Sabtu, 19 April 2014

Memuji Sang Pencipta Keteraturan (Kejadian 1:1 – 2:4a)



  1. Bila kita perhatikan, nas di Almanak kita dituliskan Kejadian 1:1-2+4a, nats yang sebenarnya adalah Kejadian 1:1 – 2:4a. Boleh dilihat dari sudut pandang mana pun, pertama yaitu ketidakmungkinan Kejadian 1:4 dibagi menjadi dua bagian (a dan b). Kedua, Khotbah ini adalah untuk Minggu Trinitatis, sehingga tidak mungkin memuat tafsiran yang sesuai dengan warna Minggu Trinitatis hanya berdasarkan Kejadian 1:1-2+4a, apakah itu tafsiran dogmatis sekalipun. Ketiga, ini yang paling menguatkan, bila kita mau terbuka terhadap penelitian Sarjana Modern, Teori Sumber (penulisan Alkitab) tidak pernah mengutarakan adanya pembagian hanya Kejadian 1:1-2+4a, namun yang ada adalah bentuk utuh Kejadian 1:1 – 2:4a sebagai tulisan yang berasal dari Sumber P (Priest/Keimaman). Sehingga dengan demikian, Nats Khotbah Minggu kita kali ini adalah: Kejadian 1:1 – 2:4a.  
  2. Banyak perdebatan, namun mungkin sekali bahwa perikop ini dituliskan pada masa Kemaharajaan Persia menguasai Israel, setelah Masa Sesudah Pembuangan (Coote, 2010:22-33; Westermann, 1983:9-10; Friedmann, 1996: 189-192; atau Ed Noord, 2005: 3-4). Dipakai sebagai bagian Liturgi dalam ibadah, ibadah Israel ketika Bait Allah yang kedua kembali dibangun pada masa Ezra atau Nehemia sebagai gubernur di “kesatrapan” (propinsi) Israel. Sehingga tentu sekali, sebagaimana dalam tiap ibadah, yang menjadi subyeknya adalah Allah.
  3. Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi (1:1). Kata Ibrani yang diterjemahkan sebagai “menciptakan” adalah “bara”, kata Ibrani ini sangat terkenal. Sering sekali diartikan sebagai penciptaan sesuatu dari yang belum ada menjadi ada (creatio ex nihilo). Tetapi pengertian yang lebih tepat dari kata “bara” ialah mengatur dari keadaan yang porak-poranda. Menunjukkan pekerjaan yang kreatif yang menonjolkan kebaharuan, dan sering digunakan sebagai pengaturan terhadap kekuatan kekacauan (Wester-mann, 1985: 974; Eichrodt, 1967: 103). Misalnya untuk Kejadian 1:2-3, disebutkan kegelapan telah ada, ia tidak diciptakan, tidak juga dimusnahkan, tetapi kemudian diberikan batasan dalam pemisahan dari terang dan dalam pemberian nama (siang dan malam, 1:4-5), sehingga Allah menunjukkan kekuasaan-Nya atas kege-lapan. Kegelapan tidak lagi tidak terbatas tetapi dibe-rikan tempatnya dalam irama waktu. Dan malam selalu diikuti oleh cahaya pagi dan hari, waktu tertentu yang menunjukkan keagungan hadirat Allah. Allah mencip-takan tatanan hari, dengan memisahkan dan mengatur pergantian waktu sedemikian rupa. Selanjutnya, Allah mengatur pemisahan air dengan adanya cakrawala (1:6-7). Darat dan air (1:9-10). Menghijaukan bumi (1:12-13). Mengatur siang dengan malam (1:14-18). Mengisi darat dan air dengan makhluk hidup (1:20-25). Menghadirkan mandataris-Nya, yaitu manusia (1:26-28). Serta menga-tur waktu untuk beristirahat (2:2-3, pemeliharaan Sa-bat, meski yang ditekankan adalah perhentian dan penyegaran kembali, tetapi tujuan pokoknya adalah “menjaga tatanan/keteraturan” hubungan manusia dengan Allah).
  4. Cerita Penciptaan ini memunculkan perasaan umat betapa kecilnya mereka di hadapan Allah Yang Maha Kuasa. Bila Kejadian 1:1 – 2:4a dibaca dalam perspektif kebaharuan yang dilakukan Allah yang demikian, jelas-lah bahwa penciptaan yang dilakukan Allah meng-hasilkan perubahan yang radikal dari kekosongan (chaos, tak ada bentuk, kacau) menjadi berisi, tertata rapi, dan siap untuk dihuni manusia. Segala sesuatu menjadi “sungguh amat baik” (1:31). Keteraturan kosmos adalah karya Allah. Langit dan bumi ciptaan Allah itu tidak terjadi dengan sendirinya melainkan memerlukan tindakan-tindakan pemberesan dan penyusunan dari Allah. Dunia yang beraturan ini adalah tindakan penciptaan (pengaturan) yang terus-menerus dari Allah.
  5. Salah satu bagian yang sering menjadi perdebatan adalah bentuk orang ketiga plural “kita” dalam kata “niese” (kita akan membuat, 1:26). Kata ini menun-jukkan terjadinya permusyawarahan dalam perencanaan pembuatan manusia. Tentu bukan suatu ungkapan jamak kehormatan (pluralis maiestaticus), tetapi lebih kepada konsepsi “dewan surgawi” (Lempp, 1974:36). Tafsiran dogmatis menghubungkan dengan konsepsi Trinitaris yang telah ada sejak Perjanjian Lama, khususnya sejak penciptaan. Ketiga Pribadi Allah yang Sehakekat itu telah berkarya “bersama” sejak masa penciptaan.
  6. Implikasi teologis dari ini semua. Manusia sama sekali tidak ada hak manusia untuk “mengotori” cipta-an, mengeksploitasinya, bahkan malah harus menjaga-nya menjadi tetap dalam keadaan “bersih dan teratur”. Allah menyerahkan kepada manusia hak pemerintahan dan pemeliharaan atas bumi dan segala sesuatu yang ada di dalamnya. Namun demikian bukan berarti manusia dapat membuat peraturan sesukanya sendiri, karena segala sesuatu dipertanggungjawabkan kepada Allah. Tidak ada alasan untuk menyepelekan dunia ciptaan atau menganggap bahwa dunia ini jahat, menyusahkan dan fana, sehingga tidak perlu ditanggapi serius dan hanya perlu cepat-cepat dilewati. Malahan dunia ciptaan ini penting artinya, karena menjadi arena untuk segala sesuatu yang terjadi baik di antara Allah dan manusia (termasuk dengan merayakan Sabat) maupun di antara sesama manusia sendiri. Sesung-guhnya cara terbaik memuji Allah Pencipta keteraturan dalam suatu Litani Agung adalah dengan memelihara keteraturan tersebut.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar