Dulu, nun jauh di seberang lautan sana,
hiduplah seorang gadis manis bernama Hester Needham. Ia lahir 23 Januari 1843
di kota yang dikenal sebagai salah satu pusat industri dunia ketika itu, London
ibukota Inggris Raya, dan memiliki pengalaman yang cukup baik. Dia mahir
melukis, pernah bekerja di luar negeri (Italia), aktif dalam organisasi
keperempuanan dan pemuda juga seorang Guru Sekolah Minggu yang kreatif.
13 April 1889, ia menerima surat edaran
yang berisikan kebutuhan Guru Perempuan Kristen di wilayah Afrika, Tiongkok,
Jawa, Kalimantan, dan juga: Sumatera. Setelah melapor kepada Pdt. Dr. A. Schreiber
di Barmen (Jerman), maka dipastikanlah bahwa Needman diutus ke Sumatera,
Tapanuli, Silindung, Pansurnapitu. Needham tiba di Teluk Sibolga pada tanggal
10 Desember 1889. Inilah saat yang merupakan awal kegiatan dan pelayanan yang
terarah kepada perempuan Batak. 16 Desember 1889, bersama Pdt. Meerwaldt ia
sampai di Pansurnapitu, dan mereka segera berjalan-jalan melihat
sekolah-sekolah yang ada di sana. Namun hatinya begitu teriris, air matanya
menetes melihat kenyataan tidak ada satupun perempuan Batak yang duduk di
bangku sekolah! Sejak saat itulah ia berjanji akan setia melayani perempuan
Batak.
Secara terencana dan teratur, Needham
mendidik perempuan Batak: anak-anak, remaja, gadis, ibu-ibu muda dan tua. Ia
juga pergi mengunjungi desa-desa lain dan mengumpulkan gadis dan ibu-ibu untuk
diajar menulis dan membaca, kerajinan rumah tangga, dan tentang Firman Allah.
Bahkan di suatu periode, dikisahkan pula bahwa Needham juga pernah hidup di
suatu ladang bersama satu keluarga penderita kusta, untuk mengurus mereka
sampai sembuh! Walaupun masa pengabdiannya tidak berapa lama karena
kesehatannya, namun sejarah Injil di Tanah Batak pasti akan selalu mengenang
Needham, seorang perempuan Inggris, sebagai pelopor pengembangan Perempuan
Batak dalam peran mereka sebagai pribadi yang memberikan arti dalam keluarga
dan gereja.
Zuster
Elfriede Harder
Selain Hester Needham, ada beberapa nama
lain yang juga berperan dalam proses pemberdayaan perempuan Batak, sebut saja
Lisette Nieman (Jerman) melayani di Laguboti, Agusta Weltneek (Jerman) juga di
Laguboti, Kate Dimbleby dan Emely Dutton di Sipoholon, serta Nona Thora van
Wedel di Pearaja. Satu nama lagi yang penting juga untuk diingat adalah: Zuster
Elfriede Harder. Dia adalah salah seorang tenaga missionar yang diutus RMG
datang ke Tanah Batak. Lahir 26 Juli 1896 di Berlin. Dibesarkan oleh neneknya
setelah ibunya meninggal pada usianya kurang lima tahun. Doa neneknya mengenai
Elfriede Harder adalah: “ya Tuhan, jika engkau mengijinkan dia hidup,
jadikanlah dia sebagai pengajar.”
Elfriede adalah penggagas pendirian
Sekolah Bibelvrouw, 01 Agustus 1934 di Narumonda. Inisiatif pendirian sekolah
ini adalah bermula dari kursus Alkitab yang dilakukannya terhadap kamu
perempuan yang sudah janda sejak tahun 1930 di Laguboti. Antusias kaum
perempuan saat itu terhadap aksi pendekatan Elfriede sangat hebat. Elfriede
melihat ketidakseimbangan antara status laki-laki dan perempuan yang telah
menikah. Perempuan yang telah janda, ada kesan pada saat itu orang yang tidak
berharga. Mereka-mereka ini dianggap sebagai: “ina na dibolongkon” (ibu yang terbuang). Dia rajin mengunjungi
mereka-mereka yan telah janda dan pada akhirnya mengorganisir mereka melalui
suatu kursus Alkitab di Laguboti.
Di samping pengajaran Kursus Alkitab, ia
juga mengajarkan keterampilan martonun
(bertenun), mengajarkan tentang hidup bersih, hidup disiplin dalam bekerja dan
dalam hidup spiritualitas. Satu hal yang tidak akan pernah lekang dari seorang
Elfriede Harder adalah karya tak kenal lelah dalam mengumpulkan
nyanyian-nyanyian rohani yang saat ini kita kenal di Buku Ende Batak Toba
sebagai bagian “Haluaon Na Gok”
(Keselamatan yang utuh).[1]
Perempuan
Dalam Alkitab
Perempuan memiliki peran penting selama masa pelayanan
Yesus di bumi ini. Banyak
perempuan yang menjadi sahabat
dan pengikut setia Tuhan Yesus (Matius 27:55-56; Lukas 23:49,55). Tidak diragukan juga bahwa para perempuan-lah orang-orang yang terakhir meninggalkan Salib Yesus dan juga yang pertama melihat Yesus yang
bangkit (Lukas 23:55; 24:1-12). Di samping itu, semasa hidup-Nya perempuan selalu mengikuti Yesus dalam setiap
perjalanan pelayanan-Nya dan selalu membantu Yesus dan murid-murid (Lukas 8:1-3). Jelas terlihat
bahwa Yesus tidak melarang perempuan melakukan pelayanan bahkan Yesus juga
menginginkan perempuan mendengarkan pengajaran-Nya dan melupakan semua kesibukan rutinitas perempuan
demi pendengaran firman Allah (Lukas 10:38-42). Laki-laki dan perempuan
memiliki hak yang sama dalam pendengaran firman Allah.
Bahkan sebenarnya jauh sebelum kehadiran
Yesus di dunia ini, Kisah Penciptaan dalam Kejadian 1:26-27 juga sudah
mengungkapkan ide kesetaraan gender – sesuatu yang merupakan hal yang belum
populer secara sosio-kultur pada zaman itu.[2]
Tetapi penulis Kisah Penciptaan tersebut menyatakan bahwa Allah yang
menciptakan manusia: laki-laki dan perempuan. Kedua jenis kelamin tersebut
adalah bagian dari manusia, yang keduanya berdiri setara. Keduanya merupakan
gambar Allah, yang saling melengkapi, tidak ada yang mendominasi.
Lebih jauh, bila kita mau mengerti bahwa
Kisah Penciptaan dalam Kejadian 1 tersebut merupakan bagian penting dalam liturgi
pada ibadah Israel di bait Allah[3]
maka pengertiannya akan menjadi sangat jelas: perempuan, sebagaimana laki-laki memiliki
hak dan peranan yang signifikan (penting) dalam ibadah dan pelayanan. Tidak ada
alasan yang dapat memberangus keikutsertaan dan keaktifan kaum perempuan dalam
pelayanan gereja, apakah itu faktor dogmatis, budaya, streotipe atau yang lainnya.[4]
Secara global, reinterpretasi teks-teks suci yang membuahkan kesetaraan dan
keadilan harus selalu dikumandangkan.[5]
Perempuan
Gereja: saat ini dan lebih jauh lagi
Sejak semula gereja ini berdiri, tidak
dapat dimungkiri bahwa kaum perempuan telah banyak terlibat dalam perjalanan
dan pengembangan dari banyak sisi pelayanan. Kebersediaan gereja menahbiskan
pelayan perempuan dapat dikatakan sebagai cikal-bakal peran serta yang lebih
aktif perempuan gereja dalam pelayanannya. Sungguh suatu fakta yang baik bagi
keterlibatan aktif kaum perempuan dalam pelayanan gereja.[6]
Yang menarik, di kalangan pelayan di
tingkat Jemaat pula, di samping bagaimana sejak dulu dominasi kaum perempuan
yang menjadi Guru-guru Sekolah Minggu, ternyata hampir mayoritas gereja kita
juga telah menuju kesetaraan penuh bagi kaum ibu untuk menjadi penatua yang
melayani gereja-gereja lokal kita.[7]
Bukankah hal tersebut merupakan proses perubahan yang sangat positip mengingat
budaya patriakhat (garis keturunan dan adat pada laki-laki) ketimuran kita yang
begitu kental? Pernah kah kita sadari
bahwa hasil didikan mereka-mereka inilah yang akan menjadi masa depan gereja?
Sehingga dengan ini peran kaum perempuan menjadi jelas: tiang bagi
keberlangsungan gereja! Oleh karenanya, bersama-sama dengan gereja maka kaum
perempuan harus memerlengkapi dirinya menjadi “ibu” yang baik bagi para penerus
gereja tersebut.
Bahkan, seharusnya perempuan memiliki
ruang yang lebih luas dalam perannya di gereja bila diperbandingkan dengan
persentase kehadiran perempuan dalam persekutuan dan ibadah. Perempuan tidak
lagi hanya layak sebagai pelaksana kebijakan, namun turut serta dan memberikan
sumbangsih dalam menentukan dan memutuskan arah dari kebijakan dan
program-program gereja.
Bagaimana dengan peran
mereka dalam keluarga? Keluarga sebagai sel utama yang membentuk unit
dasar dalam masyarakat, keluarga membentuk dan dibentuk oleh kekuatan-kekuatan
eksternal di sekitarnya. Peranan keluarga sangat besar bagi pembangunan
masyarakat, maka perempuan (ibu) merupakan ”guru” utama yang menginterpretasikan
kasih dalam dunia dan masyarakat bagi anak-anaknya atau keluarganya, bahkan
sesama-nya dalam masyarakat itu sendiri. Mereka
menerjemahkan arti-arti penting yang dimiliki oleh ke-kuatan-kekuatan
luar, serta melindungi individu-individu dari kontak langsung dengan
masyarakat. Nilai-nilai Kristus yang mereka tanamkan kepada jiwa
setiap anak adalah pelayanan “implisit” yang akan tak ternilai maknanya.
Karenanya kita menjadi tersadar: bahwa Gereja dan keluarga akan selalu
membutuhkan “Needham-needham” baru di sepanjang
perjalanannya di dunia ini.
[1] Banyak buku mengabadikan sejarah kedua tokoh ini, misalnya Irene
Girsang dan Julia Besten, Menabur Kasih
Berbuah Berkat, (UEM , 2011), Biro Perempuan HKBP, Perempuan Menyatu dalam Visi dan Misi, (Tarutung, 1991).
[2] Lihat penjelasan dan tafsiran yang lebih lengkap ini dalam Roy Charly HP
Sipahutar, Kemitrasejajaran Perempuan dan
Laki-laki, Skripsi Strata Satu, Tarutung: STAKPN, 2004, tidak diterbitkan.
[3] Hampir seluruh sarjana Perjanjian Lama modern sepakat dengan hal ini.
Misalnya Norman K. Gottwald, The Hebrew
Bible, (Philadelphia: Fortress Press, 1987) dan Robert B. Coote dan David
Robert Ord, Pada Mulanya, (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2011).
[4] Hal ini menarik, marginalisasi dan vitimalisasi perempuan, isu
perempuan yang tidak boleh menjadi pemimpin sering sekali dihembuskan ideologi
agama. Bahkan sampai saat ini juga ada denominasi yang masih tidak
memerkenankan perempuan menjadi pendeta!
[5] Seperti Martin L. Sinaga, saya sependapat perlunya dipertimbangkan pendekatan feminis postmodernis, yang selalu
menantang terhadap klaim-klaim kebenaran. Lihat selengkapnya dalam L. Sinaga, Meluaskan
Horison Tafsir Perempuan: Tanggapan dari Persfektif posmodernisme, (Forum Biblika 10, 1999).
[6] Menarik juga ini, Almanak HKBP 2017 menunjukkan adanya peningkatan
Pendeta perempuan, mungkin hampir sepertiga. Anehnya, dalam sebuah perbincangan
dengan seorang pimpinan sinode gereja, beliau menyebutkan pertumbuhan pendeta
perempuan ini juga sebuah ancaman bagi efektifitas pelayanan gereja. Menurut
saya hal tersebut merendahkan martabat kemanusiaan.
[7] Sesuai dengan pengalaman dan pengamatan penulis selama berjemaat di
beberapa daerah, mereka dengan senang hati bersedia menjadi
Guru-guru Sekolah Minggu di jemaat-jemaat lokal, tanpa pamrih sekalipun!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar