Maleakhi 3:13-18
Ibadah yang Benar
Teks:
13. Bicaramu kurang ajar tentang Aku, firman TUHAN. Tetapi kamu
berkata: “Apakah kami bicarakan di antara kami tentang Engkau?”
14. Kamu berkata: “Adalah sia-sia beribadah kepada
Allah. Apakah untungnya kita memelihara apa yang harus dilakukan terhadap-Nya
dan berjalan dengan pakaian berkabung di hadapan TUHAN semesta
alam?
15. Oleh sebab itu kita ini menyebut berbahagia orang-orang yang
gegabah: bukan saja mujur orang-orang yang berbuat
fasik itu, tetapi dengan mencobai Allahpun, mereka luput juga.”
16. Beginilah berbicara satu sama lain orang-orang yang takut akan
TUHAN: “TUHAN memperhatikan dan mendengarnya; sebuah kitab peringatan
ditulis di hadapan-Nya bagi orang-orang yang takut akan TUHAN dan bagi
orang-orang yang menghormati nama-Nya.”
17. Mereka akan menjadi milik kesayangan-Ku sendiri,
firman TUHAN semesta alam, pada hari yang Kusiapkan. Aku akan mengasihani mereka
sama seperti seseorang menyayangi anaknya yang melayani dia.
18. Maka kamu akan melihat kembali perbedaan antara orang
benar dan orang fasik, antara orang yang beribadah kepada Allah dan orang
yang tidak beribadah kepada-Nya.
Penulis dan Konteks Hidup
Dalam
studi akademis, tampaknya Kitab Maleakhi ini tidak mendapatkan ruang perdebatan
yang sampai menimbulkan ketegangan seperti yang dialami oleh kitab-kitab lain
dalam gulungan Nabi-nabi Kecil. Childs (1980:489) menduga “hal ini disebabkan
oleh pandangan umum yang melihat bahwa kerumitan yang terdapat dalam Kitab
Maleakhi ini tidak sekompleks apa yang ditemukan dalam kitab nabi-nabi kecil
yang lainnya. Demikian, pada umumnya para sarjana seolah-olah menyepakai
konsensus yang menempatkan kepenulisan Maleakhi pada paruh pertama abad 5 sM
sebelum peristiwa reformasi Ezra dan Nehemia.” Tentang ini kita akan
menyinggungnya lagi nanti.
Siapakah
Maleakhi? Superskripsi (1:1) “Ucapan Ilahi. Firman TUHAN kepada Israel dengan
perantaraan Maleakhi”, adalah bentuk sastra yang biasa dalam tulisan kuno, seperti
dalam Zakaria 1 dan lainnya. Namun berbeda dari nama kitab umumnya, Maleakhi
(Ibr. Mal’aki) adalah gelar/ sebutan
yang bearti “pembawa pesan” (utusan), ia bukanlah sebuah nama pribadi.
Septuaginta (dan teks Yunani lain) mengartikannya dengan membubuhkan bentuk
orang ketiga (pembawa pesan-Nya, his
messenger), sedangkan teks Ibrani sendiri sesuai dengan pasal 3:1
menggunakan bentuk orang pertama (pembawa pesan-Ku, my messenger). Ada beberapa teori yang mencoba untuk mencari tahu
siapa sebenarnya si “pembawa pesan” ini, tapi tampaknya argumentasi yang
dibangun tidaklah begitu kuat, misalnya Bulmerincq yang mengusulkan penulisnya
adalah salah seorang asistennya Ezra. Childs (1980:494) menduga bahwa nama
pribadi dari nabi yang menuliskan mungkin hilang (atau dihilangkan?) ketika
penyebarluasan tulisan ini, dan komunitas Ibrani telanjur mewariskan tradisi
bahwa “mal’aki” seolah-olah nama
pribadi itu sendiri.
Kapan
kitab ini dituliskan? Ada pihak yang menganggap karena Kitab Maleakhi dalam
Alkitab terdapat pada urutan akhir sehingga dituliskan paling terakhir, tentu
anggapan ini keliru. Seperti yang telah disinggung di atas, Eissfeldt (1966:442-443)
juga sepakat dengan kebanyakan sarjana yang meletakkan pentarikhan pada paruh
pertama abad 5 sM di antara masa Hagai-Zakaria (520 sM) dengan masa
Nehemia-Ezra (400 sM). Mungkin sekali ia sejaman dengan Deutero Yesaya (Yesaya
40-55). Dasar pengusulan ini adalah dengan tampak jelasnya eksistensi kultus
Bait Allah serta fakta kehidupan umat yang menaati kultus tapi sekaligus adanya
praktik penyembahan ilah lain yang tersebar luas, hal inilah yang nantinya
ditentang oleh Ezra dan Nehemia. Periode ini adalah salah satu periode Alkitab
yang sangat sedikit informasi yang dapat kita peroleh.
Kitab Maleakhi menyoroti lebih
jauh dan tajam
tentang ketegangan parah dalam komunitas setelah Pembuangan atas lemahnya kepemimpinan
yang terjadi pada masa itu (Gottwald, 1987: 509). Misi ini dibangun dengan enam
Ucapan Ilahi (oracles, Childs dan
Pfeiffer menggunakan istilah “bagian”, Ibr. massa)
dalam bentuk ketegangan antara imam dan umat, yang akhirnya nanti juga memiliki
implikasi terhadap segi sosio-ekonomi serta membidik para elite politik negeri
(1:1-5; 1:6 – 2:9; 2:10-16; 2:17- 3:5; 3:6-12; dan 3:13 – 4:3). Isinya sangat
dekat dengan hal-hal yang menyangkut ibadah serta koreksi terhadap
kesalahan-kesalahan di dalamnya, hal ini mengindikasikan bahwa pada masa
penulisan kitab ini Bait Allah (yang kedua) telah didirikan kembali. Ironi
memang karena imam tidak benar menggunakan Bait Allah tersebut (1:13),
imam-imam juga tidak memberikan petunjuk yang benar tentang ibadah itu sendiri.
Padahal secara politis, di “kecamatan” Yehuda yang merupakan bagian
pemerintahan Persia, para imam (besar) memiliki kekuasaan strategis bukan hanya
dalam peribadatan namun juga dalam lingkungan sipil. Secara sosial, pembangunan
kembali Bait Allah ternyata tidak diikuti dengan munculnya suatu kehidupan yang
secara nasional dikatakan baik, sehingga mengakibatkan banyak dari antara
orang-orang Yahudi itu yang putus asa (Hinson, 2004:219). Hinson juga mencatat
bahwa orang-orang yang kembali dari pembuangan merasa lebih “suci” dari mereka
yang tidak ikut terbuang dan tetap tinggal di Yerusalem (yang jumlahnya tentu lebih
banyak), hal ini memunculkan ketegangan tersendiri. Namun, marginalisasi yang
terjadi ini malah menimbulkan rasa simpati dari suku-suku sekitar yang masih
dalam teritori Persia, sehingga mereka berusaha mencari cara bagaimana
mempersulit orang-orang Yahudi yang kembali dari pembuangan tadi.
Interpretasi Ayat
Apakah Tuhan yang
harus memegang janjinya terhadap Israel, atau Israel yang harus segera mempersiapkan
diri terhadap keadilan yang Tuhan akan tegakkan (Gottwaldt, 1987: 510). Dua
perspektif ini menjadi refleksi penting bagi pembaca kitab Maleakhi.
Menggaungkan keistimewaan sebagai bangsa pilihan atau bersiap untuk pengadilan
yang akan didatangkan?
Barth (2001: 129)
meringkas kebobrokan periode ini dengan mengatakan bahwa para imam telah merusak
perjanjian Allah dengan Lewi dan menghina nama-Nya di dalam ibadah. Imam
membuat banyak orang tergelincir oleh pengajarannya dan mendatangkan kutuk.
Mereka tidak layak lagi melayani tempat kudus. Demikian pula umat Israel,
mereka sedang menajiskan perjanjian bapa leluhurnya, mengkhianati isteri
seperjanjian – yaitu melepaskan isteri sahnya untuk mencari isteri baru yang
kaya walaupun perempuan itu berbakti pada ilah lain. Umat bersumpah palsu,
lalai dengan persembahan, menipu Tuhan. (Usul saya: bacalah keseluruhan isi
Kitab Maleakhi sebagai cara terbaik untuk mengetahui permasalahan sesungguhnya
dan gejolak emosional di dalamnya). Ibadah yang hampir tidak berdampak pada
kehidupan sosial.
Ø
Ayat 13-15: “Bicaramu kurang ajar
tentang Aku, firman TUHAN. Tetapi kamu berkata: “Apakah kami
bicarakan di antara kami tentang Engkau?” Kamu berkata: “Adalah sia-sia beribadah
kepada Allah. Apakah untungnya kita memelihara apa yang harus dilakukan terhadap-Nya
dan berjalan dengan pakaian berkabung di hadapan TUHAN semesta
alam?” Oleh sebab itu kita ini menyebut berbahagia orang-orang yang
gegabah: bukan saja mujur orang-orang yang berbuat
fasik itu, tetapi dengan mencobai Allahpun, mereka luput juga.”.
Ada dua persoalan para imam dalam ayat ini: kepura-puraan dan
menggiring umat untuk melupakan perjanjian dengan Allah. Seolah-olah mereka
tidak sadar atas perkataan yang telah diucapkan sehingga dapat berkelit
sedemikian rupa. Setiap orang akan diminta pertangungan jawab atas firman yang
diucapkan, oleh karenanya berhati-hatilah selalu. Yang lebih menyedihkan, para imam
yang harusnya berfungsi untuk menguatkan keimanan dan pengharapan spiritualitas
umat, tapi yang terjadi malah mereka yang menggerus iman dan pengharapan umat
sedikit demi sedikit sedemikian meyakinkan. Bukankah menanamkan rasa pesimis
adalah awal dari keterpurukan itu sendiri? Kata-kata “kurang ajar”
yang dimaksudkan dalam ayat ini mungkin merujuk kepada 2:17, di mana Israel
memutarbalikkan perspektif Allah tentang yang benar dan yang salah. Pada ayat
14, bahkan mereka menggiring umat untuk memandang bahwa ibadah adalah suatu kesia-siaan
semata, sesuatu yang tidak menghasilkan apa-apa dan tak memiliki harapan!
(Baker, 2006:293). Coggins dan Han (2011:221) dengan tegas mengatakan bahwa
ketiga ayat ini merupakan pengingat yang baik bagi kita untuk selalu terjaga
terhadap setiap perkataan siapapun, termasuk perkataan para imam dan
orang-orang saleh, tidak mudah terlena dan mengaminkan segalanya tetapi tetap kritis
dan mencari tahu kekesuaiannya dengan apa yang Tuhan inginkan dan nyatakan.
Ø
Ayat 16-18: Beginilah berbicara satu
sama lain orang-orang yang takut akan TUHAN: “TUHAN memperhatikan dan
mendengarnya; sebuah kitab peringatan ditulis di hadapan-Nya
bagi orang-orang yang takut akan TUHAN dan bagi orang-orang yang
menghormati nama-Nya.” Mereka akan menjadi milik kesayangan-Ku sendiri,
firman TUHAN semesta alam, pada hari yang Kusiapkan. Aku akan mengasihani mereka
sama seperti seseorang menyayangi anaknya yang melayani dia. Maka
kamu akan melihat kembali perbedaan antara orang benar dan orang fasik,
antara orang yang beribadah kepada Allah dan orang yang tidak beribadah
kepada-Nya.
Ketiga ayat ini sangat
kontras dengan ketiga ayat sebelumnya, bila di atas disuarakan bagaimana Allah
yang begitu murka dengan ketidakbenaran dan kebohongan-kebohongan dalam ibadah,
tetapi pada ketiga ayat ini yang ditawarkan Allah adalah restorasi atau pemulihan.
Kalau kita periksa naskah aslinya, awal ayat 16 dimulai dengan kata “az”, yang dapat diartikan “lalu”, hal
tersebut mengindikasikan ada perubahan fokus narasi pada bagian yang
mengikutinya. Ada penghiburan bagi komunitas yang memilih untuk berbeda dari
kebanyakan orang, kelompok ini terdiri dari orang-orang yang
takut akan Allah (disebutkan dua kali dalam ayat 16), yaitu mereka yang
menunjukkan rasa kagum dan hormat yang pantas bagi Allah dan jalan-Nya. Menurut
saya termasuk pula mereka yang menyuarakan damai, yang mengingatkan bahwa
ikatan “satu bapa” dan “satu Allah” (2:10) sebagai dasar kebersamaan untuk
Israel yang lebih baik. Terlepas nuansa partikularis yang masih melekat pada
diri keisraelan pada masa itu, tetapi cita-cita untuk menghadirkan kedamaian
dengan mengingatkan bahwa kita semua merupakan milik Tuhan yang sama di bumi
yang satu pula adalah langkah maju untuk hidup bersama. Tidak ada tempat bagi
kaum ekslusivis dan radikalis, peradaban kita sudah lebih maju.
Dalam konteks periode Persia pada masa itu,
penghargaan tinggi terhadap “Yang Disembah” juga dimiliki oleh bangsa-bangsa
lainnya, tetapi yang dilakukan para imam Israel sudah sangat keterlaluan dengan
menunjukkan penghinaan terhadap ritus dan Allah (Baker, 2006:296). “Pada hari yang Kusiapkan”
(ayat 17), mungkin
merujuk pada hari kedatangan-Nya, saat penghakiman bagi orang-orang yang menghina-Nya (bnd. 3:2). Yang pasti pada saat keadilan
ditegakkan, menjadikan orang-orang setia sebagai “milik kesayangan-Ku sendiri”
(ayat 17), restorasi telah diwartakan dan akan terjadi. Perbaikan ini bukan
hanya untuk kehidupan Bait Allah saja, tetapi merupakan gerakan awal untuk
pemulihan semua aspek kehidupan umat Allah.
Allah menyatakan tindakannya, menyelamatkan
orang-orang dengan rasa kasihan, belas kasih, dan rahmat-Nya dari hukuman yang
harusnya menjadi bagian mereka sebagai pelanggar perjanjian. Meskipun mereka
secara de facto telah menyangkal
hubungan perjanjian ayah-anak antara mereka dan Tuhan dengan tidak memberikan
kepada Allah kehormatan. Allah mengorbankan persasaan-Nya, suatu hal
yang dibutuhkan untuk sebuah pemulihan hubungan.
Ayat 18 berbicara
tentang ibadah yang benar adalah sesuatu yang terlihat bukan saja dalam
kekhusukan dan ketaatan penuh dalam ritus dan penyembahan di ruang-ruang tertutup,
tetapi ia merupakan bentuk moralitas yang harus ditunjukkan dalam setiap
dimensi kehidupan. Aktualisasi moralitas yang baik itu menjadi kesaksian bagi
setiap siapa yang memandangnya mengetahui bahwa ia adalah bagian dari komunitas
yang taat terhadap perjanjian dan kasih karunia Tuhan.
Refleksi dan Aplikasi
Gottwaldt (1987:510-511)
dalam akhir pembahasannya tentang Kitab Maleakhi mengatakan bahwa “pesan dari
pemberitaan ini jelas untuk mendorong penggantian para imam yang nyata-nyata
terbukti korupsi, reformasi yang sebesar-besarnya bagi institusi Bait Suci!”
Wah, sesuatu yang pasti tidak ingin didengar oleh mereka yang memiliki status quo di institusi yang kita cintai
bersama: gereja. Saya mengikuti beberapa grup media sosial yang di antaranya
membahas dan mewartakan sisi-sisi hidup bergereja. Banyak yang baik, tetapi
tidak dapat dikatakan sedikit pula yang mendukakan hati. Di beberapa tempat
terjadi pergolakan internal yang serius, penyebabnya dalam pengamatan saya selalu
saja di seputar dua hal: uang dan kekuasaan (semoga saya salah). Dengan fakta
yang terpapar itu membuat lahirlah pertanyaan, apakah begini model eklesiologi
yang Tuhan inginkan? Bukankah gereja adalah institusi yang harusnya dibangun
sebagai estalase yang baik untuk menjadi tiruan keidealan kehidupan bersama?
Saya tidak mengatakan
bahwa persoalan ini muncul hanya dari kalangan para imam, tetapi imam yang
tidak mewartakan kebenaran dan pengharapan di dalam hidup bergereja janganlah
kita meletakkan harapan terlalu besar pada mereka untuk dapat mendatangkan
damai sejahtera bagi kehidupan yang lebih luas. Tidak ada yang lebih buruk dari
pada orang-orang yang mengatasnamakan Yang Maha Suci untuk kepentingan dan
kepuasan diri sendiri.
Ibadah yang benar
adalah sesuatu yang mengedepankan kebenaran dan kejujuran dalam praktiknya,
ritual dan organisasi. Tidak hanya sampai di sana, ibadah tidak hanya
tersembunyi di dalam gedung-gedung gereja dan komunitas Kristen saja, tetapi
harus ditampakkan dalam setiap dimensi kehidupan dimana orang percaya
mengaktualisasikan imannya: di ruang-ruang kerja, keluarga, di gedung DPR, di
Rumah Sakit, di ruang persidangan, di Kantor Sinode, pada transaksi ekonomi, di
jalan raya, dan seterusnya. Restorasi dimulai dari kehidupan bergereja yang
baik, menjalar kepada kehidupan desa, kota, dan bangsa.
Pustaka
Barth,
Christoph. Theologia Perjanjian Lama 4,
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001).
Coggins, Richard
dan Jin H. Han. Six Minor Prophets,
(Blackwell’s Publishing, 2011).
Eissfeldt,
Otto. The Old Testament: An Introduction,
(New York: Harper and Row, 1966).
Gottwald,
Norman. The Hebrew Bible,
(Philadelphia: Fortress Press, 1987).
Childs,
Brevard. Introduction to the Old
Testament as Scripture, (Philadelphia: Fortress Press, 1980).
Baker,
David. Joel, Obadiah, Malachi: NIV Application Commentary, (Michigan:
Grand Rapids, 2006).
Hinson,
David. Sejarah Israel Pada Zaman Alkitab,
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar