Senin, 29 Juni 2015

Injil: Berita Yang Memerdekakan



P
ernah dalam suatu ibadah di sebuah Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR), pada bagian akhir dengan lantang sang Pemandu Pujian bertanya kepada khalayak, “Saudara/i, sekarang saya ingin tau ada berapa jiwa yang dimenangkan malam ini..??” Lalu ia pun mulai menghitung jumlah mereka yang mengacungkan tangan, dan diikuti tepukan dan sorakan gembira dari semua yang hadir. Tentu apa yang dilakukan oleh Pemandu Pujian itu suatu yang jamak dalam ibadah biasanya, dan memang hal tersebutlah yang menjadi tujuan dari KKR, demikian pula malam itu: memenangkan jiwa-jiwa!
Memenangkan jiwa (atau: memerdekakan), tampaknya adalah kosa kata yang sederhana namun sesungguhnya tidak segampang apa yang kita bayangkan. Sebagaimana Pekabaran Injil yang sering kita namakan sebagai usaha untuk “memenangkan jiwa”, padahal dalam kenyataanya yang sering kita lakukan adalah malah “mengalahkan” mereka, yaitu membuat mereka takluk kepada kita lalu mengikuti kemauan kita. Bagaimana itu bisa terjadi?
Memaknai Nas
1 Korintus 9:19-23
Bacaan kita ini adalah dasar yang baik bagi pelayanan Pekabaran Injil. Tampaknya ketika Paulus menuliskan suratnya ini dari kota Efesus, ada beberapa masalah yang mulai mengkristal di Jemaat Korintus. Dari beberapa masalah yang ada, menyangkut latar belakang hidup anggota jemaat adalah yang paling menonjol. Hal ini tentunya dapat dimengerti karena keheterogenan latar hidup mereka (Yahudi, Yunani, Arab, Tuan, Priayi, Hamba, Pedagang, Petani, dan sebagainya), konon pula Korintus adalah salah satu Kota Pelabuhan terbesar pada masanya yang didatangi orang dari banyak benua. Dan masalah perbedaan itu juga tampaknya telah merasuk ke dalam Jemaat Korintus.

Pada bagian nas ini terlihat dengan jelas bahwa Paulus sebenarnya menghadapi kesulitan meng-hadapi orang-orang dengan budaya yang berbeda.  Paulus memunyai posisi yang sulit untuk mem-bicarakan isu-isu yang ada di kalangan orang-orang perca-ya di Korintus pada waktu itu. Di satu sisi, ada orang Kristen Yahudi dengan Hukum Musa dan di sisi yang lain ada orang Kristen Yunani yang bebas dari Hukum Musa. Untuk alasan inilah Paulus ingin bebas supaya dapat melayani semua orang.
Pada ayat 19, Paulus menggunakan eleuteros yang berarti “bebas” sebagai kata pertama. Kata eleuteros me-rupakan kata penting di Korintus dalam sosio-politik dan keagamaan pada waktu itu yang menun-jukkan status seseorang di dalam masyarakat.  Kata ini ditempatkan oleh Paulus di awal kalimat sebagai kesimpulan dari ayat sebelumnya (ayat 1-18) dengan penekanan yang sangat kuat.  Kata “bebas” yang oleh Paulus pada diskusi awal berbicara tentang kebebasan dari kekangan Hukum Tuhan, sekarang dipakai untuk bebas dari kebergantungan keuangan dari siapapun.  Dengan tidak menerima kompensasi dari jemaat di Korintus untuk pelayanannya, Paulus dapat bebas dari tekanan yang dapat mengekang khotbahnya.
Walaupun Paulus memberiikan penekanan pada kata “bebas” tetapi dia kemudian memberiikan pernyataan yang kontras dengan menambahkan kata “on” (concessive clause) sehingga menjadi though I am free.  Kalimat ini menunjukkan bahwa kebebasan yang dimiliki Paulus sebagai seorang Kristen tidak berhenti pada kondisi bebas saja, tetapi berlanjut dengan pernyataan Paulus yang mengatakan bahwa ia menjadikan dirinya sendiri hamba dari semua orang.  Kondisi yang disam-paikan Paulus tentang dirinya ini merupakan kondisi yang paradoks.  Paulus dalam kondisi mer-deka, bukan menjadi milik siapapun tetapi di saat yang sama dia menjadi hamba dari setiap orang. Dalam hal ini Paulus sebenarnya bukan hanya ingin berbicara tentang mo-dus operandi, tetapi dia sedang memertahankan past action yang dinyatakan mela-lui sikapnya berkaitan dengan isu-isu yang ada di Jemaat Korintus. Dalam kondisi bebas tetapi menempatkan diri sebagai hamba dari semua orang, Paulus dengan cerdik dapat menjalani pelayanan dengan kondisi sosial yang beragam.
Jika diperhatikan, ayat 20-22 memiliki pola yang sama yang terdiri dari strategi Paulus untuk mencapai tujuannya.  Untuk dapat memenangkan sebanyak mungkin orang, Paulus menjadi seperti orang Yahudi bagi orang Yahudi, menjadi seperti orang yang hidup di bawah Hukum Taurat bagi mereka yang hidup di bawah Hukum Taurat, menjadi seperti orang yang hidup tidak di bawah Hukum Taurat bagi mereka yang hidup tidak di bawah Hukum Taurat, dan menjadi seperti orang yang lemah bagi mereka yang lemah. Kata “menjadi” pada ayat 20-22 berasal dari kata egenomen yang memiliki kata dasar ginomai. Di dalam Perjanjian Baru, penentuan makna ginomai ditentukan oleh konteks di mana kata ini dipakai. Pada ayat 20, penggunaan kata egenomen lebih tepat diterjemahkan dengan makna “mengubah sesuatu menjadi”.  Hal ini dilakukan Paulus se-bagai usaha untuk memahami orang lain di dalam integritas Injil dan bukanlah suatu ketidak-konsistenan.  Apa yang dilakukan Paulus bukanlah menyesuaikan Injil dengan pandangan pendengar tetapi lebih kepada bagaimana Paulus menjalin hubungan dan berperilaku di antara mereka dan memiliki kesempatan untuk membagikan berita Injil.
Pada ayat 20 dikatakan bahwa bagi orang Yahudi Paulus menjadi seperti Yahudi. Ini menunjukkan bahwa Paulus memosisikan dirinya bukan sebagai orang Yahudi meskipun dia adalah keturunan Yahudi.  Tetapi sejak menerima Yesus, dia adalah ciptaan baru dan menjadi pengikut Kristus dan bebas dari tuntutan Hukum Taurat.
Sedangkan untuk orang Yunani, Paulus membaginya menjadi dua, yaitu orang-orang yang hidup di bawah Hukum Taurat atau proselit dan orang-orang yang tidak hidup di bawah Hukum Tau-rat. Dan Paulus pun menjadi seperti mereka supaya orang-orang Yunani ini percaya pa-da Injil. Bukan hanya orang Yahudi dan Yunani, tetapi juga kepada mereka yang lemah pun Paulus melakukan hal yang sama. Orang-orang yang lemah di sini adalah orang-orang belum percaya yang memiliki status sosial yang rendah. Di sinilah terlihat dengan jelas bahwa kebebasan Paulus dari keterikatan dengan manusia mengijinkannya untuk melayani sebanyak mungkin orang.
Walaupun Paulus telah menyebut dirinya adalah orang yang bebas tetapi dia tetap memiliki keterikatan dengan Hukum Kristus (ayat 21). Pernyataan ini disampaikan Paulus berdampingan dengan frase “orang-orang yang hidup tidak di bawah Hukum Taurat.”  Hal ini dinyatakan supaya tidak ada kesalahpahaman dari jemaat di Korintus tentang  “Paulus menjadi seperti mereka yang tidak hidup di bawah Hukum Taurat.”  Isu hidup tanpa moral dapat menerjemahkan kata anomoi yang dipakai oleh Paulus, padahal maksudnya tidaklah demikian. Oleh karena itu hidupnya ada di bawah Hukum Kristus. Di sini terlihat jelas bahwa sesungguhnya Paulus bukanlah orang yang anti dengan Hukum Allah sebab dia sendiri adalah pribadi yang hidup di dalam kekudusan dan kebaikan, tetapi dia anti dengan pemakaian Hukum untuk menghalang-halangi seseorang datang kepada Tuhan. 
Pemberitaan Injil adalah Warta Pembebasan
Saat ini banyak orang berada dalam keadaan tidak bebas. Ada orang yang dijajah oleh kekuasaan orang lain. Yang kecil dijajah oleh yang lebih besar, golongan yang kurang berpengaruh dijajah oleh golongan lain yang lebih berpengaruh, tetapi juga banyak orang yang dijajah oleh kebiasaannya sendiri, oleh kepercayaannya sendiri, oleh aturan-aturan dalam adat istiadatnya sendiri. Injil adalah berita kebebasan untuk semua orang, termasuk juga untuk mereka ini. Orang Kristen tidak berhak membatasi kebebasan itu untuk dirinya sendiri, tetapi kita dihimbau untuk menolong mereka agar dapat menikmati kebebasan mereka. Inilah inti dari Pemberitaan Injil: yakni menyebarluaskan berita kebebasan dan pembebasan.
“Bagi orang Yahudi aku menjadi seperti orang Yahudi, supaya aku memenangkan orang Yahudi ...” Begitu pula bagi orang yang hidup di bawah Hukum Taurat, bagi orang yang tidak hidup di bawah Hukum Taurat, bagi orang yang lemah, Paulus hidup seperti mereka juga. Injil sebenarnya membebaskan Paulus untuk tidak hidup seperti mereka, tetapi Injil juga membebaskan Paulus untuk hidup seperti mereka. Kalau Paulus mau sekadar menikmati kebebasan untuk dirinya sendiri, ia tidak akan mau hidup seperti orang lain itu. Tetapi karena Paulus tidak mau membatasi kebebasan menjadi miliknya saja, supaya juga menjadi milik orang lain, maka Paulus memilih kebebasan untuk hidup seperti mereka.
Injil tidak melarang kita mengikuti aturan-aturan budaya tertentu, apalagi budaya bangsa kita sendiri. Tentu saja, itu tidak berarti kita lalu ikut arus saja dan menerima segalanya de-ngan begitu saja, sebab kebe-basan juga akan kehilangan maknanya kalau tidak mem-bebaskan, kalau tidak mengu-bah apa-apa. Tetapi Injil membebaskan kita dari dosa, bukan dari ke-budayaan kita, bukan dari adat-istiadat kita. Kalau ada yang dilepaskan dari kebudayaan kita, itu adalah unsur-unsurnya yang berdosa, bagian-bagiannya yang menjajah dan membelenggu orang, bukan kebudayaan itu sendiri.
“Memenangkan Jiwa” bukanlah mencabutnya dari adat dan tradisinya, tetapi menolong seseorang untuk mampu menikmati budaya atau tradisi yang ada agar membawa sukacita. Injil tidak mengusir atau memerangi budaya tertentu, tetapi menyucikan dan membaruinya untuk kemudian men-jiwainya agar menjadi kebudayaan yang tidak menjajah dan tidak menyengsarakan orang.
Akhirnya, sudah saatnya ada pembaruan sikap orang-orang Kristen menjadi lebih terbuka terhadap, khususnya budaya Timur, yaitu dengan menghargainya, dan tidak serta-merta mengecamnya sebagai penyembahan berhala. Dengan demikian, Injil dapat menjadi jiwa juga dalam budaya/tradisi/adat kita. Dan dengan demikian, seperti apa yang dilakukan oleh Rasul Paulus, akan semakin banyak orang Timur (orang-orang kita sendiri) yang menikmati kebebasan Injil.
Tuhan memberkati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar