P
|
ernah dalam suatu
ibadah di sebuah Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR), pada bagian akhir dengan
lantang sang Pemandu Pujian bertanya kepada khalayak, “Saudara/i, sekarang saya
ingin tau ada berapa jiwa yang dimenangkan malam ini..??” Lalu ia pun mulai
menghitung jumlah mereka yang mengacungkan tangan, dan diikuti tepukan dan
sorakan gembira dari semua yang hadir. Tentu apa yang dilakukan oleh Pemandu
Pujian itu suatu yang jamak dalam ibadah biasanya, dan memang hal tersebutlah
yang menjadi tujuan dari KKR, demikian pula malam itu: memenangkan jiwa-jiwa!
Memenangkan jiwa
(atau: memerdekakan), tampaknya adalah kosa kata yang sederhana namun
sesungguhnya tidak segampang apa yang kita bayangkan. Sebagaimana Pekabaran Injil
yang sering kita namakan sebagai usaha untuk “memenangkan jiwa”, padahal dalam
kenyataanya yang sering kita lakukan adalah malah “mengalahkan” mereka, yaitu
membuat mereka takluk kepada kita lalu mengikuti kemauan kita. Bagaimana itu
bisa terjadi?
Memaknai Nas
1 Korintus
9:19-23
Bacaan kita ini
adalah dasar yang baik bagi pelayanan Pekabaran Injil. Tampaknya ketika Paulus
menuliskan suratnya ini dari kota Efesus, ada beberapa masalah yang mulai
mengkristal di Jemaat Korintus. Dari beberapa masalah yang ada, menyangkut
latar belakang hidup anggota jemaat adalah yang paling menonjol. Hal ini
tentunya dapat dimengerti karena keheterogenan latar hidup mereka (Yahudi,
Yunani, Arab, Tuan, Priayi, Hamba, Pedagang, Petani, dan sebagainya), konon
pula Korintus adalah salah satu Kota Pelabuhan terbesar pada masanya yang
didatangi orang dari banyak benua. Dan masalah perbedaan itu juga tampaknya
telah merasuk ke dalam Jemaat Korintus.
Pada bagian nas ini
terlihat dengan jelas bahwa Paulus sebenarnya menghadapi kesulitan meng-hadapi
orang-orang dengan budaya yang berbeda. Paulus memunyai posisi yang sulit
untuk mem-bicarakan isu-isu yang ada di kalangan orang-orang perca-ya di
Korintus pada waktu itu. Di satu sisi, ada orang Kristen Yahudi dengan Hukum
Musa dan di sisi yang lain ada orang Kristen Yunani yang bebas dari Hukum Musa.
Untuk alasan inilah Paulus ingin bebas supaya dapat melayani semua orang.
Pada ayat 19,
Paulus menggunakan eleuteros yang
berarti “bebas” sebagai kata pertama. Kata eleuteros
me-rupakan kata penting di Korintus dalam sosio-politik dan keagamaan pada
waktu itu yang menun-jukkan status seseorang di dalam masyarakat. Kata
ini ditempatkan oleh Paulus di awal kalimat sebagai kesimpulan dari ayat sebelumnya
(ayat 1-18) dengan penekanan yang sangat kuat. Kata “bebas” yang oleh
Paulus pada diskusi awal berbicara tentang kebebasan dari kekangan Hukum Tuhan,
sekarang dipakai untuk bebas dari kebergantungan keuangan dari siapapun.
Dengan tidak menerima kompensasi dari jemaat di Korintus untuk pelayanannya,
Paulus dapat bebas dari tekanan yang dapat mengekang khotbahnya.
Walaupun Paulus memberiikan
penekanan pada kata “bebas” tetapi dia kemudian memberiikan pernyataan yang kontras
dengan menambahkan kata “on” (concessive
clause) sehingga menjadi though
I am free. Kalimat ini menunjukkan bahwa kebebasan yang dimiliki
Paulus sebagai seorang Kristen tidak berhenti pada kondisi bebas saja, tetapi
berlanjut dengan pernyataan Paulus yang mengatakan bahwa ia menjadikan dirinya
sendiri hamba dari semua orang. Kondisi yang disam-paikan Paulus tentang
dirinya ini merupakan kondisi yang paradoks. Paulus dalam kondisi mer-deka,
bukan menjadi milik siapapun tetapi di saat yang sama dia menjadi hamba dari
setiap orang. Dalam hal ini Paulus sebenarnya bukan hanya ingin berbicara
tentang mo-dus operandi, tetapi dia sedang memertahankan past action
yang dinyatakan mela-lui sikapnya berkaitan dengan isu-isu yang ada di Jemaat
Korintus. Dalam kondisi bebas tetapi menempatkan diri sebagai hamba dari semua
orang, Paulus dengan cerdik dapat menjalani pelayanan dengan kondisi sosial yang
beragam.
Jika
diperhatikan, ayat 20-22 memiliki pola yang sama yang terdiri dari strategi
Paulus untuk mencapai tujuannya. Untuk dapat memenangkan sebanyak mungkin
orang, Paulus menjadi seperti orang Yahudi bagi orang Yahudi, menjadi seperti
orang yang hidup di bawah Hukum Taurat bagi mereka yang hidup di bawah Hukum
Taurat, menjadi seperti orang yang hidup tidak di bawah Hukum Taurat bagi
mereka yang hidup tidak di bawah Hukum Taurat, dan menjadi seperti orang yang
lemah bagi mereka yang lemah. Kata “menjadi” pada ayat 20-22 berasal dari kata egenomen yang memiliki kata dasar ginomai. Di dalam Perjanjian Baru,
penentuan makna ginomai ditentukan
oleh konteks di mana kata ini dipakai. Pada ayat 20, penggunaan kata egenomen lebih tepat diterjemahkan dengan
makna “mengubah sesuatu menjadi”. Hal ini dilakukan Paulus se-bagai usaha
untuk memahami orang lain di dalam integritas Injil dan bukanlah suatu ketidak-konsistenan.
Apa yang dilakukan Paulus bukanlah menyesuaikan Injil dengan pandangan
pendengar tetapi lebih kepada bagaimana Paulus menjalin hubungan dan
berperilaku di antara mereka dan memiliki kesempatan untuk membagikan berita Injil.
Pada ayat 20
dikatakan bahwa bagi orang Yahudi Paulus menjadi seperti Yahudi. Ini
menunjukkan bahwa Paulus memosisikan dirinya bukan sebagai orang Yahudi
meskipun dia adalah keturunan Yahudi. Tetapi sejak menerima Yesus, dia
adalah ciptaan baru dan menjadi pengikut Kristus dan bebas dari tuntutan Hukum
Taurat.
Sedangkan untuk
orang Yunani, Paulus membaginya menjadi dua, yaitu orang-orang yang hidup di
bawah Hukum Taurat atau proselit dan
orang-orang yang tidak hidup di bawah Hukum Tau-rat. Dan Paulus pun menjadi
seperti mereka supaya orang-orang Yunani ini percaya pa-da Injil. Bukan hanya
orang Yahudi dan Yunani, tetapi juga kepada mereka yang lemah pun Paulus
melakukan hal yang sama. Orang-orang yang lemah di sini adalah
orang-orang belum percaya yang memiliki status sosial yang rendah. Di
sinilah terlihat dengan jelas bahwa kebebasan Paulus dari keterikatan dengan
manusia mengijinkannya untuk melayani sebanyak mungkin orang.
Walaupun Paulus
telah menyebut dirinya adalah orang yang bebas tetapi dia tetap memiliki keterikatan
dengan Hukum Kristus (ayat 21). Pernyataan ini disampaikan Paulus berdampingan
dengan frase “orang-orang yang hidup tidak di bawah Hukum Taurat.” Hal
ini dinyatakan supaya tidak ada kesalahpahaman dari jemaat di Korintus
tentang “Paulus menjadi seperti mereka yang tidak hidup di bawah Hukum
Taurat.” Isu hidup tanpa moral dapat menerjemahkan kata anomoi yang dipakai oleh Paulus, padahal
maksudnya tidaklah demikian. Oleh karena itu hidupnya ada di bawah Hukum
Kristus. Di sini terlihat jelas bahwa sesungguhnya Paulus bukanlah orang yang
anti dengan Hukum Allah sebab dia sendiri adalah pribadi yang hidup di dalam
kekudusan dan kebaikan, tetapi dia anti dengan pemakaian Hukum untuk
menghalang-halangi seseorang datang kepada Tuhan.
Pemberitaan Injil
adalah Warta Pembebasan
Saat ini banyak
orang berada dalam keadaan tidak bebas. Ada orang yang dijajah oleh kekuasaan
orang lain. Yang kecil dijajah oleh yang lebih besar, golongan yang kurang
berpengaruh dijajah oleh golongan lain yang lebih berpengaruh, tetapi juga
banyak orang yang dijajah oleh kebiasaannya sendiri, oleh kepercayaannya
sendiri, oleh aturan-aturan dalam adat istiadatnya sendiri. Injil adalah berita
kebebasan untuk semua orang, termasuk juga untuk mereka ini. Orang Kristen
tidak berhak membatasi kebebasan itu untuk dirinya sendiri, tetapi kita
dihimbau untuk menolong mereka agar dapat menikmati kebebasan mereka. Inilah
inti dari Pemberitaan Injil: yakni menyebarluaskan berita kebebasan dan
pembebasan.
“Bagi orang
Yahudi aku menjadi seperti orang Yahudi, supaya aku memenangkan orang Yahudi
...” Begitu pula bagi orang yang hidup di bawah Hukum Taurat, bagi orang yang
tidak hidup di bawah Hukum Taurat, bagi orang yang lemah, Paulus hidup seperti
mereka juga. Injil sebenarnya membebaskan Paulus untuk tidak hidup seperti
mereka, tetapi Injil juga membebaskan Paulus untuk hidup seperti mereka. Kalau
Paulus mau sekadar menikmati kebebasan untuk dirinya sendiri, ia tidak akan mau
hidup seperti orang lain itu. Tetapi karena Paulus tidak mau membatasi
kebebasan menjadi miliknya saja, supaya juga menjadi milik orang lain, maka
Paulus memilih kebebasan untuk hidup seperti mereka.
Injil tidak
melarang kita mengikuti aturan-aturan budaya tertentu, apalagi budaya bangsa
kita sendiri. Tentu saja, itu tidak berarti kita lalu ikut arus saja dan
menerima segalanya de-ngan begitu saja, sebab kebe-basan juga akan kehilangan
maknanya kalau tidak mem-bebaskan, kalau tidak mengu-bah apa-apa. Tetapi Injil
membebaskan kita dari dosa, bukan dari ke-budayaan kita, bukan dari adat-istiadat
kita. Kalau ada yang dilepaskan dari kebudayaan kita, itu adalah unsur-unsurnya
yang berdosa, bagian-bagiannya yang menjajah dan membelenggu orang, bukan
kebudayaan itu sendiri.
“Memenangkan
Jiwa” bukanlah mencabutnya dari adat dan tradisinya, tetapi menolong seseorang
untuk mampu menikmati budaya atau tradisi yang ada agar membawa sukacita. Injil
tidak mengusir atau memerangi budaya tertentu, tetapi menyucikan dan
membaruinya untuk kemudian men-jiwainya agar menjadi kebudayaan yang tidak
menjajah dan tidak menyengsarakan orang.
Akhirnya, sudah
saatnya ada pembaruan sikap orang-orang Kristen menjadi lebih terbuka terhadap,
khususnya budaya Timur, yaitu dengan menghargainya, dan tidak serta-merta mengecamnya
sebagai penyembahan berhala. Dengan demikian, Injil dapat menjadi jiwa juga
dalam budaya/tradisi/adat kita. Dan dengan demikian, seperti apa yang dilakukan
oleh Rasul Paulus, akan semakin banyak orang Timur (orang-orang kita sendiri)
yang menikmati kebebasan Injil.
Tuhan memberkati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar