Jumat, 20 Februari 2015

DI PINTU GERBANG TANAH PERJANJIAN (Refleksi Histori-visionis Menyambut 40 Tahun Gereja Protestan Persekutuan)



Makna Histori-visionis
Bahasa Jerman mengenal dua istilah untuk kata “sejarah”, yaitu “Historie” dan “Geschicte”. Historie mungkin lebih kepada pendekatan yang bersifat penelitian objektif ilmiah. Tetapi makna Geschicte jauh lebih dalam, yaitu sejarah merupakan kenyataan hidup yang mengikat. Ini artinya sejarah harus dilihat dengan kesadaran bahwa setiap generasi memberikan muatan baru dalam sejarah yang telah ada dan yang sedang berjalan itu. Sederhananya, sejarah harus dilihat dalam konteksnya, dalam pergumulannya.
Pola ini mengikuti apa yang dikemukakan oleh seorang teolog Perjanjian Lama yang sangat terkenal, Gerhard von Rad, yang menuntun kita pada konsepsi bahwa “sejarah” dalam Alkitab juga baiklah dimengerti dalam pemahaman yang seperti itu. Sejarah Alkitab adalah pengingatan atas tindakan-tindakan Allah dengan setiap generasi baru berupaya untuk membuat tindakan Allah itu menjadi relevan bagi setiap zaman dan hari-hari baru. Tindakan kesejarahan yang seperti ini pulalah yang harus kita lakukan sebagai umat percaya sampai saat ini, sehingga kita akan mampu melihat “bayangan” masa depan yang akan Allah perjuangkan bagi kita dan gereja-Nya.
Memaknai Teks Ulangan 1:1-18
Teks ini sengaja dipilih karena secara “Historie” merujuk langsung kepada situasi umat Israel di Pintu Gerbang Tanah Perjanjian (sekitaran 1400 sM). Setelah hampir 40 tahun dipengembaraan semenjak keluar dari Perbudakan Mesir, setelah melalui sejumlah tantangan, perang, ancaman kelaparan, godaan penyembahan dewa asing dan penantian yang sepertinya tanpa akhir, kini arak-arakan itu harus bersiap diri menuju babak baru kehidupan sebagai sebuah bangsa: memiliki tanah yang telah dijanjikan Allah, Tanah Kanaan.
Dikisahkan bahwa Musa, pemimpin mereka, dalam pidatonya mengajak setiap umat yang akan memasuki Tanah Kanaan tersebut untuk selalu mengingat peristiwa Perjanjian Allah dengan Israel di Gunung Sinai, dengan puncaknya adalah pemberian Hukum Taurat. Pemeliharaan Perjanjian ini menurut Musa menjadi suatu hal yang paling penting dalam menjaga identitas mereka sebagai Umat Pilihan TUHAN nantinya ketika mereka telah menduduki teritorial yang telah berada di depan mata.

Di sisi yang lain, penelitian mengatakan bahwa secara “Geschicte” teks ini dituliskan pada masa Israel sedang di Pembuangan Babel (586-516 sM). Warisan dari cerita-cerita yang masih ada yang berhubungan dengan Musa melalui perikop ini mengingatkan kembali tentang pentingnya pemeliharaan perjanjian yang telah mereka deklarasikan dahulu. Tentunya dengan asumsi dasar bahwa keterbuangan mereka pada masa sekarang adalah karena mereka lalai dan enggan memelihara tanggung jawab perjanjian tersebut dalam kehidupan mereka sebagai umat yang khusus tidak mengindahkan hukum sebagai pengikat perjanjian. Hukum Taurat adalah sarana terbaik untuk perpegang pada TUHAN dan menekankan perilaku yang benar bagi sesama.
Bangsa Israel telah berada di pembuangan sekarang, walaupun mereka dapat hidup dengan “sejahtera” di Babel, apakah mereka tetap merasa nyaman jauh dari tanah yang dahulu telah dijanjikan Allah dan yang pernah mereka diami sebagai sebuah bangsa yang jaya? Apakah mereka masih mampu menahan kerinduan dalam persekutuan yang satu seperti apa yang mereka lakukan pada masa-masa silam di Kota Suci, Yerusalem? Dan seberapa lama lagi telinga mereka akan bertahan pada gunjingan bangsa sekitar yang mengatakan bahwa TUHAN Israel telah dikalahkan? Disamping itu juga identitas mereka sebagi suatu kesatuan bangsa juga merasa terancam bila tetap bertahan di pembuangan.

Jawaban dari itu semua adalah dengan semangat kembali ke tanah perjanjian, dengan kembali mengingat, mengikatkan diri, dan menghidupi perjanjian ilahi yang mereka telah ikatkan dulu melalui bapa-bapa leluhur di Pegunungan Sinai. Dan Hukum Tauratlah yang menjadi ketetapan-ketetapan dari perjanjian ilahi, antara mereka dengan Allah. Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa perjanjian ilahi itu akan menjadi sempurna ketika bangsa Israel menghidupi Taurat sebagai perwujudan ketaatan, dan TUHAN memberi tanah perjanjian sebagai simbol ke-allahan-Nya sebagai Allah Israel.
Secara teologis dalam dimensi pengharapan Israel, teks Ulangan 1:1-18 ini adalah sebuah jaminan akan kehidupan yang lebih baik yang diberikan di wilayah tanah perjanjian. Pengharapan itu ada dimulai dari kesadaran kembali bangsa Israel akan pentingnya hukum dan perjanjian kepada TUHAN yang selalu bekerja dan memegang setiap apa yang telah disumpahkan-Nya.
Memaknai Perjalanan 40 Tahun GPP
Judul besar tulisan refleksi ini adalah Di Pintu Gerbang Tanah Perjanjian. Pemilihan judul tersebut sangat beralasan mengingat kesimilaran antara tahun perjalanan Israel di pengembaraan sejak dari Perbudakan Mesir dan usia perjalanan GPP sejauh ini: 40 tahun. Analoginya, keduanya menuju suatu babak baru, dan saat ini berada di pintu gerbangnya, GPP adalah arak-arakan umat Allah di masa yang berbeda.
Sudah barang tentu ada banyak hal yang layak kita ingat dalam perjalanan sejarah gereja kita ini sejak awal berdirinya pada kebaktian pertama di GPP Mandala Medan, 18 Mei 1975. Tantangan dan banyak fakta-fakta pergumulan menghiasi tahun-tahun yang TUHAN telah berikan di Historie” gereja kita ini. Data statistik pertumbuhan jumlah Gereja, jumlah anggota jemaat, dan jumlah pelayan penuh waktu adalah juga bagian dari ke“Historie”-an itu. Demikian pula dalam hubungan kerja sama di bidang keoikumenisan, kesaksian dan diakonia dengan lembaga-lembaga yang ada di dalam dan di luar negeri telah menjadi agenda aktif yang menunjukkan bahwa gereja ini selalu mengingat misinya di dunia sebagai gereja yang hidup.
Di sisi yang lain, tentu kita juga harus memaknai ini semua dari ke-“Geschicte”-annya. Kesejarahan ini tentu saja bukan hanya menyangkut fakta-fakta yang telah terjadi dan yang sedang berlangsung, namun lebih kepada pemaknaan setiap generasi, terutama kita, terhadap apa yang Tuhan sudah lakukan di dalam dan melalui gereja kita. Semuanya ini, seperti umat Israel, tentunya selalu berhubungan dengan pemeliharaan perjanjian antara Allah dengan kita sebagai umat-Nya.
Perjanjian ini bukanlah atas dasar hubungan alamiah atau hubungan keluarga, tetapi lebih merupakan hubungan anugerah. Hubungan itu diresmikan pada waktu dan tempat tertentu dalam sejarah, sebagai pemberlakuan dari belas kasihan Allah kepada gereja-Nya. Oleh karena itu kelanjutan dan kelestarian hubungan itu hanya tergantung kepada keteguhan gereja GPP pula dalam memeliharanya, karena Allah adalah Allah yang setia.
Perjanjian menghendaki adanya kemauan gereja untuk secara konsisten mengikatkan diri, peneguhannya sekali untuk selamanya namun pemberlakuannya tidak terikat pada satu saat saja dalam sejarah umat Allah (gereja). Oleh karena itu perjanjian itu pun setiap kali harus di terima oleh setiap generasi penerus gereja (bandingkan Ulangan 5:2-3). Setiap generasi gereja dengan demikian selayaknyalah sampai saat ini harus seolah-olah turut hadir di Gunung Sinai, sebagai bagian dari perjanjian itu sendiri.
Apa yang telah Tuhan lakukan sampai menghantarkan kita di Pintu Gerbang Tanah Perjanjian ini menunjukkan dengan baik keberpihakan Tuhan kepada gereja ini, itu artinya bahwa kita masih diberikan anugerah kesetiaan untuk memelihara perjanjian kita dengan Tuhan. Tentu saja perjanjian tersebut berisikan kesetiaan untuk melakukan tri-tugas pelayanan yang disematkan bagi gereja di sepanjang zaman: Kesaksian, Pelayanan dan Persekutuan (Marturia, Diakonia, dan Koinonia).
Di Pintu Gerbang Tanah Perjanjian
Apakah yang akan gerangan yang telah Allah persiapkan bagi gereja-Nya. Yang kita percaya, apapun yang akan terjadi nantinya, pemeliharaan Perjanjian dengan Allah adalah sebagai jaminan keberpihakan Allah terhadap perjalanan GPP ke depannya. Gereja ini tidak boleh tergerus oleh zaman, terdiam terhadap ketidakadilan, atau selalu berada di “zona kenyamanan”-nya. Namun perjanjian dengan Allah adalah titik berangkat gereja untuk selalu berupaya dan berjuang demi mendatangkan damai sejahtera di dunia di mana dia hidup dan ditempatkan.
Ada beberapa agenda terdekat yang telah Allah persiapkan bagi GPP. Khususnya dii tahun 2015 ini, tepat pada 40 tahun usinya, GPP akan melaksanakan Sinode yang dimulai di tingkat Jemaat, Resort, dan di tingkat Pusat. Peristiwa yang akan Allah anugerahkan kepada GPP ini sesungguhnya dapat menjadi suatu “babak baru” bagi perjalanan gereja kita ke depannya, babak yang mendatangkan kesukaan bagi setiap umat Tuhan. Bukan berbicara hanya tentang periodisasi di setiap struktur gereja semata, namun yang terpenting adalah berdoa dan merumuskan arah-langkah gereja GPP lima tahun ke depannya. Hal ini tentu membuat kita harus selalu bersama bergandengan tangan memelihara kedamaian, kebenaran, dan suka cita sebagai simbol Kerajaan Allah di dunia ini. Hanya dengan cara itulah kita yakin bahwa “Tanah Perjanjian” itu dipersiapkan bagi kita untuk tempat kita bernafas dan berkarya serta bersaksi: bahwa kita adalah bagian umat yang telah Dia pilih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar