B
|
eberapa hari yang lalu saya iseng
membongkar-bongkar kotak “peninggalan” masa-masa SMA. Saya menemukan sebuah
bungkus VCD (belum DVD) yang sedikit berdebu, sebuah film remaja yang dulu
berpuluh kali saya putar ulang. “Ada Apa Dengan Cinta” (AADC). Semua tahu
betapa ABG-nya film tu. Wah, masa-masa yang telah lewat, masa ABG yang penuh
“cinta monyet” dan sedikit konyol. Saya tersenyum-senyum sendiri
mengingat-ingat semua. Tetapi aneh sekali, saya malah ingin menonton film itu,
dan bahkan memutarnya berkali-kali, lagi dan lagi setelahnya... Ah, tentu saja
bukan karena saya sedang jatuh cinta...
Tiba-tiba dalam bayangan saya melihat seperti
sepercik keindahan yang dimiliki masa lalu, tetapi menghilang sete-lah kita
menjadi dewasa.
Anak ABG penuh dengan gejolak dan gelora. Banyak
salahnya, kata kita setelah kita menjadi dewasa. Mung-kin saja pendapat kita
itu benar, namun sebenarnya juga tidak semuanya salah dan jelek. Saya melihat
suatu adegan film itu, bagaimana si gadis yang berjanji akan setia menanti
walau tak tau kapan akhir dari penantian itu. Si pria pergi ke Amerika dan
berjanji pulang dalam “satu purnama” yang tidak diketahui berapa lamanya (eits,
Ok tentu kita akan mengatakan, itu kan hanya dalam film bro..!!!).
Baiklah,
tetapi saya juga punya fakta yang masih termemori bagus dalam ingatan saya.
Bagaimana sahabat saya yang rela berjalan kaki meng-antarkan makanan sebulan
penuh demi pacarnya yang terbaring lemah di Rumah Sakit yang letaknya tidak
dapat dikatakan dekat. Ada pula seorang gadis sekelas yang masih mampu
mengatakan “saya memaafkanmu” kepada teman pria yang telah menghianatinya,
walau tentu dengan air mata yang menetes perlahan. (Adakah penjelasan yang
tepat untuk itu?) Siapa yang rela menanti pujaan hati di tempat perhentian bus
padahal hujan turun dengan derasnya, walau ia tau bahwa bus yang dinantinya itu
sudah lewat? Siapa yang rela menabung uang jajan berbulan-bulan demi membelikan
kado ulang tahun pacarnya? Siapa yang rela mengerjakan semua PR dan mencatatkan
ring-kasan pelajaran demi sese-orang? Siapa yang masih mampu berkata “aku gak
apa-apa” padahal hatinya sudah teriris asalkan si-dia bahagia? Siapa yang rela
ditinggalkan dalam penantian tak bertepi demi studi lanjutan yang dicintainya
di negeri nun jauh di sana? Siapa yang masih menga-takan “maaf ya sayang, pasti
lagi istirahat ya...” setelah 78 kali panggilannya tidak di-angkat? Yang
mencintai tulus walaupun tahu tak bisa bersama. Siapa...???
Jawabnya: anak
ABG.
Lalu kita coba melihat fakta yang lain. Siapa yang
bertengkar karena uang belanja tidak mencukupi bulan ini? Siapa yang bertengkar
hanya karena si suami kesal menanti isteri yang belanja kelamaan? Siapa yang
tahan “diam-diaman” berhari-hari hanya karena suami telat menjemput 5 menit?
Siapa yang mengatakan “buang saja HP-mu itu” hanya karena tiga panggilannya tak
terjawab? Siapa yang bertengkar soal siapa yang mengambil raport anak besok
pagi? Siapa...??? Jawabnya: Orang
Dewasa.
Wah, ternyata ada banyak kenangan yang harus
didaftar kembali, sehingga ia tidak akan berlalu begitu saja. Masa ABG yang begitu
indahnya, yang sekarang setelah kita dewasa kita malah sering sebut sebagai
masa kelabilan, masa keluguan, masa kekonyolan, dan sebagainya, ternyata apakah
seburuk yang kita bayangkan? Setidaknya bila kita bandingkan dengan “masa
dewasa” kita saat ini.
Saya juga jadi teringat akan kisah cinta yang lain.
Saya teringat masa ABG juga dengan cinta
yang membara untuk Tuhan. Pernah dalam sebuah retreat atau Jambore Pemuda
Kristen se-Sumatera Utara di suatu kota kecil, ada ribuan ABG mengangkat ta-ngan
berteriak histeris men-dedikasikan hidupnya bagi Kristus, berjanji untuk setia
melayani Tuhan dan rela me-nyerahkan segala-galanya bagi Tuhan. Mengingat sema-ngat
kami ketika itu, bulu kuduk saya selalu merinding...
Siapa
yang berjanji iman 50% uang jajannya akan disisihkan untuk penginjilan? Siapa
yang tiap pagi dan malam menghafal ayat Alkitab dengan semangat? Tanyakan di
gereja saya, siapa yang dengan sukacita lembur malam-malam mendekor gereja
untuk perayaan Natal? Siapa yang rajin datang sermon Guru Sekolah Minggu
padahal tugas di rumah menumpuk? Siapa yang tetap bertahan datang ke gereja
menembus dinginnya malam hanya untuk “margurende” (latihan koor)? Siapa yang
rajin latihan Song Leader walau tak ada yang mengucapkan terima kasih setiap
selesai pe-layanan? Siapa yang tetap bertahan dalam pela-yanan walaupun setiap
kali ke gereja dimarahin habis-habisan oleh orang tuanya? Siapa yang tetap
rajin ke gereja, walau mungkin jelas-jelas pendetanya sendiri tidak
mengenalnya, apalagi menyapanya?
Jawabnya: Anak
ABG.
Sekarang, siapa yang malas ke gereja hanya karena
pendetanya lupa menyapa-nya ketika berpapasan di jalan? Siapa yang bertengkar
dalam rapat majelis hanya ka-rena keuangan gereja? Siapa yang takut gerimis
sehingga tidak jadi pergi ke gereja? Siapa yang mengatakan “uang melulu” ketika
amplop persembahan bulanan dibe-rikan penatua padanya? Siapa yang menyisihkan
0,1% gajinya untuk pembangunan gereja? Siapa yang sering mengatakan “ada
keperluan mendadak” untuk bisa absen dalam sermon pelayan? Jawabnya: Orang Dewasa.
Oh, tentu kita pasti punya segudang alasan untuk me-nertawakan
saya. “Lain dong ABG dengan orang dewasa bro..., ABG itu kan belum mengenal
realitas hidup, masih emosional. Sedangkan orang dewasa dituntut untuk berpikir
logis, rasional, dan bertanggung jawab. ABG itu masih dalam wawasan terbatas,
sedang orang dewasa berbeda karena pemikirannya lebih luas, visioner, dan
realistis.”
Ok, ok... Mungkin itu benar, saya juga pernah
belajar ilmu jiwa, dan tidak dapat menyangkalnya dengan jawaban yang tepat.
Saya hanya ingin berbagi cerita kepada saudara. Ed
Silvoso, seorang pelopor ke-bangunan rohani di Argen-tina. Dia adalah tokoh
Kristen yang membawa perubahan bukan hanya bagi gereja, namun juga membawa
trans-formasi sosial, politik, dan ekonomi bagi seluruh Argen-tina. Dalam
sebuah sesi wawancara ia ditanya ten-tang pengalamannya yang luar biasa itu.
Lalu apa yang dikatakannya? Ed Silvoso dengan bangga menceritakan tentang
komitmennya yang teguh untuk membuatkan sarapan pagi bagi isterinya setiap
pagi. Setiap pagi? Ya, setiap pagi...!!!
Terdengar “sangat ABG”?? Ya, tetapi itu sungguh
benar dilakukannya, demi keindahan dan keteguhan hidupnya.
Sehingga, menurut saya, mungkin memang seharusnya
pijar-pijar cinta ABG itu tidak pernah mati. Kita mungkin memang harus menjadi
dewasa dalam pemikiran, menjadi bijaksana dalam pertimbangan, namun dengan itu
mengapa kita harus kehilangan “hati”-nya anak ABG? Bayangkan bila pijar-pijar
itu tetap membara. Bayangkan bila “hati” itu mewarnai hidup kita, pernikahan,
hubu-ngan kita dengan sesama, terlebih hubungan kita dengan Bapa.
Seharusnya cinta memang begitu. Dia tidak pernah me-nyerah,
dia sabar menan-tikan, memaafkan, mengor-bankan perasaan, berupaya tersenyum
walau nanti di belakang diam-diam menyeka air mata, tetap mendoakan walau yang
kita doakan tidak mengetahuinya. Bagi Kristus demikian pula, cinta kita tetap
membara bagi-Nya walau di tengah tuntutan tanggung jawab sebagai orang dewasa.
Berbagi cerita dengan Tuhan, tidak hanya ketika kita membutuhkan
pertolongan-Nya namun juga ketika tadi siang kita melakukan sesuatu yang sangat
memalukan, sehingga kita akan tersenyum bersama-Nya.
Biarkanlah cinta ABG itu tetap membara bagi kekasih
(suami atau isteri) kita, walaupun mungkin wajah dan tangannya tidak sehalus
dulu, keriput mulai tampak di sana-sini, walau tidak harus “deg, deg-an”
seperti pertama kali dulu bertemu. Tetapi pijar-pijar cinta itu biarlah ia
tetap hidup...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar