Jumat, 20 Februari 2015

Cinta ABG dan Cinta Dewasa



B
eberapa hari yang lalu saya iseng membongkar-bongkar kotak “peninggalan” masa-masa SMA. Saya menemukan sebuah bungkus VCD (belum DVD) yang sedikit berdebu, sebuah film remaja yang dulu berpuluh kali saya putar ulang. “Ada Apa Dengan Cinta” (AADC). Semua tahu betapa ABG-nya film tu. Wah, masa-masa yang telah lewat, masa ABG yang penuh “cinta monyet” dan sedikit konyol. Saya tersenyum-senyum sendiri mengingat-ingat semua. Tetapi aneh sekali, saya malah ingin menonton film itu, dan bahkan memutarnya berkali-kali, lagi dan lagi setelahnya... Ah, tentu saja bukan karena saya sedang jatuh cinta...
Tiba-tiba dalam bayangan saya melihat seperti sepercik keindahan yang dimiliki masa lalu, tetapi menghilang sete-lah kita menjadi dewasa.
Anak ABG penuh dengan gejolak dan gelora. Banyak salahnya, kata kita setelah kita menjadi dewasa. Mung-kin saja pendapat kita itu benar, namun sebenarnya juga tidak semuanya salah dan jelek. Saya melihat suatu adegan film itu, bagaimana si gadis yang berjanji akan setia menanti walau tak tau kapan akhir dari penantian itu. Si pria pergi ke Amerika dan berjanji pulang dalam “satu purnama” yang tidak diketahui berapa lamanya (eits, Ok tentu kita akan mengatakan, itu kan hanya dalam film bro..!!!).

Baiklah, tetapi saya juga punya fakta yang masih termemori bagus dalam ingatan saya. Bagaimana sahabat saya yang rela berjalan kaki meng-antarkan makanan sebulan penuh demi pacarnya yang terbaring lemah di Rumah Sakit yang letaknya tidak dapat dikatakan dekat. Ada pula seorang gadis sekelas yang masih mampu mengatakan “saya memaafkanmu” kepada teman pria yang telah menghianatinya, walau tentu dengan air mata yang menetes perlahan. (Adakah penjelasan yang tepat untuk itu?) Siapa yang rela menanti pujaan hati di tempat perhentian bus padahal hujan turun dengan derasnya, walau ia tau bahwa bus yang dinantinya itu sudah lewat? Siapa yang rela menabung uang jajan berbulan-bulan demi membelikan kado ulang tahun pacarnya? Siapa yang rela mengerjakan semua PR dan mencatatkan ring-kasan pelajaran demi sese-orang? Siapa yang masih mampu berkata “aku gak apa-apa” padahal hatinya sudah teriris asalkan si-dia bahagia? Siapa yang rela ditinggalkan dalam penantian tak bertepi demi studi lanjutan yang dicintainya di negeri nun jauh di sana? Siapa yang masih menga-takan “maaf ya sayang, pasti lagi istirahat ya...” setelah 78 kali panggilannya tidak di-angkat? Yang mencintai tulus walaupun tahu tak bisa bersama. Siapa...???
Jawabnya: anak ABG.
Lalu kita coba melihat fakta yang lain. Siapa yang bertengkar karena uang belanja tidak mencukupi bulan ini? Siapa yang bertengkar hanya karena si suami kesal menanti isteri yang belanja kelamaan? Siapa yang tahan “diam-diaman” berhari-hari hanya karena suami telat menjemput 5 menit? Siapa yang mengatakan “buang saja HP-mu itu” hanya karena tiga panggilannya tak terjawab? Siapa yang bertengkar soal siapa yang mengambil raport anak besok pagi? Siapa...??? Jawabnya: Orang Dewasa.
Wah, ternyata ada banyak kenangan yang harus didaftar kembali, sehingga ia tidak akan berlalu begitu saja. Masa ABG yang begitu indahnya, yang sekarang setelah kita dewasa kita malah sering sebut sebagai masa kelabilan, masa keluguan, masa kekonyolan, dan sebagainya, ternyata apakah seburuk yang kita bayangkan? Setidaknya bila kita bandingkan dengan “masa dewasa” kita saat ini.
Saya juga jadi teringat akan kisah cinta yang lain. Saya teringat masa ABG juga dengan cinta yang membara untuk Tuhan. Pernah dalam sebuah retreat atau Jambore Pemuda Kristen se-Sumatera Utara di suatu kota kecil, ada ribuan ABG mengangkat ta-ngan berteriak histeris men-dedikasikan hidupnya bagi Kristus, berjanji untuk setia melayani Tuhan dan rela me-nyerahkan segala-galanya bagi Tuhan. Mengingat sema-ngat kami ketika itu, bulu kuduk saya selalu merinding...
Siapa yang berjanji iman 50% uang jajannya akan disisihkan untuk penginjilan? Siapa yang tiap pagi dan malam menghafal ayat Alkitab dengan semangat? Tanyakan di gereja saya, siapa yang dengan sukacita lembur malam-malam mendekor gereja untuk perayaan Natal? Siapa yang rajin datang sermon Guru Sekolah Minggu padahal tugas di rumah menumpuk? Siapa yang tetap bertahan datang ke gereja menembus dinginnya malam hanya untuk “margurende” (latihan koor)? Siapa yang rajin latihan Song Leader walau tak ada yang mengucapkan terima kasih setiap selesai pe-layanan? Siapa yang tetap bertahan dalam pela-yanan walaupun setiap kali ke gereja dimarahin habis-habisan oleh orang tuanya? Siapa yang tetap rajin ke gereja, walau mungkin jelas-jelas pendetanya sendiri tidak mengenalnya, apalagi menyapanya?
Jawabnya: Anak ABG.
Sekarang, siapa yang malas ke gereja hanya karena pendetanya lupa menyapa-nya ketika berpapasan di jalan? Siapa yang bertengkar dalam rapat majelis hanya ka-rena keuangan gereja? Siapa yang takut gerimis sehingga tidak jadi pergi ke gereja? Siapa yang mengatakan “uang melulu” ketika amplop persembahan bulanan dibe-rikan penatua padanya? Siapa yang menyisihkan 0,1% gajinya untuk pembangunan gereja? Siapa yang sering mengatakan “ada keperluan mendadak” untuk bisa absen dalam sermon pelayan? Jawabnya: Orang Dewasa.
Oh, tentu kita pasti punya segudang alasan untuk me-nertawakan saya. “Lain dong ABG dengan orang dewasa bro..., ABG itu kan belum mengenal realitas hidup, masih emosional. Sedangkan orang dewasa dituntut untuk berpikir logis, rasional, dan bertanggung jawab. ABG itu masih dalam wawasan terbatas, sedang orang dewasa berbeda karena pemikirannya lebih luas, visioner, dan realistis.”
Ok, ok... Mungkin itu benar, saya juga pernah belajar ilmu jiwa, dan tidak dapat menyangkalnya dengan jawaban yang tepat.
Saya hanya ingin berbagi cerita kepada saudara. Ed Silvoso, seorang pelopor ke-bangunan rohani di Argen-tina. Dia adalah tokoh Kristen yang membawa perubahan bukan hanya bagi gereja, namun juga membawa trans-formasi sosial, politik, dan ekonomi bagi seluruh Argen-tina. Dalam sebuah sesi wawancara ia ditanya ten-tang pengalamannya yang luar biasa itu. Lalu apa yang dikatakannya? Ed Silvoso dengan bangga menceritakan tentang komitmennya yang teguh untuk membuatkan sarapan pagi bagi isterinya setiap pagi. Setiap pagi? Ya, setiap pagi...!!!
Terdengar “sangat ABG”?? Ya, tetapi itu sungguh benar dilakukannya, demi keindahan dan keteguhan hidupnya.
Sehingga, menurut saya, mungkin memang seharusnya pijar-pijar cinta ABG itu tidak pernah mati. Kita mungkin memang harus menjadi dewasa dalam pemikiran, menjadi bijaksana dalam pertimbangan, namun dengan itu mengapa kita harus kehilangan “hati”-nya anak ABG? Bayangkan bila pijar-pijar itu tetap membara. Bayangkan bila “hati” itu mewarnai hidup kita, pernikahan, hubu-ngan kita dengan sesama, terlebih hubungan kita dengan Bapa.
Seharusnya cinta memang begitu. Dia tidak pernah me-nyerah, dia sabar menan-tikan, memaafkan, mengor-bankan perasaan, berupaya tersenyum walau nanti di belakang diam-diam menyeka air mata, tetap mendoakan walau yang kita doakan tidak mengetahuinya. Bagi Kristus demikian pula, cinta kita tetap membara bagi-Nya walau di tengah tuntutan tanggung jawab sebagai orang dewasa. Berbagi cerita dengan Tuhan, tidak hanya ketika kita membutuhkan pertolongan-Nya namun juga ketika tadi siang kita melakukan sesuatu yang sangat memalukan, sehingga kita akan tersenyum bersama-Nya.
Biarkanlah cinta ABG itu tetap membara bagi kekasih (suami atau isteri) kita, walaupun mungkin wajah dan tangannya tidak sehalus dulu, keriput mulai tampak di sana-sini, walau tidak harus “deg, deg-an” seperti pertama kali dulu bertemu. Tetapi pijar-pijar cinta itu biarlah ia tetap hidup...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar