Kamis, 18 Desember 2014

Polemik Kolom agama dalam KTP (Suatu analisis sosio-religius)



Seorang Bapak bemarga Panjaitan, di sebuah desa terpencil di wilayah Kabupaten Toba Samosir, datang membawa dua orang anaknya dan meminta supaya Gereja bersedia membaptis mereka. Dia bukan seorang Protestan, tetapi seorang penganut kepercayaan “asli” nusantara: Parmalim. Dia harus membawa kedua anaknya untuk mendapatkan Surat Pembaptisan sebagai syarat administrasi pengurusan Akte Kelahiran di Kantor Catatan Sipil. Lebih jauh, di kolom agama KTP bapak setengah baya tersebut juga tertera “Protestan”, itu karena dia memang diharuskan memilih salah satu agama resmi di republik ini.

Bangsa Bhineka
Perbedaan memang sudah merupakan hakekat  kehidupan manusia, ia tidak dapat diganggu-gugat. Hal itu bukan lagi suatu yang baru muncul secara tiba-tiba pada masa-masa belakangan ini, namun dari perspektif iman sekalipun menyatakan bahwa perbedaan itu telah ada semenjak penciptaan itu dilakukan oleh Allah. Menolak perbedaan adalah tindakan yang menolak Allah yang telah menciptakan perbedaan (bandingkan Kejadian 1:26-27; 2:19).
Dalam konteks kebangsaan, kebhinekaan tentunya adalah sebuah keniscayaan. Dia bukanlah suatu bahan perbincangan yang baru begitu saja muncul namun merupakan eksistensi bangsa, dengan kesadaran penuh para pendiri bangsa ini sejak awalnya telah menyatakannya dengan lantang bahwa perbedaan itu sebagai semboyan negeri Indonesia. Bhineka dalam budaya dan bhineka dalam kepercayaan.

Di masyarakat dijumpai penganut agama Baha’i, Tao, Sikh, Yahudi, Kristen Ortodoks, bahkan juga agama-agama perenial, yaitu agama yang tidak mengambil bentuk formal, tetapi lebih mengutamakan penghayatan akan kehadiran Tuhan dan implementasi nilai-nilai agama. Selain itu, juga dikenal ratusan kepercayaan lokal (indigenous religions), seperti Parmalim di Sumatra Utara, Kaharingan di Kalimantan, Sapto Darmo di Jawa Tengah, Sunda Wiwitan di Kuningan, Jawa Barat, dan Tolotang di Sulawesi Selatan. Jika mengacu data Kementerian Budaya dan Pariwisata 2003 saja, setidaknya tercatat ada 248 organisasi aliran kepercayaan dengan jumlah penganut sebesar 8.821.724 jiwa. Wajar saja, mengingat data BPS juga menyebut bangsa yang mendiami sekitar 13.466 pulau ini punya lebih dari 1.128 ragam etnis dengan sejarah spiritual masing- masing.
Bicara tentang agama hakikatnya ialah bicara tentang interpretasi agama, faktanya tidak ada interpretasi tunggal dalam agama dan kepercayaan mana pun.

Kebebasan dalam Kebhinekaan
Namun demikian, tampaknya kebebasan kebhinekaan beragama masih menjadi pekerjaan rumah yang kita sendiri pun masih belum tahu kapan akan selesainya. Falsafah Pancasila yang pertama menyebut asas ketuhanan yang maha esa secara tersurat sebagai landasan hidup masyarakat Indonesia yang plural, yang menjunjung tinggi toleransi. Begitulah Pancasila, pernah diterangkan oleh Presiden (ketika itu) Abdulrahman Wahid sebagai pluralisme sosial, dimana persoalan ketuhanan harus senantiasa merdeka, tak sepatutnya saling dipertentangkan meski kebenarannya dianggap mutlak, tugas kita adalah saling menegakkan nilai kemanusiaan dalam kehidupan berbangsa. Legal standing, konstitusi Indonesia secara normatif menyebut secara tegas jaminan kebebasan beragama dalam UUD 1945 Pasal 29.
Inilah yang dinyata, terjadi banyak bias di ruang publik, karena kalangan yang punya otoritas kerap mendiskreditkan kepercayaan tradisional dalam kategori animisme yang terkesan kuno bahkan primitif. Hal ini membuat masyarakat penghayat kepercayaan harus menjalani hidup dengan perlakuan diskriminatif hingga stigma sesat yang tentu menimbulkan banyak kerugian.

Pengosongan Kolom Agama dalam KTP, jalan keluarkah?
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo sempat menyatakan kolom agama boleh dikosongkan keterangannya bagi masyarakat penghayat kepercayaan tradisional, atau di luar 6 agama resmi negara (Islam, Hindu, Buddha, Protestan, Katolik, dan Kong Hu Cu). Namun, isu ini sempat berkembang melenceng seolah pemerintah hendak menghapus kolom agama dari KTP, hingga menuai reaksi publik yang negatif. Tapi setidaknya polemik ini baik untuk membuka mata kita bahwa gunung es intoleransi beragama di negeri bhineka ini masih berdiri gagahnya.
Dalam negara demokrasi modern, KTP memiliki peran vital bagi kehidupan setiap warganya. Segala macam hak sipil (ekonomi, sosial, budaya) dan hak politik yang semestinya diperoleh akan terhambat tanpa adanya kartu identitas. Selama ini, masyarakat penghayat memang tersisihkan dari ruang-ruang legal. Mereka kesulitan mengakses dokumen-dokumen resmi kependudukan karena identitas spiritualnya yang dianggap anomali. Hal ini selanjutnya melahirkan dampak turunan: pernikahan mereka tak bisa masuk catatan sipil, dan anak hasil perkawinannya dicatat di bawah garis Ibu. Konsekuensinya cukup fatal, mulai dari akta kelahiran anak seakan hasil hubungan gelap, hak waris jadi tak jelas, hak mendapat pelayanan negara seperti jaminan kesehatan dan pendidikan pun terbatas, termasuk hak untuk partisipasi saat pemilu. Tak jarang mereka harus menghadapi situasi “keterpaksaan” memilih agama tertentu hanya untuk mempermudah keperluannya – seperti bapak Panjaitan dalam awal tulisan ini.
Mungkin itulah sebabnya pemerintah Jokowi menggulirkan “bahan diskusi” ini atas kesadaran pemulihan hak-hak konstitusi mereka yang telah lama termarjinalkan. Pengosongan bukan berarti penghapusan kolom agama, seperti apa yang didesak oleh beberapa kelompok dan Lembaga Swadaya Masyarakat, walaupun mungkin dengan argumen yang kuat, tetapi mungkin bukan itu maksud dari pemerintah. Pengosongan adalah pemberian hak kepada setiap warga penghayat untuk tidak memilih salah satu agama yang diakui di Indonesia, dan tidak mencantumkannya di dalam kolom agama di KTP. Pengosongan kolom agama bagi penghayat kepercayan ini memanglah sesuai dengan UU Adminduk No.24/ 2013 khususnya Pasal 4 ayat 5, yang sebenarnya bermaksud baik yakni menghentikan praktik “pemaksaan agama” dan “hipokrisi publik”.
Namun pertanyaannya, apakah dengan itu persoalan kebhinekaan ini menjadi selesai? Apakah dengan ini diskriminasi religius akan hilang begitu saja? Bukankah masalah yang sering muncul diakibatkan kuatnya paradigma agama “resmi” dan “tidak resmi” yang bergulir menjadi justifikasi “tidak sesat” dan “sesat”? Atau yang lebih praktis, apakah ada jaminan perlakuan yang sama akan didapatkan oleh mereka warga penghayat pada ruang-ruang publik hanya dengan mengosongkon kolom agama di KTP, seperti mendapatkan pekerjaan, peribadatan, pendidikan, pergaulan sosial, dan lain sebagainya?
Tentu langkah awal pemerintah dalam hal ini layak untuk diapresiasi, tetapi menjadi suatu kejanggalan bila pengosongan tetap dibiarkan begitu saja. Secara filosofinya, kalau penganut enam agama resmi tersebut wajib mengisi kolom agama di KTP, mengapa kebijakan itu tidak berlaku bagi selainnya? Bukankah mereka sama-sama warga negara yang memiliki hak dan kewajiban yang sama di depan konstitusi? Sehingga dengan ini pemerintah harus segera didorong dengan sangat untuk dapat mengakomodir setiap warga negara untuk dapat dengan tegas mencantumkan nama/jenis kepercayaannya di kolom agama KTP!

Israel di Pembuangan
Kisah ini terjadi pada abad ke-5 sM, peradaban yang jauh di belakang zaman kita berpijak. Israel ditakhlukkan oleh sebuah Kerajaan yang bernama Babel, dan sebagian besar masyarakatnya diangkut ke Tanah Babel (sekarang Irak). Mereka hidup di sana tidak kurang dari 70 tahun. Yang menarik, ternyata tidak ada satu pun dokumen historis yang menyatakan bahwa warga Israel yang diangkut dan menetap di Babel itu yang dipaksa dan teraniaya dengan alasan karena kepercayaan leluhur yang tetap mereka pelihara di pembuangan. Bila adapun penyiksaan dan penindasan di sana, sangat minimal, itu pun dipastikan bukan karena kepercayaan mereka yang berbeda melainkan hanya karena status Israel sebagai bangsa terjajah. Babel, bangsa kafir itu, telah mengerti bahwa kepercayaan adalah ruang pribadi yang sedikitpun tidak dapat menjadi alasan penindasan atau pendiskriminasian. Kehidupan yang penuh toleransi tinggi bukanlah sebuah negeri utopia, dan bukanlah sesuatu yang ahistoris! 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar