Rabu, 26 Maret 2014

ALLAH MENGHIDUPKAN HARAPAN UMAT-NYA (Yehezkiel 37:1-14)


1.   Kematian, dalam arti yang sesungguhnya, bukanlah sesuatu yang ditakutkan dalam kehidupan umat Israel, sehingga “kematian” tidak pernah termasuk salah satu pokok penting dalam Teologi Perjanjian Lama, jarang sekali dibicarakan. Dalam pergumulan iman mereka, bukan kematian yang paling menakutkan, tetapi yang paling menakutkan bagi umat Israel adalah keterputusan (terputusnya) hubungan di antara umat dengan Allah, hal itu merupakan malapetaka yang sangat. Pada fase itu, umat sesungguhnya tidak lagi merasakan apa itu makna hidup, tidak memiliki tujuan, dan tidak lagi memiliki pengharapan. Dan salah satu fase “keterputusan hubungan” tersebut adalah ketika umat (bangsa) Israel dibuang ke Tanah Babilonia.

2.  Walaupun sejarah mencatat bahwa di Tanah Babilonia (saat ini disebut Irak) umat Israel dapat hidup dengan baik, mereka tidak diperbudak, bahkan beberapa di antara mereka bisa hidup sangat sejahtera secara perekonomian dengan berniaga ataupun menjadi pegawai di pemerintahan, namun sesungguhnya hati dan jiwa mereka tetap merasakan “kekosongan” yang sangat. Bila kita menemukan “istilah-istilah Masa Pembuangan” seperti: ratapan/tangisan (32:2 dst.), tulang-tulang yang kering (37:2,4), tulang-tulang yang bertaburan/berserakan (37:2), pengharapan yang lenyap... hilang (37:11), sesungguhnya itu semua sudah cukup untuk menunjukkan bagaimana perih-getir penderitaan batiniah mereka, dan inilah yang menjadi latar belakang perikop khotbah kita.

3.    Dalam situasi dibuang, saat ini mereka sudah sampai kepada tahap puncak dan stagnasi tanpa pengharapan, karena kota Yerusalem yang selama ini merupakan pegangan mereka sebagai simbol jaminan pemeliharaan Allah walaupun mereka jauh, ternyata kota itu pun telah dihancurkan. Oleh karenanya dibutuhkan suatu “hal yang luar biasa” untuk membangkitkan semangat dan pengharapan mereka kembali.

4.     Penglihatan Yehezkiel dalam lembah yang penuh dengan tulang yang kering ini, menurut saya, merupakan bagian yang paling terkenal dalam Kitab Yehezkiel ini. Bagian ini tersusun oleh kisah dramatis sebuah penglihatan (ayat 1-10), dan penafsirannya (ayat 11-14). Tuhan membimbing Yehezkiel ke tempat yang penuh dengan tulang kering (ayat 1-2). Di tempat yang penuh dengan tanda-tanda kematian ini, Allah bertanya kepada Yehezkiel, “... dapatkah tulang-tulang ini dihidupkan kembali?” Nabi menunjukkan sikap takluk akan kuasa Allah untuk membuat keputusan mengenai hidup atau mati. Ia menjawab dengan hormat: “... Engkaulah yang mengetahui!” (ayat 3). Artinya ia menyadari bahwa segala sesuatu tidak ada yang mustahil bagi Allah Yang Hidup. Padahal, “tulang-tulang yang berserakan” itu adalah simbol bahwa tidak ada lagi pengharapan dalam hidup umat Israel. Bagi pemikiran manusiawi, masa depan mereka sudah habis dan tidak ada lagi, bangsa Israel akan tinggal sejarah. Namun tidak demikian ternyata di mata Allah.

5.    Selanjutnya, Allah memerintahkan kepada Yehezkiel untuk menubuatkan kepada tulang-tulang mati, sehingga roh, otot-otot, daging, kulit, dan nafas yang baru akan menghidupkan tulang-tulang itu (ayat 4-6). Nabi melakukan itu dan ia mendengar suara keras ketika otot-otot, daging, dan kulit menutupi tulang, tetapi belum ada nafas baru mendatangi mereka (ayat 7-8). Dengan perintah kedua, Allah memerintahkan dia supaya memanggil nafas hidup dari keempat penjuru angin, supaya datang dan menghembuskan kehidupan ke dalam tubuh itu (ayat 9). Nabi melakukan seperti yang diperintahkan, dan nafas hidup itu masuk ke dalam mereka sehingga mereka hidup kembali. Mereka menjejakkan kakinya laksana suatu pasukan yang sangat besar jumlahnya (ayat 10).

6.   Dalam bagian penafsirannya berikut (ayat 11-14), Allah menjelaskan bahwa mereka, yang pengharapannya berbalik menjadi putus asa, akan dibimbing dari pengalaman kematian (tentu bukan dalam arti kematian fisik, namun kematian semangat dan pengharapan) kepada kehidupan yang baru di tanah Israel (ayat 11-12). Bila diperhatikan, ada sedikit perbedaan pada ayat 12, dikatakan bahwa tulang-tulang bangkit dari kuburannya, bukan dari sebuah lembah yang penuh dengan tulang-tulang berserakan. Tentu hal ini dapat ditafsirkan sebagai kuasa Tuhan yang melebihi dari kuasa apapun, dunia dan maut. Ayat 13-14, yang berisikan dua rumus pengakuan, menekankan bahwa hidup baru yang diberikan Tuhan kepada umat akan menghidupkan kembali, baik pemahaman mereka mengenai Allah maupun hidup mereka di tanah air mereka. Gambaran dalam perikop ini sama sekali bukanlah gambaran kebangkitan individual dari kematian, namun ini suatu pelukisan penglihatan mengenai kesatuan politik yang baru di Israel, suatu pengharapan keisraelan yang sungguh. Dengan menghidupi pengharapan ini sajalah yang membuat mereka akan mampu bertahan dan semangat dalam menjalani tahun dan hari-hari terakhir di Tanah Pembuangan.

7.   Apakah relevansi firman ini terhadap kehidupan masa kini? Tentu banyak. Salah satunya, mungkin frekuensi kesibukan kita tinggi, perekonomian kita baik saat ini, karier bagus, dan sebagainya, namun sesungguhnya kita sering sekali bagaikan “tulang-tulang yang kering” yang tanpa arah dan tujuan. Kita mengalami “kekosongan”, keterputusan hubungan dengan Allah. Atau kita mungkin adalah “tulang-tulang yang sudah ditumbuhi daging dan ditutupi kulit” namun tanpa nafas kehidupan. Umat yang hidup tanpa gairah dan pengharapan. (Di Suku Toraja, memang tulang dan mayat dapat disuruh berjalan, namun begitu ada yang menyapa, dia langsung terjatuh, tak memiliki kekuatan apalagi pengharapan). Hanya bersekutu dengan Allah Yang Hidup yang dapat menolong kita. Menghidupkan pengharapan dan arah tujuan kepada kehidupan yang lebih baik, pengharapan bahwa suatu waktu akan dibawa dari tanah pembuangan menuju negeri yang penuh kedamaian dan suka cita. Dialah sumber hidup, pengharapan, dan jaminan masa depan dengan mentari yang lebih bersinar.
Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar