Seorang
Bapak bemarga Panjaitan, di sebuah desa terpencil di wilayah Kabupaten Toba
Samosir, datang membawa dua orang anaknya dan meminta supaya Gereja bersedia
membaptis mereka. Dia bukan seorang Protestan, tetapi seorang penganut
kepercayaan “asli” nusantara: Parmalim. Dia harus membawa kedua anaknya untuk
mendapatkan Surat Pembaptisan sebagai syarat administrasi pengurusan Akte
Kelahiran di Kantor Catatan Sipil. Lebih jauh, di kolom agama KTP bapak
setengah baya tersebut juga tertera “Protestan”, itu karena dia memang
diharuskan memilih salah satu agama resmi di republik ini.
Bangsa Bhineka
Perbedaan
memang sudah merupakan hakekat kehidupan
manusia, ia tidak dapat diganggu-gugat. Hal itu bukan lagi suatu yang baru
muncul secara tiba-tiba pada masa-masa belakangan ini, namun dari perspektif
iman sekalipun menyatakan bahwa perbedaan itu telah ada semenjak penciptaan itu
dilakukan oleh Allah. Menolak perbedaan adalah tindakan yang menolak Allah yang
telah menciptakan perbedaan (bandingkan Kejadian 1:26-27; 2:19).
Dalam
konteks kebangsaan, kebhinekaan tentunya adalah sebuah keniscayaan. Dia
bukanlah suatu bahan perbincangan yang baru begitu saja muncul namun merupakan
eksistensi bangsa, dengan kesadaran penuh para pendiri bangsa ini sejak awalnya
telah menyatakannya dengan lantang bahwa perbedaan itu sebagai semboyan negeri
Indonesia. Bhineka dalam budaya dan bhineka dalam kepercayaan.
Di masyarakat dijumpai penganut
agama Baha’i, Tao, Sikh, Yahudi, Kristen Ortodoks, bahkan juga agama-agama
perenial, yaitu agama yang tidak mengambil bentuk formal, tetapi lebih
mengutamakan penghayatan akan kehadiran Tuhan dan implementasi nilai-nilai
agama. Selain itu, juga dikenal ratusan kepercayaan lokal (indigenous religions), seperti Parmalim di Sumatra Utara,
Kaharingan di Kalimantan, Sapto Darmo di Jawa Tengah, Sunda Wiwitan di
Kuningan, Jawa Barat, dan Tolotang di Sulawesi Selatan. Jika mengacu data Kementerian
Budaya dan Pariwisata 2003 saja, setidaknya tercatat ada 248 organisasi aliran
kepercayaan dengan jumlah penganut sebesar 8.821.724 jiwa. Wajar saja,
mengingat data BPS juga menyebut bangsa yang mendiami sekitar 13.466 pulau ini
punya lebih dari 1.128 ragam etnis dengan sejarah spiritual masing- masing.
Bicara tentang agama hakikatnya
ialah bicara tentang interpretasi agama, faktanya tidak ada interpretasi
tunggal dalam agama dan kepercayaan mana pun.
Kebebasan dalam
Kebhinekaan
Namun demikian, tampaknya kebebasan kebhinekaan beragama masih menjadi
pekerjaan rumah yang kita sendiri pun masih
belum tahu kapan akan selesainya. Falsafah Pancasila
yang pertama menyebut asas ketuhanan yang maha esa secara tersurat sebagai
landasan hidup masyarakat Indonesia yang plural, yang menjunjung tinggi
toleransi. Begitulah Pancasila, pernah diterangkan oleh Presiden (ketika itu)
Abdulrahman Wahid sebagai pluralisme
sosial, dimana persoalan ketuhanan harus senantiasa merdeka, tak sepatutnya
saling dipertentangkan meski kebenarannya dianggap mutlak, tugas kita adalah
saling menegakkan nilai kemanusiaan dalam kehidupan berbangsa. Legal standing, konstitusi Indonesia secara normatif menyebut secara
tegas jaminan kebebasan beragama dalam UUD 1945 Pasal 29.
Inilah yang dinyata, terjadi banyak bias di ruang publik, karena kalangan
yang punya otoritas kerap mendiskreditkan kepercayaan tradisional dalam
kategori animisme yang terkesan kuno bahkan primitif. Hal ini membuat
masyarakat penghayat kepercayaan harus menjalani hidup dengan perlakuan
diskriminatif hingga stigma sesat yang tentu menimbulkan banyak kerugian.
Pengosongan Kolom Agama dalam KTP, jalan keluarkah?
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo sempat menyatakan kolom agama boleh dikosongkan
keterangannya bagi masyarakat penghayat kepercayaan tradisional, atau di luar 6
agama resmi negara (Islam, Hindu, Buddha, Protestan, Katolik, dan Kong Hu Cu). Namun, isu ini
sempat berkembang melenceng seolah pemerintah hendak menghapus kolom agama dari
KTP, hingga menuai reaksi publik yang negatif. Tapi setidaknya polemik ini baik
untuk membuka mata kita bahwa gunung es intoleransi beragama di negeri bhineka
ini masih berdiri gagahnya.
Dalam negara demokrasi modern, KTP memiliki peran
vital bagi kehidupan setiap warganya. Segala macam hak sipil (ekonomi, sosial,
budaya) dan hak politik yang semestinya diperoleh akan terhambat tanpa adanya
kartu identitas. Selama ini, masyarakat penghayat memang tersisihkan
dari ruang-ruang legal. Mereka kesulitan mengakses dokumen-dokumen resmi
kependudukan karena identitas spiritualnya yang dianggap anomali. Hal ini
selanjutnya melahirkan dampak turunan: pernikahan mereka tak bisa masuk catatan sipil, dan anak hasil
perkawinannya dicatat di bawah garis Ibu. Konsekuensinya cukup
fatal, mulai dari akta kelahiran anak seakan hasil hubungan gelap, hak waris
jadi tak jelas, hak mendapat pelayanan negara seperti jaminan kesehatan dan
pendidikan pun terbatas, termasuk hak untuk partisipasi saat pemilu. Tak jarang
mereka harus menghadapi situasi “keterpaksaan” memilih agama tertentu hanya
untuk mempermudah keperluannya – seperti bapak Panjaitan dalam awal tulisan ini.
Mungkin itulah sebabnya
pemerintah Jokowi menggulirkan “bahan diskusi” ini atas kesadaran pemulihan
hak-hak konstitusi mereka yang telah lama termarjinalkan. Pengosongan bukan
berarti penghapusan kolom agama, seperti apa yang didesak oleh beberapa
kelompok dan Lembaga Swadaya Masyarakat, walaupun mungkin dengan argumen yang
kuat, tetapi mungkin bukan itu maksud dari pemerintah. Pengosongan adalah
pemberian hak kepada setiap warga penghayat untuk tidak memilih salah satu
agama yang diakui di Indonesia, dan tidak mencantumkannya di dalam kolom agama
di KTP. Pengosongan kolom agama bagi
penghayat kepercayan ini memanglah sesuai dengan UU
Adminduk No.24/ 2013 khususnya Pasal 4 ayat 5, yang sebenarnya bermaksud baik
yakni menghentikan praktik “pemaksaan agama” dan “hipokrisi publik”.
Namun pertanyaannya, apakah
dengan itu persoalan kebhinekaan ini menjadi selesai? Apakah dengan ini
diskriminasi religius akan hilang begitu saja? Bukankah masalah yang sering
muncul diakibatkan kuatnya paradigma agama “resmi” dan “tidak resmi” yang
bergulir menjadi justifikasi “tidak sesat” dan “sesat”? Atau yang lebih
praktis, apakah ada jaminan perlakuan yang sama akan didapatkan oleh mereka
warga penghayat pada ruang-ruang publik hanya dengan mengosongkon kolom agama
di KTP, seperti mendapatkan pekerjaan, peribadatan, pendidikan, pergaulan
sosial, dan lain sebagainya?
Tentu langkah awal pemerintah
dalam hal ini layak untuk diapresiasi, tetapi menjadi suatu kejanggalan bila
pengosongan tetap dibiarkan begitu saja. Secara filosofinya, kalau penganut enam agama resmi tersebut wajib mengisi
kolom agama di KTP, mengapa kebijakan itu tidak berlaku bagi selainnya?
Bukankah mereka sama-sama warga negara yang memiliki hak dan kewajiban yang
sama di depan konstitusi? Sehingga dengan ini pemerintah harus segera didorong
dengan sangat untuk dapat mengakomodir setiap warga negara untuk dapat dengan
tegas mencantumkan nama/jenis kepercayaannya di kolom agama KTP!
Israel di Pembuangan
Kisah ini terjadi pada abad ke-5
sM, peradaban yang jauh di belakang zaman kita berpijak. Israel ditakhlukkan
oleh sebuah Kerajaan yang bernama Babel, dan sebagian besar masyarakatnya
diangkut ke Tanah Babel (sekarang Irak). Mereka hidup di sana tidak kurang dari
70 tahun. Yang menarik, ternyata tidak ada satu pun dokumen historis yang
menyatakan bahwa warga Israel yang diangkut dan menetap di Babel itu yang
dipaksa dan teraniaya dengan alasan karena kepercayaan leluhur yang tetap
mereka pelihara di pembuangan. Bila adapun penyiksaan dan penindasan di sana,
sangat minimal, itu pun dipastikan bukan karena kepercayaan mereka yang berbeda
melainkan hanya karena status Israel sebagai bangsa terjajah. Babel, bangsa
kafir itu, telah mengerti bahwa kepercayaan adalah ruang pribadi yang
sedikitpun tidak dapat menjadi alasan penindasan atau pendiskriminasian.
Kehidupan yang penuh toleransi tinggi bukanlah sebuah negeri utopia, dan
bukanlah sesuatu yang ahistoris!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar