Teks Khotbah: Titus 2:11-14
Khotbah UEM Minggu 31 Maret 2019
Tema: Bersukacita Karena Kasih Karunia Allah
Teks
2:11 Karena kasih
karunia Allah yang menyelamatkan semua manusia sudah nyata. 2:12 Ia
mendidik kita supaya kita meninggalkan kefasikan dan keinginan-keinginan
duniawi dan supaya kita hidup bijaksana, adil dan beribadah di dalam
dunia sekarang ini 2:13 dengan
menantikan penggenapan pengharapan kita yang penuh bahagia dan penyataan kemuliaan
Allah yang Mahabesar dan Juruselamat kita Yesus Kristus, 2:14 yang
telah menyerahkan diri-Nya bagi kita untuk membebaskan kita dari segala
kejahatan dan untuk menguduskan bagi diri-Nya suatu umat, kepunyaan-Nya
sendiri, yang rajin berbuat baik.
Pengantar
Sejak
abad 18 para sarjana sepakat menggolongkan Kitab Titus bersama 1-2 Timotius
kepada kelompok Surat Pastoral (Penggembalaan). Walaupun nama “penggembalaan”
itu sendiri sebenarnya tidak menerangkan isi surat-surat ini keseluruhan karena
ia juga berisi tentang aturan organisasi gerejawi. Sederhananya dapat dikatakan
bahwa Surat Titus dimaksudkan sebagai wejangan Rasul Paulus kepada rekan
sekerjanya yang masih muda bernama Titus di Pulau Kreta/ Crete (disebut juga Kandia), sebelah tenggara Yunani. Penduduk
Pulau ini memikiki peradaban tinggi namun bermoral rendah, dihuni mayoritas
masyarakat Yunani tetapi juga banyak orang Yahudi di sana. Gunung Ida, gunung
tertinggi di sana dipercaya sebagai tempat kelahiran dewa Zeus (dewa Yunani).
Memang
memasuki awal abad ke 19, oleh pengaruh Schleiermacher, keotentikan penulis
Surat ini mulai dipertanyakan dan sekarang pada umumnya para sarjana
menyimpulkan bahwa Surat Titus bukanlah hasil karya Paulus langsung tetapi
merupakan pseudo-Paulus/ pseudepigrapher
(walaupun tetap umumnya mempertahankan setidaknya ia adalah karya salah satu
murid Paulus) yang dituliskan sekitar abad 1 Masehi.[1]
Siapakah
Titus? Berbeda dengan Timotius, sangat sedikit informasi mengenai riwayat
hidupnya. Lebih anehnya yakni fakta kalau namanya tidak disebutkan sama sekali
dalam Kisah Para Rasul. Dari Surat Titus kita mengetahui bahwa ia adalah seorang
Yunani yang tidak bersunat, isu yang menjadi daya tarik kekristenan abad
mula-mula yaitu tentang kesetaraan. Mungkin asalnya dari Antiokhia, Fee (1984:20)
menduga bahwa ia juga adalah rekan kerja
awal Paulus (peristiwa dalam Galatia 2:1), rekan
senegaranya yang tepercaya sepanjang hidup Paulus. Titus ditinggalkan di Kreta
untuk mengatur gereja, setelah Paulus menginjili pulau itu, “Meskipun tidak
dapat dipastikan, Titus mungkin lebih tua dari Timotius (lihat Titus 2:15). Dia
juga tampaknya memiliki karakter yang lebih kuat … dan ia adalah orang yang
bertobat karena Paulus” (Fee, 1984:21). Karakter yang kuat ini menurut Marxsen
(1999:244) tampak dari penugasan Paulus untuk mengunjungi jemaat Korintus
ketika mereka terjadi konflik dengan Paulus (2 Korintus 7:6, 13-14, 12-18), dan
Titus berhasil memulihkan hubungan antara gereja dengan Paulus. Menurut tradisi
ia menjadi uskup di Kreta dan meninggal pada usia 94 tahun.
Seperti yang diutarakan di atas, Titus diminta oleh
Paulus menetap di Kreta bertujuan untuk menertibkan hal-hal yang tidak sempat ditangani
oleh Paulus. Penekanan surat ini ada pada tugas-tugas memberitakan ajaran yang
benar dan sehat serta kemampuan meyakinkan pihak yang menentang. Di Kreta
banyak orang yang hidupnya tidak tertib, kaum fanatik sombong, dan beretika
buruk yang tidak hanya berdampak negatif terhadap diri mereka sendiri tetapi
juga bagi persekutuan Kristen.
Interpretasi Ayat
Sebelum ayat renungan ini telah diuraikan daftar tanggung
jawab para anggota keluarga: laki-laki yang tua (ay.2), perempuan-perempuan tua
(3-5), orang-orang muda (6-8), dan hamba-hamba (9-10). Titus 2:11-14 adalah
dasar teologis dari segala hal tersebut. Fondasi doktrinal untuk instruksi
praktis (Platt, 2013:89), alasan mengapa umat Allah harus melakukan perintah di
atas.
Ayat 11: “Karena
kasih karunia Allah yang menyelamatkan semua manusia sudah
nyata.” Towner
menerangkan kalimat ini adalah suatu lonjakan yang tinggi dalam pemikiran warga
Kreta. Dalam mitologi Kreta, biasanya ungkapan “karunia” dan “keselamatan”
disematkan sebagai hak prerogatif dewa Zeus (juga Kaisar) yang kehadirannya
selalu ditandai dengan hadiah rahmat
dan keselamatan, yang semuanya bertujuan untuk menunjukkan kebajikannya kepada manusia (rakyat). Pada awalnya kemanusian
Zeus begitu tampak, tetapi karena kebajikannya itu maka ia menerima status
ilahi dari manusia (2006:49). Tetapi penekanan ayat ini berbeda dengan
pengertian masyarakat Kreta tersebut, tidak ada yang hendak ditonjolkan oleh
perbuatan Allah itu selain untuk kebajikan manusia ciptaan. Hal tersebut bukan
modus operandi untuk mendapatkan status keilahiannya, karena Ia adalah Allah
itu sendiri. Kasih karunia adalah kebajikan bagi manusia yang pada dasarnya
tidak layak mendapatkannya. Perkataan “… sudah nyata” artinya adalah bahwa Dia telah membuat keselamatan ini diketahui
dengan cara yang sebelumnya tidak diketahui, dan Dia telah membuat dunia
melihatnya. Fee (1984:194) mengartikan bahwa keselamatan itu telah menjadi
milik semua orang. “Tidak ada bangsa, bahasa, orang, atau orang yang
dikecualikan dari karya penyelamatan-Nya.” (Platt, 2013:90).
Ayat
12-13: “Ia mendidik kita supaya kita meninggalkan
kefasikan dan keinginan-keinginan duniawi dan supaya kita hidup bijaksana, adil
dan beribadah di dalam dunia sekarang ini dengan menantikan penggenapan
pengharapan kita yang penuh bahagia dan penyataan kemuliaan Allah yang
Mahabesar dan Juruselamat kita Yesus Kristus ...” Keselamatan harus mengubah kita! Fee (1984:195)
berkata bahwa penulis tampaknya menggunakan isu moralitas Hellenistik (Platonisme-Stoicisme) pada ayat 12, tetapi ia juga memberi
penekanan kuat bahwa Kristuslah alasan istimewa bagi setiap orang percaya untuk
mewujudkan peradaban baru yang lebih bermartabat. Teladan Kristus dan anugerah
Tuhan menjadi aspirasi yang baik bagi peradaban yang bermartabat dan
mendatangkan kesukaan bagi setiap warga. Paulus memohon kepada
orang Kreta melalui Titus untuk mengingat penerimaan mereka sendiri akan kasih
karunia itu, yang terjadi pada pertobatan mereka ketika mereka pertama kali
mendengar Injil. Injil adalah panggilan untuk hidup bijaksana, adil dan
peribadatan yang benar sebagai implementasi kekinian dari pengharapan
eskatologis kita.
Ayat 14: “… yang
telah menyerahkan diri-Nya bagi kita untuk membebaskan kita dari segala
kejahatan dan untuk menguduskan bagi diri-Nya suatu umat, kepunyaan-Nya
sendiri, yang rajin berbuat baik.” Keselamatan sebagai
peristiwa masa lalu yang tampak nyata dalam penyaliban Kristus, di mana dia
memberikan dirinya untuk kita. Menarik, perbuatan yang dilakukan oleh Kristus juga memiliki
tema yang sama dengan peristiwa keluaran dan pemilihan yang terdapat pada
Perjanjian Lama yaitu: pengudusan suatu umat! Pengudusan ini tentunya berdampak
ganda, pemberi anugerah memberikan jaminan kehidupan dalam kesetiaan umat,
demikian pula sebaliknya bahwa umat yang dikuduskan itu harus menjadi estalase
kebaikan bagi setiap ciptaan yang memandangnya. Kebaikan yang diupayakan
sebagai buah pengudusan yang dianugerahkan melalui penyerahan diri Kristus
bukanlah tindakan musiman dan diberikan kepada sebagian semata namun
diwujudnyatakan sesering mungkin dan kepada sebanyak mungkin orang yang dapat
merasakannya. Fee (1984:196) mengatakan bahwa “rajin berbuat
baik” merupakan
respons yang pantas terhadap anugerah Allah yang dinyatakan dalam kematian
Yesus Kristus yang menyelamatkan.
Refleksi dan Penutup
Injil itu membebaskan, dan itulah yang
membuat kita bersukacita senantiasa di dalam Tuhan. Towner (2006:45) mengakhiri
perikop ini dengan mengatakan bahwa “anugerah kasih karunia
Allah sesungguhnya
menghasilkan efek pendidikan dan memanusiakan manusia”. Persoalan yang
sering muncul dewasa ini, setidaknya menurut pengamatan saya, dalam peradaban
beragama adalah ekslusifisme dan formalisasi keberagamaan yang semakin kuat
saja di tengah arus keberagaman yang semua juga sadar merupakan sebuah
keniscayaan. Kita juga harus jujur bahwa ekslusifisme dan formalisasi
keberagamaan itu bukanlah milik satu agama saja, namun peluang dan praktiknya
menjadi persoalan semua komunitas beragama. Bentuknya? Radikalisme, formalitas
verbalis beragama, ketidakmampuan melihat orang lain sebagai sesama, dan
seterusnya.
Pendamaian yang dibawa oleh Kristus melalui pengorbanan-Nya
menawarkan peradaban (Kristen) yang baru, yang hadir untuk memanusiakan
manusia. Anugerah yang membawa kita melampaui tahap pelepasan nafsu keduniawian
yang dapat merusak pikiran dan moralitas hidup. Komunitas yang mengaku hidup
dan bertumbuh dalam keumatan itu juga harus bersedia menyatakan bahwa karya
keselamatan Kristus memang telah dimiliki oleh seluruh ciptaan. Ia mau hidup
dengan menjunjung tinggi nilai-nilai pluralisme, dan menyatakan kebajikan
dengan sukacita kepada semua orang. Ia adalah estalase kebaharuan moralitas
yang bermartabat. Pertanyaan: apakah gereja hari ini masih konsisten menghidupi
hal tersebut? Semoga.
Bahan Bacaan
Fee, Gordon D, 1 and 2 Timothy, Titus, (Massachusetts:
Hendrickson Publishers, 1984).
Marxsen, Willi, Pengantar Perjanjian Baru, (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1999).
Platt, David, 1 and 2 Timothy, Titus, (Nashville: B & H Publishing Group, 2013).
Towner, Philip H, The Letters to Timothy and Titus,
(Michigan: Grand Rapids, 2006).
[1]
Tidak banyak perdebatan mengenai kedudukan Surat Penggembalaan ini dalam kanon.
Kecuali Marcion tentunya, penolakan Marcion itupun bukan disebabkan oleh
keraguan kepengarangan apakah oleh Paulus atau tidak, tetapi lebih kepada
gagasan teologi yang tak sejalan dengan Marcion
Tidak ada komentar:
Posting Komentar