dari dialog tersebut sangatlah jelas, jemaat menjadi tenang (dari kegundahan hati mereka) dan mengerti betapa luasnya cakupan karunia keselamatan Allah (universality grace, inklusif) sebagai ungkapan pujian kemuliaan mereka bagi Allah (ayat 18). Nyanyian baru mereka adalah kemengertian yang sungguh akan hancurnya batas-batas teritorial, bangsa, ras, suku, ekonomi, dan sebagainya dalam hubungan keluarga yang hidup di dalam kemurahan karunia keselamatan Allah yang dinyatakan dalam diri Yesus Kristus.

Permenungan
Allah sendiri yang menanamkan akar yang kuat pada orang Yahudi, dan oleh mereka diberi tugas untuk menjadi berkat bagi bangsa-bangsa lain, sebagai bukti kemurahan Allah bagi seluruh ciptaan-Nya yang telah berdosa. Ketika umat Yahudi sering sekali gagal memelihara perjanjian mereka, Roh Allah memberikan dimensi yang baru dalam perjanjian itu dengan cakupan yang lebih universal tanpa batas-batas yang dapat menghambat pekerjaan-Nya.
Permulaan zaman yang baru telah dimulai, bagi yang percaya dan mengaku Kristus adalah Tuhan, tentu mereka akan merasakan perubahan oleh Roh Kudus seperti yang terjadi pada jemaat mula-mula di atas, yaitu mereka menjadi tenang dan memuliakan Allah. Tetapi pertanyaannya sekarang apakah semua kita menjadi tenang dan memuliakan Allah? Apakah kita juga menjadi tenang ketika orang lain (yang kita anggap selama ini bukan umat) merasakan juga karunia dari Allah yang kita percaya tersebut? Apakah kita juga dapat tenang ketika bangsa-bangsa lain juga mendapatkan berkat dari Allah yang kita sembah itu?
Kita masih terlalu sering terjebak pada “kidung nyanyian lama” yang membatasi karya Roh Kudus hanya sebatas orang-orang “yang sama dengan kita”. Bahkan di dalam gedung gereja sendiri pun kita sudah terlalu sering membuat “kamar-kamar” dengan batas dinding kesukuan, marga, tingkat ekonomi, tingkat pendidikan, profesi, jemaat baru atau jemaat lama, jabatan, dan sebagainya sehingga pekerjaan Roh Kudus “menjadi terhambat” berkarya di dalam gereja yang kita sebut-sebut juga merupakan kepunyaan Allah. Setelah itu dapat terselesaikan, selanjutnya, kemudian barulah kita bisa berbicara dalam cakupan yang lebih luas, bahwa karunia keselamatan Allah telah diberikan-Nya kepada seluruh bangsa-bangsa melalui pekerjaan Roh Kudus.
Sehingga nyanyian baru (Kantate) kita adalah ketika umat Allah dapat menjadi tenang dalam kebhinekaan, sekaligus mensyukuri perbedaan yang ada dengan merobohkan tembok-tembok yang dapat memisahkan kita dengan yang lain sebagai keluarga yang hidup dalam satu kasih anugerah keselamatan di dalam diri Yesus Kristus.


[1] Ada dua nama tempat Kaisarea di Palestina. Yang pertama, Kaisarea Filipi, letaknya di kaki Gunung Hermon, tempat asal Sungai Yordan, terkenal sebagai tempat pengakuan Petrus (Matius 16:13). Kaisarea yang kedua adalah, Kaisarea Maritim. Kota ini berada di pantai Laut Mediterania (Laut Tengah), jaraknya lebih dari 100 km sebelah barat laut dari Yerusalem. Banyak kuil dan penyembahan agama Romawi dan Yunani di sana. Kota Kaisarea Maritim inilah yang dimaksudkan sebagai tempat kediaman Kornelius, sehingga dapatlah dimengerti “ketidakterimaan” orang Yahudi terhadap kenyataan bahwa Firman Tuhan telah dinyatakan di sana.
[2] Untuk hal ini dengan bijaksana, seorang sarjana Perjanjian Baru, Anders Nygren mengatakan bahwa: yang pertama, Allah memberikan janji-janji-Nya kepada Israel dan tidak pernah menghancurkan mereka, mereka tetap umat Allah dengan tanggung jawab menjadi berkat bagi bangsa lain. Kedua, Janji-janji Allah tersebut dipenuhi di dalam Kristus, dan nyata dalam kedirian umat-Nya. Perjanjian yang kedua tidak menghancurkan perjanjian yang pertama, tetapi memberi cakupan karunia yang lebih universal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar