S
|
uatu Spritualitas Alternatif telah menjadi
perbincangan hangat di kalangan pemikir Kristen dan tokoh lintas agama pada
waktu belakangan ini, setidaknya menurut saya, semenjak Sidang Raya PGI XVI yang
diadakan di Nias akhir tahun yang lalu mengenai satu pemikiran yang mengaktual:
Spritualitas Keugaharian. Apakah itu Spritualitas Keugaharian? Keugaharian
secara mudah dapat diartikan sebagai kesederhanaan atau kebersahajaan, sikap
hidup yang cukup dengan apa yang menjadi milik dan haknya. Untuk lebih jelasnya
mari mengutip langsung pesan Sidang Majelis Pekerja Lengkap Persekutuan
Gereja-gereja di Indonesia (MPL-PGI) Tahun 2015, “...spiritualitas keugaharian agar lebih
diwujudkan dalam tindakan-tindakan sederhana tetapi nyata... menghindari gaya
hidup boros, konsumtif, dan hedonis.[1] Sebab gereja-gereja dipanggil untuk mengembangkan
spiritualitas keugaharian yakni gaya dan etos hidup yang memerhatikan kecukupan
orang lain, segala makhluk dan bumi ini... sebagaimana
diajarkan doa Tuhan Yesus sendiri: Berikanlah kami pada hari ini makanan kami
yang secukupnya (Matius 6:11).”
Lukisan kita hari ini
Pemilihan judul refleksi ini “menjadi
orang biasa” tentulah bukan bertujuan untuk menyatakan hal sebaliknya bahwa ada
makhluk yang disebut sebagai “orang yang luar biasa”, tetapi “menjadi orang
biasa” yang dimaksudkan adalah buah permenungan yang mendalam dan panjang akan
perintah kemanusiaan kita agar selalu berpihak kepada mereka yang terpinggirkan
dan yang sering tidak mendapat tempat dalam pergaulan sosial. Mengalihkan
pandangan dari kenyamanan kita kepada kondisi di sekitar, kepada
saudara-saudara yang tidak seberuntung apa yang kita peroleh.
Ada banyak
sekali “orang biasa” di sekitar kita yang dapat menjadi acuan dan pertimbangan
gaya hidup orang percaya. Namun kenyataan yang sering ditemui – atau bahkan
mungkin kita sendiri hidup di dalamnya – adalah gaya hidup yang penuh dengan
kemewahan, konsumtif, egoisme, dan seterusnya yang menjadikan kita memiliki
“dunia” yang tak tersentuh lagi bagi “orang-orang biasa” yang keberadaannya
jelas ada di sekeliling kita.
Lihatlah apa yang dapat dilihat dari
gaya hidup para pejabat kita. Ada berapa di antara mereka yang pintu rumahnya
selalu terbuka bagi rakyat yang sesungguhnya menggaji mereka? Adakah yang masih
mau benar-benar turun, mendengar, dan turut merasakan kegelisahan warga atas kebutuhan
bernafas yang semakin mencekik? Seandainya ada, siapa dan apa yang mereka
lakukan dengan tulus tanpa kepentingan “sampingan” lain?
Di lain pihak, gaya hidup yang tampak
dari kebanyakan kita juga tidak dapat dikatakan lebih baik. Konsumtif. Coba ingat,
berapa uang yang dikeluarkan untuk barang-barang, berapa banyak uang
yang telah dikeluarkan untuk pergi rekreasi, pergi jalan-jalan,
makan-makan di restoran atau nonton bioskop
yang telah di keluarkan dalam beberapa bulan ini? Ada berapa
pasang sepatu yang tak terpakai di rak atau baju di lemari, rantang dan mangkok
impor, alat elektronik, dan seterusnya, hanya karena kita “latah” untuk membelinya?
Ada pula istilah shopaholic,[2]
dan kita menganggapnya wajar saja, bahkan menjadikannya sebagai gaya hidup masa
kini.
Hedonisme. Sudah
kita bicarakan sedikit di atas. Filsafat hidup hedonisme adalah bagaimana
mereguk kenikmatan sepuas-puasnya, dan menghindari kesakitan sedapat-dapatnya.
Sangat mencintai kenikmatan. Sebab itu, hedonisme telah ada setua sejarah
manusia. Namun pada masa belakangan ini sudah semakin mencolok dan berkembang.
“Makanlah dan minumlah sepuas-puasnya, siapa tahu besok anda mati” begitulah
semboyannya. Sehingga kesenangan diri di atas segala-galanya. Menganggap segala
sesuatu semata-mata urusan pribadi sebagai hak asasi. Sehingga orang lain tak
perlu ikut campur merecoki. Atas nama hak asasi manusia yang tak bisa dilanggar
siapapun. Apakah akan menghambur-hamburkan, memamerkan, dijadikan sumber
kebaikan atau modal maksiat, tidak perlu dipermasalahkan. Tak perlu memikirkan,
apakah orang lain tergiur atau tersinggung.
Maka terjadilah kini,
banyak orang suka pamer kekayaan. Membuat gedung-gedung megah mewah,
villa-villa beratus juta, di kebanyakan orang sengsara melarat di rumah kumuh,
gubuk, terdampar di kolong jembatan, atau di mana pun yang sesungguhnya tak
layak untuk dihuni.
Banyak orang seliweran
di atas mobil-mobil mewah berharga miliaran rupiah, di tengah sebagian besar
orang berdesakan dalam kendaraan umum yang tak nyaman dan tak aman, yasng tak
lagi memenuhi syarat keselamatan transportasi. Maka
terjadilah, banyak orang menghambur-hamburan makanan dan minuman, di tengah
mayoritas penduduk kelaparan, susah mendapat kerja dan sumber nafkah, makan
pagi sore tidak, dan tak tahu apa yang akan dimakan esok hari.
Natal dua ribu tahun
lalu
Ada persoalan
teodisi (tentang iman dan ketuhanan) yang selalu muncul sepanjang abad, juga
bagi mereka yang hidup sebelum zaman Tuhan Yesus. Persoalan tersebut seputar
pertanyaan-pertanyaan: Mengapa orang baik mendapatkan ketidakadilan dan
malapetaka? Kalau Allah mahabaik, mengapa Ia tetap membiarkan penderitaan
manusia merajalela? Bila Allah memang ada, mengapa kemiskinan dan kesakitan
selalu ada?
Ada orang-orang
yang telah mengambil keputusan untuk tidak percaya kepada Allah lagi karena hal
ini. Ada yang belum mengambil keputusan seekstrim itu, tetapi sudah cenderung
bersikap sinis dan ragu: Mungkin saja Allah itu memang ada, mungkin benar Ia
mahabaik atau mahaadil, tetapi... yang jelas sampai saat ini Ia tidak berbuat
apa-apa, Ia tidak peduli dan telah melupakan manusia.
Natal menjadi
jawaban yang baik untuk semua jenis keraguan tersebut. Natal menunjukkan bahwa
Allah tidak melupakan umat-Nya. Natal memberi pesan pasti bahwa Ia sangat
peduli terhadap kehidupan manusia. Natal adalah bukti terbaik bahwa Allah itu
ada dan selalu bekerja. Natal adalah proklamasi bahwa Allah “menjadi orang
biasa”.
Allah “menjadi
orang biasa”? Ya, menjadi orang biasa. Bukankah ketika Natal Allah mau peduli,
turun, bahkan turut merasakan apa yang
diderita manusia? Bukankah melalui Natal Allah “menyangkal” kemuliaan-Nya dan
bersedia menjadi “orang biasa”? Ia bahkan tidak memilih istana menjadi tempat
dilahirkan, tetapi memilih kekumuhan sebagai simbol yang nyata keberpihakan-Nya
terhadap “orang biasa”, yang terpinggirkan. Siapa orang tua yang beruntung yang
mendapat peran penting ketika Natal? Yusuf dan Maria, mereka adalah
“orang-orang biasa” yang tentunya tidak mendapat tempat di antara para penguasa
ketika itu.
Siapakah sebagai
pendengar pertama berita Natal? Jawabnya: Para Gembala! Mereka ini bukan
siapa-siapa, selalu terpinggirkan dan untuk beberapa kasus dianggap najis,
golongan terendah dalam masyarakat Ibrani ketika itu, mereka adalah “orang
biasa”.
“Orang-orang
biasa” ini selalu hidup dengan segala kesederhanaannya dan kebersahajaan, serta
yang terpenting keniscayaan bahwa Allah lebih memilih mereka sebagai altar
terdepan pewartaan kasih-Nya.
Menunduk kembali
Tidak ada tempat
bagi keserakahan dan kerakusan ketika kita mengingat apa yang Allah telah
lakukan melalui peristiwa Natal. Tidak ada pemborosan, konsumtifisme, atau
hedonisme dalam kehadiran-Nya di bumi ini.
Keberpihakan-Nya
menjadi “orang biasa” membuat kita harus lebih berhati-hati memaknai Natal dan
dengan segala perayaannya. Mungkin dengan ini semua menjadi selalu relevanlah
apa yang dikatakan oleh seorang pengkhotbah tua: “apakah kita tidak merasa aneh
merayakan Natal dengan segala bentuk kemewahan sedangkan bayi yang kita rayakan
itu lahir dan diletakkan di dalam tempat makanan ternak yang bau dan
menjijikkan?” Atau tidakkah menjadi suatu yang lucu bila saudara merayakannya
di gemerlap hotel berbintang, padahal bayi itu sendiri memilih kandang ternak
sebagai tempat pembaringannya? Anda boleh saja bermewah-mewah, tetapi bayi yang
saudara rayakan itu tidak akan dapat (mampu, mau) “menyentuh” kemewahan yang
anda tawarkan.
Natal ini
seharusnya mengajarkan kita lebih dari sekadar menyiapkan dan mencari anggaran
Natal, tidak hanya persoalan menjahitkan baju yang baru, menghafal
liturgi-liturgi, mendekorasi indah gereja, memersiapkan hadiah Lucky Draw yang menarik – yang secara
pribadi saya tidak mengerti apa hubungannya dengan kelahiran Kristus, dan
sebagainya. Tetapi lebih dari itu, seharusnyalah peristiwa kelahiran Kristus memampukan
kita mengatakan bahwa di tengah budaya kerakusan yang kini melanda dunia, yang
melahirkan kemiskinan, ketidakadilan, radikalisme dan kerusakan lingkungan,
kita butuh mengembangkan spiritualitas keugaharian sebagai kontras terhadap
globalisasi keserakahan ini. Mengendalikan diri dan berani mengatakan cukup;
menyatakan kesediaan untuk hidup berbagi, dan berani berjuang bersama menentang
segala sistem dan struktur yang menghalangi orang lain untuk memeroleh
kecukupan dalam hidupnya. Spritualitas “Menjadi Orang Biasa”, adalah sikap berani,
mau, dan harus memulai kesederhanaan dan kebersahajaan sebagai gaya hidup, sesuai
dengan kedirian Tuhan kita yang ditampakan-Nya pada peristiwa Natal.
*****
[1]
Hedonis mungkin dapat diartikan sebagai gaya
hidup yang menjadikan kesenangan dan kenikmatan pribadi di atas segalanya.
Kesenangan menjadi tujuan hidup!
[2]
Shopaholic adalah seseorang yang tidak mampu menahan
keinginannya untuk berbelanja dan berbelanja sehingga menghabiskan begitu
banyak waktu dan uang untuk berbelanja meskipun barang-barang yang dibelinya
tidak selalu ia butuhkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar