Mendengar kata “kekudusan” tidaklah selalu
menyenangkan bagi sebagian orang Kristen. Sekalipun kita telah dikuduskan oleh
kematian Kristus, namun pada dasarnya tetap sangat rawan terhadap
kejatuhan dosa. Itulah sebabnya kata “kekudusan” bisa menjadi sebuah “momok
atau teror” bagi sebagian orang jika dimunculkan dalam percakapan, bahkan
banyak pengkhotbah yang enggan mengkhotbahkannya.
Alkitab mengambarkan penghargaan yang sangat
positif terhadap aspek kekudusan (Imamat 15:11, dan lain-lain), namun kebanyakan
dari kita sering mengidentikkan kekudusan dengan kewajiban yang terpaksa dan
memberatkan. Hanya dengan menyebut kata “hidup kudus” saja pikiran kita akan
langsung tertuju pada hal-hal yang memberatkan, identik dengan daftar panjang
berjudul “dilarang” dan daftar panjang berjudul “kewajiban” atau tanggung
jawab.
Di satu sisi memang hidup kudus adalah
kewajiban namun di sisi lain hidup kudus adalah panggilan hidup bagi orang
percaya. Dalam kitab Imamat, Allah sangat serius memerintahkan agar
umat tidak melanggar kekudusan Allah (Imamat 22:32; 19). Musa dan orang-orang
seangkatannya akhirnya tidak diijinkan memasuki tanah perjanjian, arah
pengharapan mereka, karena gagal menghormati kekudusan Allah (Bilangan
20:12). Oleh karenanya, implikasi pertama adalah: kita tidak akan dapat
menghidupi iman dan pengharapan, tanpa hidup dalam kekudusan.
Allah Yang Kudus
“...Kuduslah kamu,
sebab Aku, TUHAN, Allahmu, kudus.” (Imamat
19:2). Bila dihubungan dengan Allah, kata “kudus” (Ibrani: qadosy) mengandung arti bahwa Ia berbeda dengan dewa lainnya,
“ketertinggian Allah”, keteraturan karya (tatanan), serta garis pemisah antara
Ia dan ciptaan (Eissfeld,
1966: 233-234).
Para nabi
memproklamirkan kekudusan sebagai penyataan sendiri oleh Allah, kesaksian yang
Ia terapkan pada diri-Nya sendiri dan segi yang Ia kehendaki supaya makhluk
ciptaan-Nya mengenal Dia demikian.
Sifat Allah yang
paling khas dalam Perjanjian Lama yang sering sekali diulangi dalam Perjanjian
Baru adalah kekudusan-Nya. Walaupun bangsa-bangsa, benda-benda dan
tempat-tempat disebut kudus, tetapi ini semua menjadi berarti bila dikhususkan
kepada Allah, karena sesungguhnya hanya Allah sajalah yang kudus. Kekudusan,
berarti bahwa Allah benar-benar murni dalam pikiran dan sikap!
Yesus: Yang Kudus dari Allah
Di dalam Markus
1:1-13, narator Injil Markus memulai kisahnya dengan memperkenalkan Yesus
sebagai “Anak Allah” (Inilah permulaan Injil tentang Yesus Kristus,
Anak Allah). Yesus diperkenalkan oleh seorang nabi yang suci (Yohanes),
diproklamasikan sebagai “Anak terkasih” oleh Allah yang Maha Kudus dan ditemani
di padang gurun oleh para makhluk yang kudus pula (para malaikat). Kalimat
pertama Yesus sebagai protagonist juga merupakan panggilan untuk “kekudusan”
(ketahiran) di dalam Markus 1:15,” kata-Nya: "Waktunya telah genap;
Kerajaan Allah sudah dekat. Bertobatlah dan percayalah kepada Injil!" Kata
“bertobat” memiliki arti berbalik dari dosa dan kenajisan menjadi menuju
kekudusan, dan kata “percaya” adalah mengupayakan hidup sesuai dengan kehendak
Allah yang suci.
Salah satu aksi pertama yang dilakukan oleh Yesus dalam Injil Markus adalah
dengan “mengusir roh jahat” yang menguasai diri seseorang (Markus 1:21-28). Roh
jahat tersebut dengan tepat dan tegas merumuskan misi Yesus (“Engkau datang
untuk membinasakan kami”) dan jati diri Yesus (“Yang Kudus dari Allah”). Jadi,
penginjil Markus sejak awalnya telah menempatkan Yesus dalam matriks
keyahudiannya, dalam struktur kekudusan agamanya.
Sistem
dan politik ketahiran atau kekudusan yang sering sekali dimengerti dalam
hal-hal yang sangat pragmatis dalam keyahudian, dari pengertian mereka akan
konsep kekudusan dalam Kitab Suci dan pengajarannya, tampaknya juga dianut dan
dibela oleh “para lawan” Yesus di dalam Injil. Mereka yang sering sekali
melakukan “dialog” atau “konfrontasi” adalah para penguasa di bidang sosio,
religius, dan politik. Mereka adalah seperti, kaum Farisi, ahli Taurat, kaum
tua, dan para imam. Mereka selalu berusaha “memisahkan” diri dari kelompok
manusia lain yang mereka anggap tidak kudus, najis (Matius 9:10-11), mereka
membela secara lahiriah kemurnian hari Sabat dari “pencemaran” (Markus 2:23 – 3:6),
mereka dengan konsisten selalu membela Allah dari hujat (Markus 14:53-65; Lukas
5:17-26), mereka menjaga Bait Allah dari ketidaktahiran orang-orang najis
(Yohanes 2:13-16), mereka mengawasi tubuh dari makanan yang dianggap najis
(Markus 7:1-23).
Di lain pihak,
sering sekali Yesus dan para murid-Nya tampaknya “melanggar” semua batas dan
peta dari kekudusan yang telah terkonsep secara lahiriah oleh para pemegang
ukuran kekudusan kemasyarakatan yang memiliki status quo. Sering sekali juga terhampar perdebatan-perdebatan yang
ditimbulkan karena perbedaan apa yang di pegang oleh para penguasa kehidupan
kemasyarakatan Yahudi dengan apa yang Yesus tawarkan tentang kekudusan hidup
dan bermasyarakat.
Umat Yang (di) Kudus (kan)
Teks Kunci
“hendaklah kamu kudus, sebab Aku, TUHAN, Allahmu, kudus” juga memiliki implikasi
sosial. Sebagai umat Allah (Yang Maha Kudus) Israel juga harus menjadi umat
yang kudus. Tema ini menjadi warna dominan dari kitab Imamat, bahkan seluruh
perjalanan Perjanjian Lama. Perjanjian Lama harus selalu menjawab persoalan
dasariah: bagaimana Allah Yang Kudus dapat hadir di tengah-tengah umat-Nya?
Kehadiran Allah di tengah umat-Nya didasarkan pada fakta karya Allah yang
membebaskan mereka dari perbudakan di Tanah Mesir. Peristiwa exodus tersebut
(apapun penjelasan historisnya) dijelaskan sebagai tindakan “separasi” (pemisahan)
dan “santifikasi” (pengudusan).
Kekudusan langsung
berkaitan dengan praksis hidup yang “berbeda”. Kekudusan Israel dengan demikian
secara negatip berarti mereka harus menjadi bangsa yang “terpisah”, “tidak
bercampur”, “menyendiri”, dan ekslusif; dan secara positip berarti mereka harus
menjadi bangsa yang “utuh” dan “penuh” serta “lengkap”. Kata kudus menjadi
memiliki arti dua dimensi, dipisahkan dari dunia dan dikhususkan untuk Allah.
Untuk ini Cairns,
dalam hubungannya dengan kekudusan, mengatakan bahwa umat Israel dikhususkan
atau dipisahkan untuk memelihara Taurat Tuhan sehingga menjadi model bangsa
yang
beretika dan hidup dalam keadilan dan kebenaran Tuhan (Cairns, 2003:144).
Paulus
mengajarkan bahwa kita dijadikan kudus melalui disatukannya kita dengan Kristus
di dalam kematian dan kebangkitan-Nya, dan memiliki pengharapan untuk
bersama-sama dengan Dia. Dengan demikian, pengudusan haruslah dipahami sebagai
mati terhadap dosa di dalam Kristus, yang juga telah mati terhadap dosa
(bandingkan Roma 6:10). Kendati pengudusan itu di mata Allah merupakan sesuatu
yang telah terjadi, namun kekudusan itu masih perlu dan harus dinyatakan dalam
hidup umat yang percaya.
Nasihat dalam
Ibrani 12:14, “Berusahalah… kejarlah kekudusan, sebab tanpa kekudusan tidak
seorangpun melihat Tuhan” memperlihatkan bahwa penulis surat Ibrani tidak
menganggap kekudusan sebagai sesuatu yang terjadi dengan sendirinya; kekudusan
itu harus diupayakan dan tetap dipandang mutlak perlu bagi penunjukan rasa
percaya kepada Allah yang kudus. Ia bahkan melihat bahwa kekudusan adalah
pra-syarat yang penting untuk datang ke hadirat Allah.
Permenungan:
Kekudusan sebagai anugerah sekaligus
respon bagi iman dan pengharapan di dalam Kristus
Setelah penjelasan tentang dasar kekudusan,
yang mungkin terkesan sedikit pelik di atas, tentu ada hal mendasar yang
selayaknya ada dalam diri setiap orang percaya, sebagai respon terbaik dari
iman dan pengharapan dalam anugerah Tuhan. Kekudusan bukanlah suatu hal yang begitu
menakutkan, atau sebuah negeri utopis yang terkesan mustahil untuk dinyatakan.
Namun hal tersebut sejak awal sudah merupakan Kedirian Allah yang kita
percayai, dan sumber dari pengharapan kita.
Setiap pribadi
yang hidup di dalam Dia telah dikuduskan oleh anugerah-Nya, dibebaskan dari
setiap belenggu perbudakan yang ada, tetapi juga harus selalu berusaha keras
dalam semua segi perjuangan melaksanakan kehendak Allah. Berjuang selalu dalam
pengharapan yang benar di dalam Tuhan. Dalam hubungan dengan hal ini, Paulus
mengatakan, “Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku
menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan
yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang
sejati” (Roma 12:1). Umat Allah dibentuk menjadi kekuatan penyebaran kekudusan
Allah yang aktif mengatasi dan menyingkirkan “kenajisan” dalam segala bentuk.
“Kekudusan” mendorong setiap murid untuk memperlihatkan ciri kekudusan
Allah yang “utuh” dan yang “terbuka”. Yang terlibat dalam setiap kepelbagaian
yang ada, peduli dan memupuk solidaritas yang semestinya dalam keberagaman yang
diciptakan sebagaimana adanya. Kekudusan yang diperlihatkan Allah, dalam diri
Yesus kristus adalah yang juga mengutamakan keutamaan moral: kasih, bela-rasa,
keadilan, damai, dan sebagainya. Keterbatasan secara batas-batas lahiriah
(fisik, keturunan, suku, agama, dan lain-lain) menentang kekudusan itu sendiri,
karena Allah yang kudus menciptakan segalanya dalam keintegritasan yang kudus
pula.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar