Minggu, 20 April 2014

Kekudusan Umat Tuhan (Panggilan responsif atas Iman dan Pengharapan di dalam Kristus)




Mendengar kata “kekudusan” tidaklah selalu menyenangkan bagi sebagian orang Kristen. Sekalipun kita telah dikuduskan oleh kematian Kristus, namun  pada dasarnya tetap sangat rawan terhadap kejatuhan dosa. Itulah sebabnya kata “kekudusan” bisa menjadi sebuah “momok atau teror” bagi sebagian orang jika  dimunculkan dalam percakapan, bahkan banyak pengkhotbah yang enggan mengkhotbahkannya. 

Alkitab mengambarkan penghargaan yang sangat positif terhadap aspek kekudusan (Imamat 15:11, dan lain-lain), namun kebanyakan dari kita sering mengidentikkan kekudusan dengan kewajiban yang terpaksa dan memberatkan. Hanya dengan menyebut kata “hidup kudus” saja pikiran kita akan langsung tertuju pada hal-hal yang memberatkan, identik dengan daftar panjang berjudul “dilarang” dan  daftar panjang berjudul “kewajiban” atau tanggung jawab.


Di satu sisi memang hidup kudus adalah kewajiban namun di sisi lain hidup kudus adalah panggilan hidup bagi orang percaya. Dalam kitab Imamat, Allah sangat serius memerintahkan agar umat tidak melanggar kekudusan Allah (Imamat 22:32; 19). Musa dan orang-orang seangkatannya akhirnya tidak diijinkan memasuki tanah perjanjian, arah pengharapan mereka, karena gagal menghormati kekudusan Allah (Bilangan  20:12). Oleh karenanya, implikasi pertama adalah: kita tidak akan dapat menghidupi iman dan pengharapan, tanpa hidup dalam kekudusan.

Allah Yang Kudus

“...Kuduslah kamu, sebab Aku, TUHAN, Allahmu, kudus.” (Imamat 19:2). Bila dihubungan dengan Allah, kata “kudus” (Ibrani: qadosy) mengandung arti bahwa Ia berbeda dengan dewa lainnya, “ketertinggian Allah”, keteraturan karya (tatanan), serta garis pemisah antara Ia dan ciptaan (Eissfeld, 1966: 233-234).

Para nabi memproklamirkan kekudusan sebagai penyataan sendiri oleh Allah, kesaksian yang Ia terapkan pada diri-Nya sendiri dan segi yang Ia kehendaki supaya makhluk ciptaan-Nya mengenal Dia demikian.

Sifat Allah yang paling khas dalam Perjanjian Lama yang sering sekali diulangi dalam Perjanjian Baru adalah kekudusan-Nya. Walaupun bangsa-bangsa, benda-benda dan tempat-tempat disebut kudus, tetapi ini semua menjadi berarti bila dikhususkan kepada Allah, karena sesungguhnya hanya Allah sajalah yang kudus. Kekudusan, berarti bahwa Allah benar-benar murni dalam pikiran dan sikap!

Yesus: Yang Kudus dari Allah

Di dalam Markus 1:1-13, narator Injil Markus memulai kisahnya dengan memperkenalkan Yesus sebagai “Anak Allah” (Inilah permulaan Injil tentang Yesus Kristus, Anak Allah). Yesus diperkenalkan oleh seorang nabi yang suci (Yohanes), diproklamasikan sebagai “Anak terkasih” oleh Allah yang Maha Kudus dan ditemani di padang gurun oleh para makhluk yang kudus pula (para malaikat). Kalimat pertama Yesus sebagai protagonist juga merupakan panggilan untuk “kekudusan” (ketahiran) di dalam Markus 1:15,” kata-Nya: "Waktunya telah genap; Kerajaan Allah sudah dekat. Bertobatlah dan percayalah kepada Injil!" Kata “bertobat” memiliki arti berbalik dari dosa dan kenajisan menjadi menuju kekudusan, dan kata “percaya” adalah mengupayakan hidup sesuai dengan kehendak Allah yang suci.

Salah satu aksi pertama yang dilakukan oleh Yesus dalam Injil Markus adalah dengan “mengusir roh jahat” yang menguasai diri seseorang (Markus 1:21-28). Roh jahat tersebut dengan tepat dan tegas merumuskan misi Yesus (“Engkau datang untuk membinasakan kami”) dan jati diri Yesus (“Yang Kudus dari Allah”). Jadi, penginjil Markus sejak awalnya telah menempatkan Yesus dalam matriks keyahudiannya, dalam struktur kekudusan agamanya.

Sistem dan politik ketahiran atau kekudusan yang sering sekali dimengerti dalam hal-hal yang sangat pragmatis dalam keyahudian, dari pengertian mereka akan konsep kekudusan dalam Kitab Suci dan pengajarannya, tampaknya juga dianut dan dibela oleh “para lawan” Yesus di dalam Injil. Mereka yang sering sekali melakukan “dialog” atau “konfrontasi” adalah para penguasa di bidang sosio, religius, dan politik. Mereka adalah seperti, kaum Farisi, ahli Taurat, kaum tua, dan para imam. Mereka selalu berusaha “memisahkan” diri dari kelompok manusia lain yang mereka anggap tidak kudus, najis (Matius 9:10-11), mereka membela secara lahiriah kemurnian hari Sabat dari “pencemaran” (Markus 2:23 – 3:6), mereka dengan konsisten selalu membela Allah dari hujat (Markus 14:53-65; Lukas 5:17-26), mereka menjaga Bait Allah dari ketidaktahiran orang-orang najis (Yohanes 2:13-16), mereka mengawasi tubuh dari makanan yang dianggap najis (Markus 7:1-23).

Di lain pihak, sering sekali Yesus dan para murid-Nya tampaknya “melanggar” semua batas dan peta dari kekudusan yang telah terkonsep secara lahiriah oleh para pemegang ukuran kekudusan kemasyarakatan yang memiliki status quo. Sering sekali juga terhampar perdebatan-perdebatan yang ditimbulkan karena perbedaan apa yang di pegang oleh para penguasa kehidupan kemasyarakatan Yahudi dengan apa yang Yesus tawarkan tentang kekudusan hidup dan bermasyarakat.

Umat Yang (di) Kudus (kan)

Teks Kunci “hendaklah kamu kudus, sebab Aku, TUHAN, Allahmu, kudus” juga memiliki implikasi sosial. Sebagai umat Allah (Yang Maha Kudus) Israel juga harus menjadi umat yang kudus. Tema ini menjadi warna dominan dari kitab Imamat, bahkan seluruh perjalanan Perjanjian Lama. Perjanjian Lama harus selalu menjawab persoalan dasariah: bagaimana Allah Yang Kudus dapat hadir di tengah-tengah umat-Nya? Kehadiran Allah di tengah umat-Nya didasarkan pada fakta karya Allah yang membebaskan mereka dari perbudakan di Tanah Mesir. Peristiwa exodus tersebut (apapun penjelasan historisnya) dijelaskan sebagai tindakan “separasi” (pemisahan) dan “santifikasi” (pengudusan).

Kekudusan langsung berkaitan dengan praksis hidup yang “berbeda”. Kekudusan Israel dengan demikian secara negatip berarti mereka harus menjadi bangsa yang “terpisah”, “tidak bercampur”, “menyendiri”, dan ekslusif; dan secara positip berarti mereka harus menjadi bangsa yang “utuh” dan “penuh” serta “lengkap”. Kata kudus menjadi memiliki arti dua dimensi, dipisahkan dari dunia dan dikhususkan untuk Allah.

Untuk ini Cairns, dalam hubungannya dengan kekudusan, mengatakan bahwa umat Israel dikhususkan atau dipisahkan untuk memelihara Taurat Tuhan sehingga menjadi model bangsa yang beretika dan hidup dalam keadilan dan kebenaran Tuhan (Cairns, 2003:144).

Paulus mengajarkan bahwa kita dijadikan kudus melalui disatukannya kita dengan Kristus di dalam kematian dan kebangkitan-Nya, dan memiliki pengharapan untuk bersama-sama dengan Dia. Dengan demikian, pengudusan haruslah dipahami sebagai mati terhadap dosa di dalam Kristus, yang juga telah mati terhadap dosa (bandingkan Roma 6:10). Kendati pengudusan itu di mata Allah merupakan sesuatu yang telah terjadi, namun kekudusan itu masih perlu dan harus dinyatakan dalam hidup umat yang percaya.

Nasihat dalam Ibrani 12:14, “Berusahalah… kejarlah kekudusan, sebab tanpa kekudusan tidak seorangpun melihat Tuhan” memperlihatkan bahwa penulis surat Ibrani tidak menganggap kekudusan sebagai sesuatu yang terjadi dengan sendirinya; kekudusan itu harus diupayakan dan tetap dipandang mutlak perlu bagi penunjukan rasa percaya kepada Allah yang kudus. Ia bahkan melihat bahwa kekudusan adalah pra-syarat yang penting untuk datang ke hadirat Allah.

Permenungan:

Kekudusan sebagai anugerah sekaligus respon bagi iman dan pengharapan di dalam Kristus

Setelah penjelasan tentang dasar kekudusan, yang mungkin terkesan sedikit pelik di atas, tentu ada hal mendasar yang selayaknya ada dalam diri setiap orang percaya, sebagai respon terbaik dari iman dan pengharapan dalam anugerah Tuhan. Kekudusan bukanlah suatu hal yang begitu menakutkan, atau sebuah negeri utopis yang terkesan mustahil untuk dinyatakan. Namun hal tersebut sejak awal sudah merupakan Kedirian Allah yang kita percayai, dan sumber dari pengharapan kita.

Setiap pribadi yang hidup di dalam Dia telah dikuduskan oleh anugerah-Nya, dibebaskan dari setiap belenggu perbudakan yang ada, tetapi juga harus selalu berusaha keras dalam semua segi perjuangan melaksanakan kehendak Allah. Berjuang selalu dalam pengharapan yang benar di dalam Tuhan. Dalam hubungan dengan hal ini, Paulus mengatakan, “Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati” (Roma 12:1). Umat Allah dibentuk menjadi kekuatan penyebaran kekudusan Allah yang aktif mengatasi dan menyingkirkan “kenajisan” dalam segala bentuk.
Kekudusan” mendorong setiap murid untuk memperlihatkan ciri kekudusan Allah yang “utuh” dan yang “terbuka”. Yang terlibat dalam setiap kepelbagaian yang ada, peduli dan memupuk solidaritas yang semestinya dalam keberagaman yang diciptakan sebagaimana adanya. Kekudusan yang diperlihatkan Allah, dalam diri Yesus kristus adalah yang juga mengutamakan keutamaan moral: kasih, bela-rasa, keadilan, damai, dan sebagainya. Keterbatasan secara batas-batas lahiriah (fisik, keturunan, suku, agama, dan lain-lain) menentang kekudusan itu sendiri, karena Allah yang kudus menciptakan segalanya dalam keintegritasan yang kudus pula.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar