Sabtu, 28 November 2015

Refleksi Natal: Menjadi Orang Biasa



S
uatu Spritualitas Alternatif telah menjadi perbincangan hangat di kalangan pemikir Kristen dan tokoh lintas agama pada waktu belakangan ini, setidaknya menurut saya, semenjak Sidang Raya PGI XVI yang diadakan di Nias akhir tahun yang lalu mengenai satu pemikiran yang mengaktual: Spritualitas Keugaharian. Apakah itu Spritualitas Keugaharian? Keugaharian secara mudah dapat diartikan sebagai kesederhanaan atau kebersahajaan, sikap hidup yang cukup dengan apa yang menjadi milik dan haknya. Untuk lebih jelasnya mari mengutip langsung pesan Sidang Majelis Pekerja Lengkap Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (MPL-PGI) Tahun 2015, “...spiritualitas keugaharian agar lebih diwujudkan dalam tindakan-tindakan sederhana tetapi nyata... menghindari gaya hidup boros, konsumtif, dan hedonis.[1] Sebab gereja-gereja dipanggil untuk mengembangkan spiritualitas keugaharian yakni gaya dan etos hidup yang memerhatikan kecukupan orang lain, segala makhluk dan bumi ini... sebagaimana diajarkan doa Tuhan Yesus sendiri: Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya (Matius 6:11).
Lukisan kita hari ini
Pemilihan judul refleksi ini “menjadi orang biasa” tentulah bukan bertujuan untuk menyatakan hal sebaliknya bahwa ada makhluk yang disebut sebagai “orang yang luar biasa”, tetapi “menjadi orang biasa” yang dimaksudkan adalah buah permenungan yang mendalam dan panjang akan perintah kemanusiaan kita agar selalu berpihak kepada mereka yang terpinggirkan dan yang sering tidak mendapat tempat dalam pergaulan sosial. Mengalihkan pandangan dari kenyamanan kita kepada kondisi di sekitar, kepada saudara-saudara yang tidak seberuntung apa yang kita peroleh.

Ada banyak sekali “orang biasa” di sekitar kita yang dapat menjadi acuan dan pertimbangan gaya hidup orang percaya. Namun kenyataan yang sering ditemui – atau bahkan mungkin kita sendiri hidup di dalamnya – adalah gaya hidup yang penuh dengan kemewahan, konsumtif, egoisme, dan seterusnya yang menjadikan kita memiliki “dunia” yang tak tersentuh lagi bagi “orang-orang biasa” yang keberadaannya jelas ada di sekeliling kita.  
Lihatlah apa yang dapat dilihat dari gaya hidup para pejabat kita. Ada berapa di antara mereka yang pintu rumahnya selalu terbuka bagi rakyat yang sesungguhnya menggaji mereka? Adakah yang masih mau benar-benar turun, mendengar, dan turut merasakan kegelisahan warga atas kebutuhan bernafas yang semakin mencekik? Seandainya ada, siapa dan apa yang mereka lakukan dengan tulus tanpa kepentingan “sampingan” lain?     
Di lain pihak, gaya hidup yang tampak dari kebanyakan kita juga tidak dapat dikatakan lebih baik. Konsumtif. Coba ingat, berapa uang yang dikeluarkan untuk barang-barang, berapa banyak uang yang telah dikeluarkan untuk pergi rekreasi, pergi jalan-jalan, makan-makan di restoran atau nonton bioskop yang telah di keluarkan dalam beberapa bulan ini? Ada berapa pasang sepatu yang tak terpakai di rak atau baju di lemari, rantang dan mangkok impor, alat elektronik, dan seterusnya, hanya karena kita “latah” untuk membelinya? Ada pula istilah shopaholic,[2] dan kita menganggapnya wajar saja, bahkan menjadikannya sebagai gaya hidup masa kini.
Hedonisme. Sudah kita bicarakan sedikit di atas. Filsafat hidup hedonisme adalah bagaimana mereguk kenikmatan sepuas-puasnya, dan menghindari kesakitan sedapat-dapatnya. Sangat mencintai kenikmatan. Sebab itu, hedonisme telah ada setua sejarah manusia. Namun pada masa belakangan ini sudah semakin mencolok dan berkembang. “Makanlah dan minumlah sepuas-puasnya, siapa tahu besok anda mati” begitulah semboyannya. Sehingga kesenangan diri di atas segala-galanya. Menganggap segala sesuatu semata-mata urusan pribadi sebagai hak asasi. Sehingga orang lain tak perlu ikut campur merecoki. Atas nama hak asasi manusia yang tak bisa dilanggar siapapun. Apakah akan menghambur-hamburkan, memamerkan, dijadikan sumber kebaikan atau modal maksiat, tidak perlu dipermasalahkan. Tak perlu memikirkan, apakah orang lain tergiur atau tersinggung.
Maka terjadilah kini, banyak orang suka pamer kekayaan. Membuat gedung-gedung megah mewah, villa-villa beratus juta, di kebanyakan orang sengsara melarat di rumah kumuh, gubuk, terdampar di kolong jembatan, atau di mana pun yang sesungguhnya tak layak untuk dihuni.
Banyak orang seliweran di atas mobil-mobil mewah berharga miliaran rupiah, di tengah sebagian besar orang berdesakan dalam kendaraan umum yang tak nyaman dan tak aman, yasng tak lagi memenuhi syarat keselamatan transportasi.    Maka terjadilah, banyak orang menghambur-hamburan makanan dan minuman, di tengah mayoritas penduduk kelaparan, susah mendapat kerja dan sumber nafkah, makan pagi sore tidak, dan tak tahu apa yang akan dimakan esok hari.
Natal dua ribu tahun lalu
Ada persoalan teodisi (tentang iman dan ketuhanan) yang selalu muncul sepanjang abad, juga bagi mereka yang hidup sebelum zaman Tuhan Yesus. Persoalan tersebut seputar pertanyaan-pertanyaan: Mengapa orang baik mendapatkan ketidakadilan dan malapetaka? Kalau Allah mahabaik, mengapa Ia tetap membiarkan penderitaan manusia merajalela? Bila Allah memang ada, mengapa kemiskinan dan kesakitan selalu ada?
Ada orang-orang yang telah mengambil keputusan untuk tidak percaya kepada Allah lagi karena hal ini. Ada yang belum mengambil keputusan seekstrim itu, tetapi sudah cenderung bersikap sinis dan ragu: Mungkin saja Allah itu memang ada, mungkin benar Ia mahabaik atau mahaadil, tetapi... yang jelas sampai saat ini Ia tidak berbuat apa-apa, Ia tidak peduli dan telah melupakan manusia.
Natal menjadi jawaban yang baik untuk semua jenis keraguan tersebut. Natal menunjukkan bahwa Allah tidak melupakan umat-Nya. Natal memberi pesan pasti bahwa Ia sangat peduli terhadap kehidupan manusia. Natal adalah bukti terbaik bahwa Allah itu ada dan selalu bekerja. Natal adalah proklamasi bahwa Allah “menjadi orang biasa”.
Allah “menjadi orang biasa”? Ya, menjadi orang biasa. Bukankah ketika Natal Allah mau peduli, turun,  bahkan turut merasakan apa yang diderita manusia? Bukankah melalui Natal Allah “menyangkal” kemuliaan-Nya dan bersedia menjadi “orang biasa”? Ia bahkan tidak memilih istana menjadi tempat dilahirkan, tetapi memilih kekumuhan sebagai simbol yang nyata keberpihakan-Nya terhadap “orang biasa”, yang terpinggirkan. Siapa orang tua yang beruntung yang mendapat peran penting ketika Natal? Yusuf dan Maria, mereka adalah “orang-orang biasa” yang tentunya tidak mendapat tempat di antara para penguasa ketika itu.
Siapakah sebagai pendengar pertama berita Natal? Jawabnya: Para Gembala! Mereka ini bukan siapa-siapa, selalu terpinggirkan dan untuk beberapa kasus dianggap najis, golongan terendah dalam masyarakat Ibrani ketika itu, mereka adalah “orang biasa”.
“Orang-orang biasa” ini selalu hidup dengan segala kesederhanaannya dan kebersahajaan, serta yang terpenting keniscayaan bahwa Allah lebih memilih mereka sebagai altar terdepan pewartaan kasih-Nya.
Menunduk kembali
Tidak ada tempat bagi keserakahan dan kerakusan ketika kita mengingat apa yang Allah telah lakukan melalui peristiwa Natal. Tidak ada pemborosan, konsumtifisme, atau hedonisme dalam kehadiran-Nya di bumi ini.
Keberpihakan-Nya menjadi “orang biasa” membuat kita harus lebih berhati-hati memaknai Natal dan dengan segala perayaannya. Mungkin dengan ini semua menjadi selalu relevanlah apa yang dikatakan oleh seorang pengkhotbah tua: “apakah kita tidak merasa aneh merayakan Natal dengan segala bentuk kemewahan sedangkan bayi yang kita rayakan itu lahir dan diletakkan di dalam tempat makanan ternak yang bau dan menjijikkan?” Atau tidakkah menjadi suatu yang lucu bila saudara merayakannya di gemerlap hotel berbintang, padahal bayi itu sendiri memilih kandang ternak sebagai tempat pembaringannya? Anda boleh saja bermewah-mewah, tetapi bayi yang saudara rayakan itu tidak akan dapat (mampu, mau) “menyentuh” kemewahan yang anda tawarkan.
Natal ini seharusnya mengajarkan kita lebih dari sekadar menyiapkan dan mencari anggaran Natal, tidak hanya persoalan menjahitkan baju yang baru, menghafal liturgi-liturgi, mendekorasi indah gereja, memersiapkan hadiah Lucky Draw yang menarik – yang secara pribadi saya tidak mengerti apa hubungannya dengan kelahiran Kristus, dan sebagainya. Tetapi lebih dari itu, seharusnyalah peristiwa kelahiran Kristus memampukan kita mengatakan bahwa di tengah budaya kerakusan yang kini melanda dunia, yang melahirkan kemiskinan, ketidakadilan, radikalisme dan kerusakan lingkungan, kita butuh mengembangkan spiritualitas keugaharian sebagai kontras terhadap globalisasi keserakahan ini. Mengendalikan diri dan berani mengatakan cukup; menyatakan kesediaan untuk hidup berbagi, dan berani berjuang bersama menentang segala sistem dan struktur yang menghalangi orang lain untuk memeroleh kecukupan dalam hidupnya. Spritualitas “Menjadi Orang Biasa”, adalah sikap berani, mau, dan harus memulai kesederhanaan dan kebersahajaan sebagai gaya hidup, sesuai dengan kedirian Tuhan kita yang ditampakan-Nya pada peristiwa Natal.
*****


[1] Hedonis mungkin dapat diartikan sebagai gaya hidup yang menjadikan kesenangan dan kenikmatan pribadi di atas segalanya. Kesenangan menjadi tujuan hidup!
[2] Shopaholic adalah seseorang yang tidak mampu menahan keinginannya untuk berbelanja dan berbelanja sehingga menghabiskan begitu banyak waktu dan uang untuk berbelanja meskipun barang-barang yang dibelinya tidak selalu ia butuhkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar