|
Sepasang
bocah lugu tampak berjalan perlahan memasuki ruang panggung drama yang dikemas
dengan temarang seadanya. Sambil memegang sebatang tongkat – yang sepertinya
baru saja diambil dari dahan pohon yang ada di belakang gereja – terlihat
sedikit canggung sang pemeran laki-laki itu berusaha untuk memapah pasangannya
yang berjalan tertatih-tatih. Panggung drama malam itu ditata sedemikian
layaknya susana sebuah kota kecil di Timur Tengah pada masa abad permulaan, di
gerbangnya tertulis jelas: Betlehem.
Mereka
pun mulai mencari tempat untuk bersalin, mengetuk pintu dari satu penginapan ke
penginapan yang lain. Memang, saat itu adalah masa high season,[1]
seluruh penginapan penuh, sehingga hanya ada satu kalimat yang selalu mereka
dapatkan: “Maaf, penginapan kami penuh, silakan cari di tempat lain...”
Lalu
ke manakah kita selanjutnya? Raut wajah pemeran ibu yang sedang mengandung itu
semakin menunjukkan bahwa waktu bersalin yang sudah semakin dekat. Malam itu
tidak ada pilihan lain lagi: kandang domba adalah tempatnya. Rekaman suara
tangis bayi memecah sunyinya malam, tiba-tiba saja sekumpulan anak lain dengan
wajah yang dilumuri buah kemiri bakar dan pakaian compang-camping berlari
tergesa berdatangan dari berbagai arah berkerumun, merekalah para gembala! Saksi pertama kelahiran
“Sang Penyelamat Dunia”.
*******
Rekaan
tersebut adalah salah satu adegan paling berkesan bagi saya dalam sebuah drama
natal Sekolah Minggu di suatu gereja kecil, di desa yang kecil pula, sangat
bersahaja. Sepasang anak manu-sia “mencarikan tempat” bagi Sang Juruselamat,
tetapi tampaknya dunia tidak bisa menerimanya begitu saja, mengapa? Injil Lukas
mencatat, “...karena tidak ada tempat bagi mereka...” (Lukas 6:7).
Baiklah,
sebelum kita lebih jauh melangkah, mungkin pertanyaan mendasar yang sebelumnya
sangat penting untuk kita jawab adalah: Apakah sesungguhnya natal, dan
bagaimanakah kita dapat
memaknainya?
Mengutip apa yang dikatakan seorang pemikir Kristen Asia yang terkenal, ia
menggambarkan dengan baik bahwa Natal adalah deklarasi sekaligus
pengimplementasian (perwujudan nyata) “penderitaan” Allah atas derita dosa
yang sedang dialami oleh manusia. Natal adalah pelukisan sosok Allah yang tidak
merasa nyaman dengan penderitaan kita, bahkan Ia juga turut merasa menderita
karenanya. Natal menunjukkan bahwa Allah tidak hanya “menatap” tangisan kita
dari kejauhan-Nya, tetapi juga hadir merangkul kita dalam ke-empati-an yang
dalam, bahkan turut menangis bersama setiap insan.
Logika
paling sederhana sekalipun pasti akan mengira bahwa layaknyalah seorang “Putera
Mahkota” akan dilahirkan di sebuah Istana yang megah, atau setidaknya di suatu
tempat yang telah dipersiapkan bagi kehadirannya. Itulah mungkin sebabnya
sehingga para Majus yang datang jauh-jauh dari Persia (sekarang Iran), walau
mereka telah melihat dari jauh kira-kira di mana letak “Bintang Timur” yang
mereka cari itu, namun mereka tetap saja bersikeras untuk singgah ke Istana Raja
Herodes. Tentu saja alasan-nya sederhana: Sang Putera Mahkota layaknyalah lahir
di tempat yang penuh dengan kemegahan, dalam hal ini adalah Istana Herodes.
Namun ternyata mereka salah, Sang Raja itu tidak memilih istana untuk menjadi
“palungannya”, tetapi Ia lahir di sebuah kandang, di sudut kota kecil bernama
Betlehem. Natal yang pertama itu hadir bukan di tengah-tengah kemewahan dan
gemerlap sorak-sorai, tetapi ia hadir di kebersahajaan bahkan dalam kemiskinan
yang sungguh.
*******
Mari
kita kembali kepada kisah natal di awal tulisan ini, menolehkan wajah kepada
saksi pertama Sang Penyelamat Dunia, “para gembala”. Siapakah para gembala ini?
Pada zaman Tuhan Yesus, domba menjadi komoditi penting dalam ritual keagamaan
Yahudi. Domba adalah hewan kurban persembahan umum yang digunakan di Bait Suci,
sehingga bisa dibayangkan betapa penting sekali untuk selalu dijamin
ketersediaannya. Dan untuk itu biasanya para Pengurus Bait Suci memiliki usaha
ternak domba, dan mereka memekerjakan gembala-gembala untuk mengurus
domba-domba tersebut.
Namun
di situ pulalah letak ironinya, di mata para Pemuka Agama Yahudi ketika itu,
gembala malah merupakan profesi yang dipandang hina. Sebab karena kesibukan
mengurus ternak, para gembala menjadi sangat jarang terlibat dalam seremoni
agama di Bait Suci. Mereka juga kerap mengesampingkan aturan baku agama
Yahudi, seperti mencuci tangan dan berpuasa. Karena itu gembala dipandang
sejajar dengan orang kafir dan sampah masyarakat!
Namun
ini pulalah yang telah terjadi: kepada mereka yang disisihkan, dianggap kafir,
dan sampah masyarakat tersebutlah berita Kelahiran Bayi Kristus pertama kali
disampaikan. Walau seperti apa yang kita ketahui bahwa telah berabad-abad
lamanya orang-orang menanti-nantikan kelahiran Mesias ini, Nabi-nabi besar
telah menubuatkan-Nya, semua umat menyanyikan penantian itu dalam banyak
kidung pengharapan di Bait Allah beratus-ratus tahun lamanya, para penguasa
berharap bahwa wangsanya sebagai bagian kedatangan Sang Anak Manusia itu, tetapi
pada kenya-taannya bukanlah bagi mereka diberikan anugerah tersebut. Tetapi
yang dipilih Bapa untuk merasakan “hangat”-nya natal pertama nan Agung
tersebut adalah: Para Gembala! Mereka yang hina dan yang terpinggirkan.
Dengan
demikian Natal yang kita selalu peringati dan rayakan pada bulan terakhir tiap
tahunnya sesungguhnya merupakan tindakan kepedulian Allah terhadap mereka yang
tersisih dan yang terpinggirkan. Natal itu adalah turun tangan Allah bagi
setiap siapapun mereka yang selama ini “tidak masuk hitungan” dalam masyarakat,
terlupakan, atau kehadirannya tidak begitu diharapkan.
*******
Bagaimanakah
dengan penghayatan perayaan Natal kita pada tahun-tahun belakangan ini? Yang
paling mudah untuk dilihat adalah bagaimana kita begitu nyamannya terjatuh dan
selalu terjatuh dalam komersialisasi Natal. Natal dengan segala kesibukannya,
Natal yang menjadi kurang mendapat arti tanpa dana yang tidak sedikit, Natal
tentang sukacita atas keselamatan berubah menjadi kegembiraan karena hadiah
dan pernak-pernik Natal, Natal dan Hotel Berbintang, Natal dan gengsi
kemeriahan, dan banyak lagi. Untuk itu tampaknya baiklah kita merenungkan apa
yang pernah di katakan oleh seorang sahabat dalam
sebuah sambutan Natal: “Seharusnya kita menghindari perayaan (Natal) ini dalam
kera-maian bersuasana gemerlapan dan kemewahan. Apakah yang dibisikkan oleh
hati nurani kalau kita sekarang duduk di tengah segala kemewahan, padahal yang
sedang kita rayakan adalah kelahiran seorang bayi dalam sebuah keluarga yang sederhana
dan miskin?”
Orientasi
ini yang menurut hemat saya harus mulai kita perbaiki, dan belum terlam-bat,
yaitu memaknai Natal dengan sesuatu yang me-nunjukkan “keberpihakan” kita
terhadap apa yang telah Bapa lakukan melalui peristiwa Natal: Solidaritas
Allah kepada yang terpinggirkan, tersisihkan, dan yang terlupakan.
Di
mana kita dapat menemukan keberadaan mereka yang sedemikian? Tidak per-lu
berlelah-lelah, mereka sebenarnya ada di antara kita, hanya saja kita sudah
terlalu lama “memunggungi” sehingga kita tidak menyadari keberadaan itu. Mungkin
mereka itu adalah seorang penganggur
yang telah lama tidak memeroleh pekerjaan, seorang anak yang dianggap tidak
berguna karena meninggalkan bangku sekolah, ibu miskin separuh baya yang ingin
sekali bersekutu dengan Tuhan di gereja tapi tidak mungkin bisa karena
berbulan-bulan terbaring sakit, perempuan tua yang menantikan anak tunggalnya
yang tak kunjung pulang bertahun lamanya, gadis dipabel yang selalu memilih
duduk di sisi paling belakang gereja karena merasa rendah diri di hadapan teman
sebaya, petugas parkir yang melewatkan
malam Natal tanpa bersama isteri dan kedua puteri kecilnya karena harus
mengatur mobil mewah jemaat yang mengikuti perjamuan Natal malam itu, dan masih
banyak lagi. Bukankah Natal seharusnya diperuntukkan bagi mereka?
Sekali
lagi penting untuk diingatkan, keberpihakan kita terhadap tindakan yang Bapa
lakukan melalui peristiwa Natal, yaitu solidaritas terhadap mereka-mereka yang
terpinggirkan dan yang terlupakan adalah cara terbaik kebersujudan kita di
hadapan Bayi yang Kudus.
*******
Malam ini, di pentas yang lain – juga di drama Natal
Sekolah Minggu – sekilas saya melihat
kalender di dinding gereja, ternyata tahun 2014. Di kandang domba kembali
terdengar tangis bayi yang memecah malam, namun kali ini yang datang bukan lagi
para gembala, tetapi tampak bergegas
seorang pria penganguran, seorang anak putus sekolah, seorang ibu separuh baya
yang masih terlihat pucat, nenek tua yang merindukan anak tunggalnya, bapak
penjaga parkir, seorang gadis dipabel yang manis, gadis mungil peminta-minta
yang belum makan dua hari, dan beberapa orang lain yang sama sekali tidak
berpakaian bagus. Dalam ketulusan mereka bersama bersujud, tetapi di
wajah-wajah itu juga tampak kedamaian yang sangat, karena mereka sungguh
mengerti: bahwa Natal ini diperuntukkan
bagi mereka.
[1] Seperti yang kita ketahui,
bahwa pada saat itu Kaisar Agustus telah memerintahkan semua orang untuk
mendaftarkan diri ke kotanya masing-masing (Lukas 2:1), termasuk Yusuf dan
Maria. Ada sensus penduduk besar-besaran. Selanjutnya peristiwa seperti ini terjadi
setiap 14 tahun sekali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar