Makna
Histori-visionis
Bahasa Jerman mengenal dua istilah untuk kata “sejarah”, yaitu “Historie” dan “Geschicte”. Historie
mungkin lebih kepada pendekatan yang bersifat penelitian objektif ilmiah.
Tetapi makna Geschicte jauh lebih
dalam, yaitu sejarah merupakan kenyataan hidup yang mengikat. Ini artinya
sejarah harus dilihat dengan kesadaran bahwa setiap generasi memberikan muatan
baru dalam sejarah yang telah ada dan yang sedang berjalan itu. Sederhananya,
sejarah harus dilihat dalam konteksnya, dalam pergumulannya.
Pola ini
mengikuti apa yang dikemukakan oleh seorang teolog Perjanjian Lama yang sangat
terkenal, Gerhard von Rad, yang menuntun kita pada konsepsi bahwa “sejarah”
dalam Alkitab juga baiklah dimengerti dalam pemahaman yang seperti itu. Sejarah
Alkitab adalah pengingatan atas tindakan-tindakan Allah dengan setiap generasi
baru berupaya untuk membuat tindakan Allah itu menjadi relevan bagi setiap
zaman dan hari-hari baru. Tindakan kesejarahan yang seperti ini pulalah yang
harus kita lakukan sebagai umat percaya sampai saat ini, sehingga kita akan
mampu melihat “bayangan” masa depan yang akan Allah perjuangkan bagi kita dan
gereja-Nya.
Memaknai Teks
Ulangan 1:1-18
Teks ini sengaja dipilih karena secara “Historie” merujuk langsung kepada situasi umat Israel di Pintu
Gerbang Tanah Perjanjian (sekitaran 1400 sM). Setelah hampir 40 tahun
dipengembaraan semenjak keluar dari Perbudakan Mesir, setelah melalui sejumlah
tantangan, perang, ancaman kelaparan, godaan penyembahan dewa asing dan
penantian yang sepertinya tanpa akhir, kini arak-arakan itu harus bersiap diri
menuju babak baru kehidupan sebagai sebuah bangsa: memiliki tanah yang telah
dijanjikan Allah, Tanah Kanaan.
Dikisahkan bahwa Musa, pemimpin mereka, dalam pidatonya mengajak
setiap umat yang akan memasuki Tanah Kanaan tersebut untuk selalu mengingat
peristiwa Perjanjian Allah dengan Israel di Gunung Sinai, dengan puncaknya
adalah pemberian Hukum Taurat. Pemeliharaan Perjanjian ini menurut Musa menjadi
suatu hal yang paling penting dalam menjaga identitas mereka sebagai Umat
Pilihan TUHAN nantinya ketika mereka telah menduduki teritorial yang telah
berada di depan mata.
Di sisi yang lain, penelitian mengatakan bahwa secara “Geschicte” teks ini dituliskan pada masa
Israel sedang di Pembuangan Babel (586-516 sM). Warisan dari cerita-cerita yang masih ada yang berhubungan dengan Musa
melalui perikop ini mengingatkan kembali tentang pentingnya pemeliharaan
perjanjian yang telah mereka deklarasikan dahulu. Tentunya dengan asumsi dasar
bahwa keterbuangan mereka pada masa sekarang adalah karena mereka lalai dan
enggan memelihara tanggung jawab perjanjian tersebut dalam kehidupan mereka
sebagai umat yang khusus tidak mengindahkan hukum
sebagai pengikat perjanjian. Hukum Taurat adalah sarana terbaik untuk perpegang
pada TUHAN dan menekankan perilaku yang benar bagi sesama.
Bangsa Israel telah
berada di pembuangan sekarang, walaupun mereka dapat hidup dengan “sejahtera”
di Babel, apakah mereka tetap merasa nyaman jauh dari tanah yang dahulu telah
dijanjikan Allah dan yang pernah mereka diami sebagai sebuah bangsa yang jaya?
Apakah mereka masih mampu menahan kerinduan dalam persekutuan yang satu seperti
apa yang mereka lakukan pada masa-masa silam di Kota
Suci, Yerusalem? Dan seberapa lama lagi telinga mereka akan bertahan pada
gunjingan bangsa sekitar yang mengatakan bahwa TUHAN Israel telah dikalahkan?
Disamping itu juga identitas mereka sebagi suatu kesatuan bangsa juga merasa
terancam bila tetap bertahan di pembuangan.
Jawaban dari itu
semua adalah dengan semangat kembali ke tanah perjanjian, dengan kembali
mengingat, mengikatkan diri, dan menghidupi perjanjian ilahi yang mereka telah
ikatkan dulu melalui bapa-bapa leluhur di Pegunungan Sinai. Dan Hukum Tauratlah
yang menjadi ketetapan-ketetapan dari perjanjian ilahi, antara mereka dengan
Allah. Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa perjanjian ilahi itu akan
menjadi sempurna ketika bangsa Israel menghidupi Taurat sebagai perwujudan
ketaatan, dan TUHAN memberi tanah perjanjian sebagai simbol ke-allahan-Nya
sebagai Allah Israel.
Secara teologis dalam dimensi
pengharapan Israel, teks Ulangan 1:1-18 ini adalah sebuah jaminan akan
kehidupan yang lebih baik yang diberikan di wilayah tanah perjanjian.
Pengharapan itu ada dimulai dari kesadaran kembali bangsa Israel akan
pentingnya hukum dan perjanjian kepada TUHAN yang selalu bekerja dan memegang setiap
apa yang telah disumpahkan-Nya.
Memaknai Perjalanan 40 Tahun GPP
Judul besar tulisan
refleksi ini adalah Di Pintu Gerbang Tanah Perjanjian. Pemilihan judul tersebut
sangat beralasan mengingat kesimilaran antara tahun perjalanan Israel di pengembaraan
sejak dari Perbudakan Mesir dan usia perjalanan GPP sejauh ini: 40 tahun.
Analoginya, keduanya menuju suatu babak baru, dan saat ini berada di pintu
gerbangnya, GPP adalah arak-arakan umat Allah di masa yang berbeda.
Sudah barang tentu
ada banyak hal yang layak kita ingat dalam perjalanan sejarah gereja kita ini
sejak awal berdirinya pada kebaktian pertama di GPP Mandala Medan, 18 Mei 1975.
Tantangan dan banyak fakta-fakta pergumulan menghiasi tahun-tahun yang TUHAN
telah berikan di “Historie” gereja kita
ini. Data statistik pertumbuhan jumlah Gereja, jumlah anggota jemaat, dan
jumlah pelayan penuh waktu adalah juga bagian dari ke“Historie”-an itu. Demikian pula dalam hubungan kerja sama di bidang
keoikumenisan, kesaksian dan diakonia dengan lembaga-lembaga yang ada di dalam
dan di luar negeri telah menjadi agenda aktif yang menunjukkan bahwa gereja ini
selalu mengingat misinya di dunia sebagai gereja yang hidup.
Di sisi yang lain, tentu kita juga harus memaknai ini semua dari
ke-“Geschicte”-annya. Kesejarahan ini
tentu saja bukan hanya menyangkut fakta-fakta yang telah terjadi dan yang
sedang berlangsung, namun lebih kepada pemaknaan setiap generasi, terutama
kita, terhadap apa yang Tuhan sudah lakukan di dalam dan melalui gereja kita.
Semuanya ini, seperti umat Israel, tentunya selalu berhubungan dengan
pemeliharaan perjanjian antara Allah dengan kita sebagai umat-Nya.
Perjanjian ini
bukanlah atas dasar hubungan alamiah atau hubungan keluarga, tetapi lebih
merupakan hubungan anugerah. Hubungan itu diresmikan pada waktu dan tempat
tertentu dalam sejarah, sebagai pemberlakuan dari belas kasihan Allah kepada
gereja-Nya. Oleh karena itu kelanjutan dan kelestarian hubungan itu hanya
tergantung kepada keteguhan gereja GPP pula dalam memeliharanya, karena Allah
adalah Allah yang setia.
Perjanjian menghendaki
adanya kemauan gereja untuk secara konsisten mengikatkan diri, peneguhannya
sekali untuk selamanya namun pemberlakuannya tidak terikat pada satu saat saja
dalam sejarah umat Allah (gereja). Oleh karena itu perjanjian itu pun setiap
kali harus di terima oleh setiap generasi penerus gereja (bandingkan Ulangan
5:2-3). Setiap generasi gereja dengan demikian selayaknyalah sampai saat ini
harus seolah-olah turut hadir di Gunung Sinai, sebagai bagian dari perjanjian
itu sendiri.
Apa yang telah Tuhan lakukan sampai
menghantarkan kita di Pintu Gerbang Tanah Perjanjian ini menunjukkan dengan
baik keberpihakan Tuhan kepada gereja ini, itu artinya bahwa kita masih
diberikan anugerah kesetiaan untuk memelihara perjanjian kita dengan Tuhan. Tentu
saja perjanjian tersebut berisikan kesetiaan untuk melakukan tri-tugas
pelayanan yang disematkan bagi gereja di sepanjang zaman: Kesaksian, Pelayanan
dan Persekutuan (Marturia, Diakonia, dan Koinonia).
Di Pintu Gerbang
Tanah Perjanjian
Apakah yang akan gerangan yang telah Allah persiapkan bagi
gereja-Nya. Yang kita percaya, apapun yang akan terjadi nantinya, pemeliharaan
Perjanjian dengan Allah adalah sebagai jaminan keberpihakan Allah terhadap
perjalanan GPP ke depannya. Gereja ini tidak boleh tergerus oleh zaman, terdiam
terhadap ketidakadilan, atau selalu berada di “zona kenyamanan”-nya. Namun
perjanjian dengan Allah adalah titik berangkat gereja untuk selalu berupaya dan
berjuang demi mendatangkan damai sejahtera di dunia di mana dia hidup dan
ditempatkan.
Ada beberapa agenda terdekat yang telah Allah persiapkan bagi GPP.
Khususnya dii tahun 2015 ini, tepat pada 40 tahun usinya, GPP akan melaksanakan
Sinode yang dimulai di tingkat Jemaat, Resort, dan di tingkat Pusat. Peristiwa
yang akan Allah anugerahkan kepada GPP ini sesungguhnya dapat menjadi suatu “babak
baru” bagi perjalanan gereja kita ke depannya, babak yang mendatangkan kesukaan
bagi setiap umat Tuhan. Bukan berbicara hanya tentang periodisasi di setiap
struktur gereja semata, namun yang terpenting adalah berdoa dan merumuskan
arah-langkah gereja GPP lima tahun ke depannya. Hal ini tentu membuat kita
harus selalu bersama bergandengan tangan memelihara kedamaian, kebenaran, dan suka
cita sebagai simbol Kerajaan Allah di dunia ini. Hanya dengan cara itulah kita
yakin bahwa “Tanah Perjanjian” itu dipersiapkan bagi kita untuk tempat kita
bernafas dan berkarya serta bersaksi: bahwa kita adalah bagian umat yang telah
Dia pilih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar