Sabtu, 08 November 2014

NATAL, Untuk Siapa...???




Sepasang bocah lugu tampak berjalan perlahan memasuki ruang panggung drama yang dikemas dengan temarang seadanya. Sambil memegang sebatang tongkat – yang sepertinya baru saja diambil dari dahan pohon yang ada di belakang gereja – terlihat sedikit canggung sang pemeran laki-laki itu berusaha untuk memapah pasangannya yang berjalan tertatih-tatih. Panggung drama malam itu ditata sedemikian layaknya susana sebuah kota kecil di Timur Tengah pada masa abad permulaan, di gerbangnya tertulis jelas: Betlehem.
Mereka pun mulai mencari tempat untuk bersalin, mengetuk pintu dari satu penginapan ke penginapan yang lain. Memang, saat itu adalah masa high season,[1] seluruh penginapan penuh, sehingga hanya ada satu kalimat yang selalu mereka dapatkan: “Maaf, penginapan kami penuh, silakan cari di tempat lain...”

Lalu ke manakah kita selanjutnya? Raut wajah pemeran ibu yang sedang mengandung itu semakin menunjukkan bahwa waktu bersalin yang sudah semakin dekat. Malam itu tidak ada pilihan lain lagi: kandang domba adalah tempatnya. Rekaman suara tangis bayi memecah sunyinya malam, tiba-tiba saja sekumpulan anak lain dengan wajah yang dilumuri buah kemiri bakar dan pakaian compang-camping berlari tergesa berdatangan dari berbagai arah berkerumun, merekalah para gembala! Saksi pertama kelahiran “Sang Penyelamat Dunia”.
*******
Rekaan tersebut adalah salah satu adegan paling berkesan bagi saya dalam sebuah drama natal Sekolah Minggu di suatu gereja kecil, di desa yang kecil pula, sangat bersahaja. Sepasang anak manu-sia “mencarikan tempat” bagi Sang Juruselamat, tetapi tampaknya dunia tidak bisa menerimanya begitu saja, mengapa? Injil Lukas mencatat, “...karena tidak ada tempat bagi mereka...” (Lukas 6:7).
Baiklah, sebelum kita lebih jauh melangkah, mungkin pertanyaan mendasar yang sebelumnya sangat penting untuk kita jawab adalah: Apakah sesungguhnya natal, dan bagaimanakah kita dapat
memaknainya? Mengutip apa yang dikatakan seorang pemikir Kristen Asia yang terkenal, ia menggambarkan dengan baik bahwa Natal adalah deklarasi sekaligus pengimplementasian (perwujudan nyata) “penderitaan” Allah atas derita dosa yang sedang dialami oleh manusia. Natal adalah pelukisan sosok Allah yang tidak merasa nyaman dengan penderitaan kita, bahkan Ia juga turut merasa menderita karenanya. Natal menunjukkan bahwa Allah tidak hanya “menatap” tangisan kita dari kejauhan-Nya, tetapi juga hadir merangkul kita dalam ke-empati-an yang dalam, bahkan turut menangis bersama setiap insan.
Logika paling sederhana sekalipun pasti akan mengira bahwa layaknyalah seorang “Putera Mahkota” akan dilahirkan di sebuah Istana yang megah, atau setidaknya di suatu tempat yang telah dipersiapkan bagi kehadirannya. Itulah mungkin sebabnya sehingga para Majus yang datang jauh-jauh dari Persia (sekarang Iran), walau mereka telah melihat dari jauh kira-kira di mana letak “Bintang Timur” yang mereka cari itu, namun mereka tetap saja bersikeras untuk singgah ke Istana Raja Herodes. Tentu saja alasan-nya sederhana: Sang Putera Mahkota layaknyalah lahir di tempat yang penuh dengan kemegahan, dalam hal ini adalah Istana Herodes. Namun ternyata mereka salah, Sang Raja itu tidak memilih istana untuk menjadi “palungannya”, tetapi Ia lahir di sebuah kandang, di sudut kota kecil bernama Betlehem. Natal yang pertama itu hadir bukan di tengah-tengah kemewahan dan gemerlap sorak-sorai, tetapi ia hadir di kebersahajaan bahkan dalam kemiskinan yang sungguh.
*******
Mari kita kembali kepada kisah natal di awal tulisan ini, menolehkan wajah kepada saksi pertama Sang Penyelamat Dunia, “para gembala”. Siapakah para gembala ini? Pada zaman Tuhan Yesus, domba menjadi komoditi penting dalam ritual keagamaan Yahudi. Domba adalah hewan kurban persembahan umum yang digunakan di Bait Suci, sehingga bisa dibayangkan betapa penting sekali untuk selalu dijamin ketersediaannya. Dan untuk itu biasanya para Pengurus Bait Suci memiliki usaha ternak domba, dan mereka memekerjakan gembala-gembala untuk mengurus domba-domba tersebut.
Namun di situ pulalah letak ironinya, di mata para Pemuka Agama Yahudi ketika itu, gembala malah merupakan profesi yang dipandang hina. Sebab karena kesibukan mengurus ternak, para gembala menjadi sangat jarang terlibat dalam seremoni agama di Bait Suci. Mereka juga kerap mengesampingkan aturan baku agama Yahudi, seperti mencuci tangan dan berpuasa. Karena itu gembala dipandang sejajar dengan orang kafir dan sampah masyarakat!
Namun ini pulalah yang telah terjadi: kepada mereka yang disisihkan, dianggap kafir, dan sampah masyarakat tersebutlah berita Kelahiran Bayi Kristus pertama kali disampaikan. Walau seperti apa yang kita ketahui bahwa telah berabad-abad lamanya orang-orang menanti-nantikan kelahiran Mesias ini, Nabi-nabi besar telah menubuatkan-Nya, semua umat menyanyikan penantian itu dalam banyak kidung pengharapan di Bait Allah beratus-ratus tahun lamanya, para penguasa berharap bahwa wangsanya sebagai bagian kedatangan Sang Anak Manusia itu, tetapi pada kenya-taannya bukanlah bagi mereka diberikan anugerah tersebut. Tetapi yang dipilih Bapa untuk merasakan “hangat”-nya natal pertama nan Agung tersebut adalah: Para Gembala! Mereka yang hina dan yang terpinggirkan.
Dengan demikian Natal yang kita selalu peringati dan rayakan pada bulan terakhir tiap tahunnya sesungguhnya merupakan tindakan kepedulian Allah terhadap mereka yang tersisih dan yang terpinggirkan. Natal itu adalah turun tangan Allah bagi setiap siapapun mereka yang selama ini “tidak masuk hitungan” dalam masyarakat, terlupakan, atau kehadirannya tidak begitu diharapkan.
*******
Bagaimanakah dengan penghayatan perayaan Natal kita pada tahun-tahun belakangan ini? Yang paling mudah untuk dilihat adalah bagaimana kita begitu nyamannya terjatuh dan selalu terjatuh dalam komersialisasi Natal. Natal dengan segala kesibukannya, Natal yang menjadi kurang mendapat arti tanpa dana yang tidak sedikit, Natal tentang sukacita atas keselamatan berubah menjadi kegembiraan karena hadiah dan pernak-pernik Natal, Natal dan Hotel Berbintang, Natal dan gengsi kemeriahan, dan banyak lagi. Untuk itu tampaknya baiklah kita merenungkan apa yang pernah di katakan oleh seorang sahabat dalam sebuah sambutan Natal: “Seharusnya kita menghindari perayaan (Natal) ini dalam kera-maian bersuasana gemerlapan dan kemewahan. Apakah yang dibisikkan oleh hati nurani kalau kita sekarang duduk di tengah segala kemewahan, padahal yang sedang kita rayakan adalah kelahiran seorang bayi dalam sebuah keluarga yang sederhana dan miskin?”
Orientasi ini yang menurut hemat saya harus mulai kita perbaiki, dan belum terlam-bat, yaitu memaknai Natal dengan sesuatu yang me-nunjukkan “keberpihakan” kita terhadap apa yang telah Bapa lakukan melalui peristiwa Natal: Solidaritas Allah kepada yang terpinggirkan, tersisihkan, dan yang terlupakan.
Di mana kita dapat menemukan keberadaan mereka yang sedemikian? Tidak per-lu berlelah-lelah, mereka sebenarnya ada di antara kita, hanya saja kita sudah terlalu lama “memunggungi” sehingga kita tidak menyadari keberadaan itu. Mungkin mereka itu adalah seorang  penganggur yang telah lama tidak memeroleh pekerjaan, seorang anak yang dianggap tidak berguna karena meninggalkan bangku sekolah, ibu miskin separuh baya yang ingin sekali bersekutu dengan Tuhan di gereja tapi tidak mungkin bisa karena berbulan-bulan terbaring sakit, perempuan tua yang menantikan anak tunggalnya yang tak kunjung pulang bertahun lamanya, gadis dipabel yang selalu memilih duduk di sisi paling belakang gereja karena merasa rendah diri di hadapan teman sebaya,  petugas parkir yang melewatkan malam Natal tanpa bersama isteri dan kedua puteri kecilnya karena harus mengatur mobil mewah jemaat yang mengikuti perjamuan Natal malam itu, dan masih banyak lagi. Bukankah Natal seharusnya diperuntukkan bagi mereka?
Sekali lagi penting untuk diingatkan, keberpihakan kita terhadap tindakan yang Bapa lakukan melalui peristiwa Natal, yaitu solidaritas terhadap mereka-mereka yang terpinggirkan dan yang terlupakan adalah cara terbaik kebersujudan kita di hadapan Bayi yang Kudus.
*******
Malam ini, di pentas yang lain – juga di drama Natal Sekolah Minggu – sekilas  saya melihat kalender di dinding gereja, ternyata tahun 2014. Di kandang domba kembali terdengar tangis bayi yang memecah malam, namun kali ini yang datang bukan lagi para gembala, tetapi tampak bergegas seorang pria penganguran, seorang anak putus sekolah, seorang ibu separuh baya yang masih terlihat pucat, nenek tua yang merindukan anak tunggalnya, bapak penjaga parkir, seorang gadis dipabel yang manis, gadis mungil peminta-minta yang belum makan dua hari, dan beberapa orang lain yang sama sekali tidak berpakaian bagus. Dalam ketulusan mereka bersama bersujud, tetapi di wajah-wajah itu juga tampak kedamaian yang sangat, karena mereka sungguh mengerti: bahwa Natal ini  diperuntukkan bagi mereka.  


[1] Seperti yang kita ketahui, bahwa pada saat itu Kaisar Agustus telah memerintahkan semua orang untuk mendaftarkan diri ke kotanya masing-masing (Lukas 2:1), termasuk Yusuf dan Maria. Ada sensus penduduk besar-besaran. Selanjutnya peristiwa seperti ini terjadi setiap 14 tahun sekali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar