Kamis, 23 Oktober 2014

SEKSUALITAS



(Suatu tinjauan Teologis Alkitabiah terhadap Seksualitas)
I. Pengertian
Ada tiga istilah berkaitan dengan “seks” yang penggunaannya hampir sama dan bahkan kadang tumpang tindih, yakni seks, gender dan “seksualitas”. Ketiga istilah ini memang memiliki beberapa kesamaan. Kesamaan yang paling menonjol adalah bahwa ketiganya membicarakan mengenai “jenis kelamin”. Perbedaannya adalah: seks lebih ditekankan pada keadaan anatomis manusia yang kemudian memberi “identitas” kepada yang bersangkutan. Jika seks adalah jenis kelamin fisik, maka gender adalah “jenis kelamin sosial” yang identifikasinya bukan karena secara kodrati sudah given (terberikan), melainkan lebih karena konstruksi sosial (satpam dan sekretaris adalah dua contoh ekstrem mengenai gender, jenis kelamin sosial akibat dikonstruksi masyarakat).
Sedangkan “seksualitas” lebih luas lagi maknanya mencakup tidak hanya seks, tapi bahkan kadang juga gender. Jika seks mendefinisikan jenis kelamin fisik hanya pada “jenis” laki-laki dan perempuan dengan pendekatan anatomis, maka seksualitas berbicara lebih jauh lagi, yakni adanya bentuk-bentuk lain di luar itu, termasuk masalah norma. Jika seks berorientasi fisik-anatomis dan gender berorientasi sosial, maka seksualitas adalah kompleksitas dari dua jenis orientasi sebelumnya, mulai dari fisik, emosi, sikap, bahkan moral dan norma-norma sosial.[1] Seksualitas menyangkut berbagai dimensi yang sangat luas, yaitu dimensi biologis, sosial, psikologis, dan kultural.

Sesuai dengan judul yang diberikan oleh Panitia Pertemuan ini, maka kita akan berbicara pengertian yang disebutkan terakhir tersebut dalam persfektif Alkitabiah. Akibat langsung dari pengeksploitasian sepanjang sejarah kehidupan manusia terhadap topik ini maka terjadinya pereduksian pengertian manusia terhadap seksualitas. Seksualitas dianggap sebagai sesuatu yang biologis-fisik semata, sehingga maknanya hanya terfokus pada hubungan badan atau persetubuhan antara pria dan wanita.[2]
Dalam kitab Kejadian kita melihat bahwa masalah seksualitas manusia itu berkaitan erat dengan penciptaan Adam dan Hawa. Diciptakannya perbedaan jenis ini merupakan anugerah Allah yang diberikan kepada manusia sesuai dengan tugasnya dalam menjalankan misi hidup manusia di dunia ini. Adanya dua jenis kelamin dan sifat-sifat perkelaminan (seksualitas) bukanlah akibat dari dosa seperti yang dipandang oleh faham-faham (atau pribadi) tertentu,[3] tetapi seksualitas adalah bagian dari proses penciptaan Allah yang pada dasarnya baik adanya! Memang kejatuhan manusia dalam dosa telah menyimpangkan maksud-maksud yang baik itu dan menjerumuskan manusia pada maksud-maksud yang tidak baik, maka tugas kita saat ini adalah mengembalikan penyimpangan seksualitas itu pada hakekat seksualitas yang benar.
II. Pandangan Perjanjian Lama
Pernyataan Perjanjian Lama khususnya Kitab Kejadian telah mengandung pemahaman orisinal manusia mengenai perbedaan jenis kelamin. Heteroseksual manusia dipandang sebagai karya pencipta. Allah menciptakan manusia menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia laki-laki dan perempuan (Kejadian 1:27). Pada saat bersamaan teks ini berbicara tentang manusia sebagai gambaran Allah dan sebagai dua jenis kelamin. Allah menciptkan manusia itu dari dua jenis kelamin yang berbeda dan perbedaan itu menunjukkan bahwa Allah menciptakan manusia itu menjadi mahluk yang seksual, artinya bahwa manusia itu dapat mengembangkan kepribadian dan mengalami sukacita, manusia boleh saling berbagi, saling melayani dan saling membangun demi berkembangnya sosial dan kepribadian. Dalam seksualitas, laki-laki dan perempuan bukanlah subjek dan objek yang dikontrol orang lain tidak ada dominasi. Dalam seksualitas, Allah telah membuat laki-laki dan perempuan bermartabat dan sederajat.
Tujuan seksualitas dalam Perjanjian Lama adalah prokreasi (Kejadian 1:28) dan mitra kerja atau penolong (Kejadian 2:18). Tujuan pertama mengungkapkan tugas dan berkat, sedangkan tujuan kedua mengungkapkan saling memiliki dan mengisi.[4] Manusia diciptakan sebagai makluk seksual. Dimensi seksualitas ini tidak dapat dilepas-pisahkan dari sejarah hidup manusia. Aktivitas seksual ini yang memungkinkan kehidupan manusia tetap berlangsung. Oleh karena itu seksualitas itu sendiri suci dan mulia sebab ditempatkan dalam kerangka partisipasi manusia di dalam karya penciptaan Allah (co-creator Dei).
Dalam Kejadian 2 digambarkan bahwa TUHAN Allah pertama-tama menciptakan manusia (=Adam) seorang diri. Karena itulah maka TUHAN bersabda, “TUHAN Allah berfirman: “Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia.” (Kejadian 2:18) Maka TUHAN pun membentuk dari tanah segala binatang untuk menemani manusia. Namun ternyata manusia masih tetap merasa kesepian karena binatang-binatang itu ternyata bukanlah penolong yang sepadan baginya. Karena itulah maka TUHAN membuat manusia tertidur dan kemudian menciptakan Hawa (=kehidupan) baginya.
Semua ciptaan Allah disebut baik, tetapi kesepian Adam yang tidak mempunyai pasangan oleh Allah disebut tidak baik”. Maka Allah menciptakan manusia sebagai lelaki dan perempuan. Hawa diciptakan untuk menemani Adam; hubungan heteroseksual antara mereka sangat berarti dan indah dalam pola ciptaan Allah. Manusia pada fase kehidupannya sangat membutuhkan lawan seks baik dalam hal fisik, jiwa, kemasyarakatan, maupun kerohanian.[5]
Maksud Tuhan mengaruniakan Penolong yang sepadan” adalah agar kedua pasangan menjalin partnership, suatu kesatuan sejodoh yang terdiri dari pria dan wanita, sebagai teman hidup yang saling tolong-menolong, saling mengasihi dan saling melengkapi. Hal ini disebabkan adanya alasan bahwa tidaklah baik kalau manusia itu seorang diri saja (Kejadian 2:18-25). Jadi hakekat seksualitas manusia tidak bisa dipisahkan daripada maksud Tuhan agar terjadi persatuan hati dan persatuan kasih partnership antara kedua jodoh itu. Tuhan juga bermaksud agar seksualitas itu berfungsi menyatukan dan menjadi satu daging (Kejadian 2:24). Jadi bukan saja seksualitas diciptakan untuk kesatuan hati, tetapi juga untuk kesatuan badan (hubungan seksual).[6]
Berdasarkan kisah penciptaan ini, tidak terdapat unsur ketidaksederajatan di dalamnya. Untuk hidup berpasangan inilah seorang perempuan dan laki-laki bersedia meninggalkan orangtua mereka. Mereka mendirikan persekutuan yang mencapai puncaknya dalam saling serah diri, sehingga mereka menjadi satu daging. Dikatakan bahwa hubungan orisinal antara dua jenis kelamin adalah bebas dari rasa salah dan rasa malu (Kejadian 2:24). Akan tetapi keadaan bebas dari rasa bersalah dan rasa malu di taman Firdaus tersebut hilang ketika manusia jatuh ke dalam dosa.[7]
Perjanjian Lama juga selalu memperbincangkan hubungan seksualitas dengan pendidikan dan pengajaran terhadap anak-anak, dimana anak merupakan pusaka dan berkat dari Tuhan, dan orangtua bertanggung jawab penuh terhadap anak-anak mereka (Mazmur 127:1-5; 128:1-6; Ulangan 6:6-9). Sangat disayangkan bahwa banyak buku tentang seks yang mengabaikan aspek hubungan seksual ini. Kehamilan, kelahiran dan perawatan anak-anak menjadi beban dalam pernikahan yang tidak dapat dihindari. Perkembangbiakan telah ditentukan oleh Pencipta sebagai bagian dari seksualitas itu sendiri.
Contoh penting menyangkut sikap positif terhadap seksualitas dalam Perjanjian Lama di bagian lain adalah kenyataan bahwa para nabi kerap kali menggunakan analogi perkawinan untuk hubungan TUHAN dengan umat-Nya. Hubungan laki-laki dan perempuan menjadi analogi terbaik dari para nabi dalam menggambarkan hubungan Allah dengan manusia.[8] Dari sekian banyak hukum menyangkut bidang seksual, di antaranya memberikan norma moral yang bernilai tinggi, seperti hukum tentang bestialitas, inses, perkosaan, perceraian dan pelacuran baik yang dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan.[9]
Dari bagian Ketuvim (Tulisan, Puisi), Kitab Kidung Agung adalah contoh yang baik menggambarkan keterbukaan Kitab Suci terhadap kehidupan dan sisi seksualitas. Seperti yang kita ketahui bahwa Kitab ini adalah yang pertama dari lima gulungan (megillot) dalam kanon Ibrani yang digunakan dalam perayaan-perayaan, biasanya ditentukan untuk dibaca pada perayaan Paskah, karena pada penafsiran awal Yahudi sering sekali diartikan bahwa isi di dalamnya adalah sebagai kitab yang menggambarkan (analogi) kasih Allah untuk Israel. Seperti dalam penafsiran Targum Tradisional, kitab ini selalu dilihat permulaannya dengan pembebasan dari Mesir, bentuk keseluruhannya merupakan bagian-bagian liturgi yang dibacakan pada perayaan Paskah selama delapan hari.[10] Ketika kultus masyarakat (bahkan modern sekalipun) dalam beberapa komuni memandang tabu membicarakan seksualitas, namun Kidung Agung mengungkapkan keagungan sisi-sisi seksualitas sebagai bagian integral kehidupan umat Allah.
III. Pandangan Perjanjian Baru
Yesus memerlihatkan sikap wajar alami berhadapan dengan seksualitas, dan tidak memberikan tempat kepada sikap dualistik manikeistis. Yesus memerlakukan perempuan sama seperti laki-laki. Sejumlah perempuan menjadi murid dan sahabat-Nya (walaupun memang beberapa di antaranya tidak tercatat namanya).[11] Ia tidak membiarkan tradisi Yahudi menjadi penghalang bagi sikap-Nya terhadap perempuan, atau menjadi beban dalam pewartaan-Nya sebagai pembebas para perempuan. Dalam ajaran dan sikap-Nya, sama sekali tidak ada indikasi yang menunjukkan bahwa Ia bersikap negatif terhadap perempuan atau perkawinan. Namun tidak dapat disangkal bahwa Gereja perdana mengupayakan kontrol diri dan disiplin dalam kehidupan seksual.[12]
Dalam pengajaran-Nya, Yesus mengatakan bahwa yang dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan manusia (Markus 10:9). Persekutuan suami-isteri membuat mereka menjadi satu daging. Keduanya saling menghormati dan sama-sama menjaga kekudusan perkawinan karena siapapun yang melakukan zinah akan dihukum oleh Alllah, baik zinah secara badani maupun zinah di dalam hati (Matius 5:27-28). Yesus mengingatkan tujuan penciptaan laki-laki dan perempuan supaya keduanyan hidup dalam cinta kasih dan bahagia di dalam hubungan seksualitas. Sebagai manusia jasmaniah yang berlainan jenis dan sebagai manusia yang melayani dan menolong sesama, mereka punya tanggungjawab dalam bidang seksual. Mereka yang telah menjadi suami-isteri seharusnya meninggalkan ibu bapanya dan membentuk suatu persekutuan keluarga yang mencerminkan persekutuan Tuhan dengan manusia.[13] 
Peringatan untuk menghindari percabulan demi mengikuti Tuhan, melihat tubuh sebagai kenisah Roh Kudus sangat urgen dibutuhkan. Karena itu, penyembahan berhala yang sering berkaitan dengan perbuatan bejat, ketamakan dan percabulan mendapat tempat utama dalam katalog dosa. Dalam 1 Tesalonika 4:3-8 dikatakan bahwa kesucian yang dikehendaki Allah menuntut sikap menahan diri dan kemurnian dalam kehidupan pernikahan. Pasangan suami isteri diingatkan untuk saling setia dalam cinta. Nilai cinta dimuliakan dengan memberikan kesejajaran di antara ikatan Kristus dan Gereja dengan ikatan perkawinan. Laki-laki harus mencintai perempuan, dan sebaliknya perempuan harus mencintai laki-laki sebagaimana Kristus mencintai dan menyerahkan diri bagi Gereja.
Paulus pun mengakui kelemahan manusia: Sebab aku tahu, bahwa di dalam aku, yaitu di dalam aku sebagai manusia, tidak ada sesuatu yang baik. Sebab kehendak memang ada di dalam aku, tetapi bukan hal berbuat apa yang baik. Sebab bukan apa yang aku kehendaki, yaitu yang baik, yang aku perbuat, melainkan apa yang tidak aku kehendaki, yaitu yang jahat, yang aku perbuat (Roma 7:18-19). Dosa telah mempengaruhi seluruh kehidupan manusia. Manusia salah mempergunakan seks, sehingga seks seolah-olah merupakan hal yang berdosa. Namun penebusan Kristus di atas kayu salib menjamin pengampunan dosa kepada setiap orang percaya, baik tubuh maupun jiwa. Dalam hal ini, bahagian penebusan Kristus. Kasih dalam pernikahan orang Kristen (termasuk seks) oleh rasul Paulus, dipakai sebagai simbol penyatuan Kristus dan gereja-Nya (Efesus 5:30-32).
Banyak agama dan kebudayaan Timur yang menyangkal keindahan seks sebagai karya Allah. Mereka menganggap seks adalah najis dan merupakan suatu akibat dosa manusia. Berdasarkan keyakinan ini, mereka mengagungkan keperawanan dan pertapaan serta merendahkan pernikahan. Sedangkan menurut iman kepercayaan kita, kita percaya bahwa ciptaan Allah berlandaskan dua orde, yaitu orde penebusan dan orde pengudusan. Kedua orde ini berlaku atas tubuh dan jiwa. Apa yang telah dikuduskan dan disebut baik oleh Tuhan, hendaknya kita terima dengan pengucapan syukur dan kita hormati sebagai kasih karunia Tuhan (1Timoteus 4:3-4).
III. Akhirnya, sikap kita
Orang beriman akan memandang seksualitas sesuai dengan yang dikehendaki Allah, bahwa seksualitas tidak dapat dilepaskan dari kesatuan hati yang saling mengasihi dan juga kesatuan jasmani sebagai pernyataan kasih itu. Kenikmatan seksual bukanlah dosa sehingga dengan demikian dianggap perlu dibuang dan disembunyikan, tetapi merupakan anugerah Allah yang patut disyukuri yang diberikan kepada mereka yang menikah perlu dicatat bahwa kenikmatan seksual itu dinikmati sebagai penyalur dan manifestasi kasih antara suami-isteri untuk mewujudkan maksud “'sedaging” dalam menjalankan misi kekeluargaan yang diberikan Allah kepada manusia.
Memang harus diakui bahwa masih ada sebagian kecil gereja-gereja fundamentalism yang memandang seksualitas dengan nada sumbang. Etika seksual dan moralitas sering dipandang sebagai moral pribadi dan kesucian diri, tetapi kita perlu sadar bahwa soal-soal seksual dan moral adalah juga masalah sosial yang menutut kesaksian umat Kristen untuk menghasilkan Etika Seksual yang seturut dengan Kehendak Allah!
Melihat betapa hebatnya serangan media massa yang menyodorkan faham-faham seksual tidak senonoh melalui film-film dan majalah-majalah (X-rated/Blue film) terutama situs video telah dengan leluasa memasuki kamar-kamar anak muda zaman sekarang, termasuk kamar-kamar orang Kristen.[14] Sudah tiba saatnya gereja-gereja Kristen dan umat Kristen memulai program-program pembinaan dan pendidikan seksual secara intensif.
Kita harus menyadari adanya fakta bahwa banyak rumah tangga Kristen zaman sekarang yang dilanda ketidakbahagiaan seksual, perzinahan bahkan bisa menyerang kehidupan pelayan gereja sekalipun. Ketidakbahagiaan menyebabkan makin membudaya kasus-kasus perceraian menimpa keluarga Kristen. Benar-benar pendidikan dan pembinaan seksual harus dimulai oleh gereja sejak seseorang memasuki masa remaja dan kedewasaan pemuda. Bagi keluarga-keluarga perlu pula diberikan pembinaan seksual yang meneguhkan pernikahan mereka, sebab kalau tidak jemaat akan lebih banyak mendapat informasi seksual keliru melalui sumber-sumber di luar gereja yang umumnya menyesatkan.
Ibadat Kristiani perlu ditumbuhkan terus sehingga menuju pada kehidupan yang dipimpin oleh Roh. “Sebab mereka yang hidup menurut daging, memikirkan hal-hal yang dari daging; mereka yang hidup menurut Roh, memikirkan hal-hal yang dari Roh ... Tetapi kamu tidak hidup menurut daging, melainkan dalam Roh, jika memang Roh Allah diam didalam kamu... Semua orang yang dipimpin Roh Allah adalah anak Allah.” (Roma 8:1-17).
Harus diakui, gereja-gereja Kristen sering terlalu sibuk dengan urusan rutin yang bersifat liturgis dan sakramen sehingga melupakan bahwa pendidikan seksual sangat dibutuhkan oleh jemaat masa kini. Bila dahulu hal demikian dianggap tabu, dalam situasi dunia bebas masa kini, justru harus dengan tekun dan rajin dilakukan untuk mencari jawab Tuhan atas masalah-masalah seksual yang banyak dihadapi jemaat Tuhan masa kini.
Perzinahan juga sering terjadi sebagai akibat hubungan suami isteri yang tidak harmonis, karena itu persiapan dan pembinaan bagi jemaat yang memasuki perkawinan maupun bagi suami isteri yang sudah terikat perkawinan perlu dilakukan dengan rajin karena masa kini godaan dunia begitu besar khususnya dalam segi penyimpangan seksual. Sering terjadi bahwa kejatuhan orang Kristen dalam dosa seksual adalah dikarenakan ketidaktahuan, karena itu pendidikan dan pembinaan seksual harus merupakan bagian dari pembinaan rohani jemaat Kristen dalam rangka memerangi informasi-informasi seksual yang menyesatkan yang dengan rajin dan gencar dikampanyekan oleh anak-anak kegelapan masa kini melalui media massa.
Kita pantas bersyukur karena telah banyak gereja-gereja yang telah menyelenggarakan kateksasi pernikahan atau seminar pernikahan yang benar-benar berdasarkan firman Tuhan; hal ini perlu makin gencar dibudayakan dalam misi kristiani agar kita dapat menyiapkan generasi umat Kristen yang baik dan kudus.


[1] Oxford Coincise English Dictionary, “sex”, (Oxford University Press Software, 1993). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata seks dan seksualitas mempunyai atri yang berbeda. Seks diartikan sebagai jenis kelamin, hal yang berhubungan dengan jenis kelamin, dan birahi. Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ke-3, (Jakarta: Balai Pustaka,2003). Gunawan menyebutkan bahwa Seksualitas dapat diartikan sebagai ciri, sifat, atau peranan seks, dorongan seks, kehidupan seks. Rudy Gunawan, Refleksi Atas Kelamin, (Magelang: Indonesia Tera), 2000
[2] Lihat selengkapnya dalam Jeanne Becher, Perempuan Agama dan Seksualitas, (Jakarta: Gunung Mulia), 2004.
[3] Misalnya Tertulianus (155-230), Bapa Gereja, yang memandang seksualitas sebagai hal yang negatif juga mempunyai sikap yang pesimis terhadap seksualitas. Ia berpendapat bahwa perkawinan dan perzinahan adalah dua hal yang berbeda dalam tingkat kesalahannya. Atau pandangan lain, yang memandang hidup selibat sebagai panggilan yang lebih istimewa dan suci dari pada perkawinan, karena selibat menjauhkan diri dari kehidupan seksualitas.
[4]Berbeda dengan faham Roma Katolik yang menitik beratkan tujuan perkawinan/hubungan seksual dalam kaitan dengan prokreasi dan di luar itu dianggap sebagai dosa, firman Tuhan menjelaskan bahwa seksualitas diberikan kepada manusia sebagai anugerah untuk disyukuri, dinikmati dengan penuh tanggung jawab dalam kaitan hubungan kesatuan kasih sejodoh yang sehati, untuk menikmati hubungan seksual sebagai pernyataan kasih secara badani, dan selanjutnya untuk membuahkan anak-anak yang menjadi generasi penerus kedua orang tuanya dalam melanjutkan tugas atau misi manusia di dunia ini.
[5] Dalam Kejadian 1 dijelaskan bahwa setiap selesai dengan satu hari penciptaan-Nya, digambarkan bahwa “Allah melihat bahwa semuanya itu baik”. Demikian pula ketika Allah menciptakan manusia dikatakan oleh bahwa Allah memerintahkan agar manusia dan segala makhluk di bumi ini untuk berkembang biak. “Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: “Beranakcuculah danbertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi” (Kejadian 1:28). Dengan demikian, kita dapat melihat bahwa hubungan seksual (koitus) baik untuk manusia maupun hewan dan penyerbukan putik oleh benang sari adalah pemenuhan perintah dari Yang Maha Kuasa untuk melanjutkan spesiesnya masing-masing dan dengan demikian melestarikan alam ciptaan.
[6]Sudah jelas pula bahwa hubungan demikian adalah hubungan yang utuh, sehingga dalam perzinahan, seseorang telah merusakkan hubungan yang wajar yang sesuai dengan maksud Tuhan dan menjadikan nafsu dan hati mendua sebagai berhalanya. Perzinahan merusakkan hubungan partnership antara suami dan isteri dan menggantikannya dengan hubungan gelap, karena itu dalam Alkitab, perzinahan dan poligami disebut sebagai penyembahan berhala. Di samping tiadanya hubungan partnership yang saling mengasihi secara utuh dalam perzinahan dan lebih tertuju pada nafsu birahi dan hati yang bercabang, umumnya hubungan di luar hukum demikian yang dilakukan secara gelap dan sembunyi-sembunyi berusaha selalu menghilangkan jejak dengan cara melakukan pembunuhan janin (abortus) bila misalnya hubungan itu menghasilkan kehamilan, dan bila hubungan zinah itu dibiarkan berlarut-larut dan tidak diselesaikan dengan segera dan tuntas, hal ini akan mengakibatkan pecah dan retaknya hubungan keluarga yang sah atau menjurus pada permaduan yang dalam Alkitabpun sudah banyak contoh menunjukkan akibat-akibat negatif berupa kehidupan keluarga yang kacau, pertentangan antara kedua rival (ingat kasus Hanna isteri Elkana; 1 Samuel 1).
[7] Lihat Karl-Heinz Peschke, Etika Kristiani Jilid II: Kewajiban Moral dalam Hidup Pribadi, (Maumere: Ledalero, 1999), 237-240.
[8] Kisah hidup Nabi Hosea adalah contoh terbaik untuk analogi ini.
[9] Dalam Alkitab dijelaskan bahwa hubungan seksual yang tidak sesuai dengan Firman Tuhan dinyatakan menjadi pelanggaran dan pelakunya akan dihukum. Kejahatan seksual dibagi dalam dua kategori yaitu: pertama, meliputi hubungan seksual dengan binatang dan hubungan seksual dengan sesamajenis yaitu, homoseksual. Hubungan seks dengan binatang (bestialitas) dikutuk sebagai suatu pemyimpangan (Imamat 18:23, 20:15-16). Hutang darah diperhitungkan baik kepada manusia maupun kepada bianatang itu, dan hukuman mati akan diberlakukan bagi keduanya. Homoseksual yang lazim disebut dengan sodomi, berasal dari kisah sodom dimana penduduk kota menginginkan hubungan seksual dengan para tamu laki-laki (Kejadian 19:1-11). Dalam undang-undang alkitabiah mengharamkan hubungan homoseksual dan memutuskan hukuman mati bagi kedua belah pihak (Imamat 18:22, 20:13). Dan kategori kedua, meliputi perkosaan dan zinah. Dalam kategori ini ada hal-hal yang dilarang yaitu: Hubungan seksual yang dilakukan dengan kekerasan atau pemerkosaan adalah kejahatan dan pelakunya haruslah dihukum mati (bandingkan Kejadian 34) Dina anakYakub yang diperkosa Sikhem dan Amnon yang memerkosa adik tirinya Tamar (2 Samuel 13). Keduanya dihukum mati, Namun ada kalanya pemerkosa harus dihukum dengan memberi 50 syikal perak pada ayah perempuan yang diperkosa, juga harus menjadikan perempuan itu menjadi istrinya (Ulangan 22:29). Zinah adalah perbuatan yang sangat dilarang oleh Allah dan siapa yang melanggar akan dihukum oleh Allah. Orang yang sudah menikah dilarang melakukan hubungan seks dengan orang lain yang bukan pasangannya dan hukumannya adalah hukuman mati (Kejadian 20:11, Ulangan 5:18). Jika laki-laki yang telah menikah berhubungan seksual dengan perempuan yang sudah menikah maka kedua perzinah ini akan dihukum mati (Imamat 20:10, Ulangan 22:22). Untuk melengkapi kejahatan seksual dan yang harus dihindari kita akan melihat larangan-larangan yang terdapat dalam Alkitab: Perbuatan zinah tidak saja terjadi pada saat perhubungan badan namun membayangkan, memikirkan, berminat dan memandang lawan jenis untuk menjadi miliknya adalah zinah, menyetujui pendirian tempat prostitusi dan mengunjungi rumah pelacuran adalah dosa (1 Raja-raja 15:12, 2 Raja-raja 23:7, Ulangan 23:17-18).
[10] C.F. Keil dan F. Delitzsch, Commentary on the Old Testament in Ten Volumes (Vol. VI): Proberbs, Ecclesiastes, Song of Solomon, (Michigan: Grand Rapids, 1872), 1-2. R.K. Harisson dengan pendekatan “harfiah-teologis”nya mengatakan bahwa sesungguhnya dalam Kidung Agung sama sekali tidak memiliki unsur bahkan tujuan untuk menggambarkan informasi tentang liturgi atau institusi perkawinan Ibrani, tetapi lebih kepada penekanan etis dan kesetiaan cinta/seksualitas. Lihat penjelasannya dalam R.K. Harrison, Introduction to the Old Testament, (London: Tyndale Press, 1970), 1058ff.
[11] Penjelasan untuk hal ini dapat dilihat penjelasan yang baik dalam Elizabeth Scussler Fiorenza, Untuk Mengenang Perempuan Itu, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995).
[12] Karl-Heinz Peschke, Etika Kristiani Jilid II: Kewajiban Moral dalam Hidup Pribadi, 241.
[13] Karena itu seharusnyalah mereka hidup secara bersama untuk menghadapi dan melaksanakan tugas dan tanggung jawab dalam setiap persoalan hidup sebagai suami-isteri (Markus 10:7-12). Yesus dalam pelayanan-Nya menghargai apa yang dikerjakan perempuan (Matius 13:13). Kerajaan Allah diperumpamakan kepada gadis yang menyongsong pengantin laki-laki (Matius 25:1). Kemudian Yesus mengasihi perempuan berdosa dan pelacur (Lukas 7:36-50).
[14] Pornografi saat ini makin meluas tanpa terbendung lagi lewat media massa baik tertulis, melalui foto-foto kalender maupun majalah-majalah, dan lebih efektif lagi secara hidup ditonjolkan melalui media film, video dan acara TV umum. Di negara-negara maju atau modern sudah banyak dibuka di toko-toko yang memperagakan dan menjual barang-barang cabul secara terbuka (seks shop) bahkan mempertunjukkan hubungan seksual secara hidup (life Show)!
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar