|
Dalam Kitab Suci,
bila kita dapat menyebutnya sebagai sebuah sejarah seperti dalam pengistilahan
orang Jerman “Geschicte” sejarah merupakan kenyataan hidup yang
mengikat, sejarah harus dilihat dengan kesadaran bahwa setiap generasi
memberikan muatan baru dalam sejarah yang telah ada dan yang sedang berjalan), sesungguhnya
penuh dengan cerita bagaimana Allah dengan pertimbangan-Nya sendiri dan
secara cermat telah memilih dalam keagungan-Nya, bertindak bebas, dan menuntut
pertanggungjawaban atas pemilihan tersebut. Tidak ada ketetapan mengapa
panggilan itu ditujukan kepada yang bersangkutan, hal itu tetap merupakan
rahasia yang seluruhnya berasal dari inisiatif Allah. Para nenek-moyang Israel
bukanlah orang-orang yang ideal, mereka adalah orang-orang yang biasa, namun
merekalah yang dipilih Allah untuk menjadi sarana apa yang akan Allah kehendaki
di bumi ciptaan-Nya. Menjadikan sebuah bangsa yang besar yang menyalurkan
keselamatan kepada bangsa-bangsa yang lebih luas cakupannya, inilah tujuan
pemilihan yang me-miliki dimensi horizontal yang universal, inilah dasar utama
dari apa yang sering disebutkan sebagai Teologi Pemilihan.
Israel Sebagai
Umat Pilihan
Kata Israel (Ibrani: Yisra'el), adalah menunjuk kepada sebuah bangsa
Semit Barat, disebut sekitar 2514 kali di dalam Perjanjian Lama. Kejadian
32:28-29 menyebutkan alasan penyebutannya dengan kalimat: “… sebab engkau
telah bergumul melawan Allah dan manusia, dan engkau menang” (Alkitab berbahasa
Inggris/KJV: “… or as a prince hast thou
power with God and with men, and hast prevailed”).
Selanjutnya para
ahli Perjanjian Lama melihat bahwa faktor keilahian tidaklah mungkin menjadi
objek dari sesuatu, dan dika-renakan bahwa “El”
(Allah) bukanlah hanya sebatas sebuah sebutan biasa tetapi merupakan nama
dari Allah bernama “El”, maka Israel
haruslah berarti “El-struggles”
(El-bergumul) atau “El-strives” (El-bekerja
keras). Ungkapan ini sangat cocok untuk menggambarkan apa yang akan Allah
perbuat bagi bangsa pilihan-Nya ini pada waktu-waktu yang selanjutnya dalam
perjalanan mereka sebagai bangsanya “El” (Allah).
Implikasi teologisnya: Begitu Allah telah memu-tuskan untuk memilih suatu umat,
maka Ia pun bertanggung jawab penuh untuk memperjuangkannya!
Gereja Sebagai
Umat Allah
Dalam
perjalanannya sebagai bangsa pilihan, Israel sering sekali jatuh, dan terjatuh
lagi. Namun menurut Paulus, Israel sebagai bangsa tidak ditolak untuk
selamanya. Mereka tersandung, tetapi tidak selamanya akan terjatuh. Berakar
pada iman keyahudiannya, Paulus sangat yakin bahwa firman Allah akan selalu
membawa hasil, “Akan tetapi firman Tuhan tidak mungkin gagal” (Roma 9:6a).
Allah tidak pernah salah memilih bangsa Israel dan Ia tetap setia kepada
mereka, dan sejarah Israel telah membuktikan kesetiaan Tuhan tersebut. Anugerah
Allah tak tertahan dan mengalahkan kekerasan hati manusia.
Allah
tidak pernah ragu-ragu menetapkan pilihan-Nya pada Israel, namun Israel gagal
menanggapi anugerah Allah secara positip. Karena tidak taat, Israel gagal
mencapai kebenaran yang mesti dicapainya. Mereka demikian karena tidak memiliki
pemahaman diri yang tepat tentang hakikat umat Allah. Umat Allah yang sejati
ialah mereka yang dibenarkan oleh iman, bukan karena daging dan perbuatan.
Demikianlah untuk ini Nygren, seorang teo-log Perjanjian Baru, mengatakan
bahwa ada dua hal yang bagi Paulus merupakan kepastian: yang pertama adalah
bahwa Allah memberikan janji-janji-Nya kepada Israel dan tidak pernah menghancurkan
mereka. Kedua, Janji-janji Allah tersebut dipenuhi di dalam Kristus!
Penolakan
Israel membuat bangsa-bangsa lain sekarang memeroleh kesempatan yang luas untuk
menjadi umat Allah dalam konsep Israel yang baru. Ketidakpercayaan Israel
membuat keselamatan ditawarkan kepada mereka yang tadinya dikatakan bukan
bagian dari umat. Begitulah kegagalan orang Israel membuka peluang yang lebar
sehingga bangsa-bangsa lain dapat ber-bondong-bondong diselamatkan dan masuk
menjadi anak-anak perjanjian. Sebelumnya pemilihan Allah atas bangsa Israel
sebagai umat-Nya adalah merupakan sebuah anugerah, demikian juga karena
anugerah tersebut maka setiap bangsa yang percaya masuk ke dalam komunitas umat
Tuhan. Komunitas yang melewati batas-batas hubungan lahiriah dan kebangsaan,
namun penekanannya adalah lebih kepada kekuasaan yang bebas dan mutlak dalam
diri Allah untuk memilih umat yang beriman kepada-Nya.
Kemerdekaan
sekarang yang sudah dinikmati dan yang masih akan datang untuk segala ciptaan,
semua terjadi berkat anugerah Tuhan semata, semuanya terjamin oleh kasih Tuhan
yang tidak pernah menyesali pilihan-Nya. Tidak ada apapun di dunia yang dapat
memisahkan orang percaya dari kasih Tuhan itu. Umat Israel tetap menjadi
kekasih Allah dan Tuhan tidak menyesali panggilan-Nya (bandingkan Roma
11:28-29). Allah sama sekali tidak pernah memutuskan status keumatan mereka,
perjanjian-Nya dengan para leluhur Israel selalu berlaku untuk selamanya, namun
demikian juga, ketika Israel sebagai bangsa pilihan masih gagal dan gagal
lagi, maka Israel baru telah dimunculkan-Nya
sebagai perwujudan kasih Allah yang luas dan yang tak terbatas, yaitu: gereja!
Umat Kristen (gereja) adalah orang yang cangkokkan kepada pohon zaitun sejati,
yaitu orang Kristen yang berasal dari berbagai bangsa (yang disebut dengan
istilah “zaitun liar”). Zaitun-zaitun liar tersebut adalah konsep keisraelan
yang baru, dalam riwayat perjanjian Allah kepada umat-Nya yang terpilih menjadi
bangsa Allah. Keselamatan
yang diberikan kepada komunitas “Umat Israel yang baru” bukanlah sesuatu yang
diambil dari mereka yang membuat Israel menjadi terbuang dan hancur, tetapi
Israel baru yang dimaksudkan adalah sebuah lingkungan yang berbeda di dalam
iman kepada keselamatan yang dibawa oleh Yesus Kristus.
GPP sebagai Umat
Allah
Tentu
kita bersyukur bahwa GPP pada bulan ini genaplah berusia 40 tahun (18 Mei 1975
– 18 Mei 2015), iman kita berkata benarlah bahwa dalam perjalanan 40 tahun ini
Allah yang telah memilih kita sebagai umat-Nya telah dan selalu bergumul untuk
gereja ini. Banyak hal yang Allah telah perbuat, dan banyak hal yang ajaib yang
telah diberikan-Nya bagi pribadi maupun keluarga kita melalui gereja GPP.
Sukacita, kedamaian keluarga, anak-anak yang terbanggakan, kesembuhan dari
penyakit, hasil panen yang baik, adalah sebagian contoh berkat Tuhan yang kita
peroleh dari karya-Nya melalui gereja kita ini.
Namun,
di sisi yang lain saat ini selayaknyalah kita juga menundukkan kepala untuk
merenungkan apa saja yang telah dilakukan oleh gereja (baca: Pelayan dan anggota
jemaat) GPP bagi orang lain. Walaupun juga tidak dpat dinafikan dalam beberapa
hal kita telah mulai melakukannya, namun selayaknya kita telah melakukan lebih
banyak hal lagi sebagai wujud kedewasaan dan kemandirian gereja kita. Bukankah
bila kita meyakini bahwa GPP adalah bagian umat yang dipilih Allah, maka kita
juga harus percaya bahwa GPP ini memiliki tanggung jawab untuk menjadi berkat
dan kebaikan bagi orang lainnya?
Menjadi
berkat yang lebih luas tentunya harus lebih dahulu dimulai dengan mewujudkan
kemandirian gereja. Yang dimaksud
dengan kemandirian gereja di sini adalah upaya bersama terus-menerus memerkembangkan
semua kemampuan (potensi) dan pemberian Tuhan secara bebas dan bertanggung
jawab bagi persekutuan, pelayanan dan kesaksian. Melalui proses kebersamaan itu
gereja kita menuju “kedewasaan penuh dan tingkat pertumbuhan sesuai dengan
kepenuhan Kristus” (Efesus 4:13). Ini artinya semuanya harus terlibat dalam
pelayanan dan kebangunan gereja sesuai dengan potensi yang dimiliki oleh setiap
anggota jemaat.
Selanjutnya harus dipahami, di dalam diri Yesus
Kristus yang datang di tengah-tengah kancah kehidupan bumi, Allah yang berkenan
mengawali misi-Nya untuk menyelamatkan-sejahterakan dunia dengan membebaskan
manusia dari dosa, maut dan segala bentuk penindasan dan penderitaan di dalam
rahmat pengampunan-Nya. Hakikat dan tujuan hidup gereja adalah keikutsertaanya
dalam misi ilahi tersebut sebagai berkat bagi yang lainnya dengan hal yang
praktis sekalipun: pertama, menjadi prototype
(teladan) yang baik bagi dunia sebagaimana apa yang dilakukan oleh Yesus dalam
karya penyelamatan-Nya di bumi ini. Bukankah langkah ini (menjadi tiruan
Kristus) menjadi salah satu daya tarik kekristenan pada abad pertama sehingga
gereja-gereja pada waktu itu mendapat tempat di hati masyarakat sekitar yang
terasa mendapatkan berkat atas kehadiran gereja?
Yang kedua, tentu saja GPP harus selalu tanggap akan
perubahan-perubahan atau isu-isu yang berlangsung di sekitarannya, karena
gereja GPP memang diutus untuk hidup di tengah-tengah dunia ini. Namun demikian
tidak hanya cukup memerhatikan, atau menonton semata, namun turut serta bergumul
di dalamnya, memikirkan dan bertindak demi mendatangkan kebenaran dan keadilan
dalam banyak ranah kehidupan. Itulah sebabnya Tuhan Yesus pernah berkata, “kamu
adalah garam dunia, kamu adalah terang dunia” (Matius 5:13,14).
Baiklah kita mengutip sebuah falsafah Prancis yang sangat
terkenal, “noblesse oblige” kira-kira artinya: dalam nama yang
luhur terkandung tanggung jawab yang luhur pula. Dalam kaitannya dengan
genapnya 40 tahun gereja GPP, usia itu juga memiliki tanggung jawab yang lebih
dewasa pula!
Tuhan memberkati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar