ECCLESIA SEMPER REFORMANDA EST
(Gereja selalu direformasi)
Oleh: Pdt. Roy Charly HP
Sipahutar, M.Th[1]
Tulisan
ini merupakan salah satu upaya menziarahi semangat Reformasi Gereja yang akan dirayakan
setengah milleniumnya pada 31 Oktober yang akan datang. Merefleksikan semangat
yang tak akan diredup waktu, sebagai nafas gereja-gereja yang menamakan dirinya
reformis.
Pengistilahan
Istilah “Ecclesia
Semper Reformanda Est” (gereja yang selalu direformasi) sebenarnya memang tidak
datang dari Martin Luther secara langsung, tetapi tak dapat disangkal bahwa pengistilahan
ini telah menjadi hakekat dari gereja reformis yang terus dikumandangkan para pengikutnya.
Semper Reformanda artinya adalah
Gereja yang terus membaharui diri, reformasi selalu. Membaharui berarti membuat
baru lagi sesuatu yang ada.
Untuk menolong kita memahami pengertian ini
saya akan memulai dengan teks Ratapan 3:22-23: “Tak berkesudahan kasih setia
Tuhan, tak habis-habisnya rahmat-Nya, selalu baru tiap pagi, besar
kesetiaan-Mu.” Dari hal ini dapatlah kita pahami:
1. Dalam konteks Kerajaan Allah, pembaharuan
(“selalu baru tiap pagi”) berada dalam arus kekal, terus-menerus, tak
berkesudahan, tak habis-habisnya.
2. Inti dari pembaharuan ada pada “kesetiaan”.
Jadi pembaharuan adalah perubahan dengan kembali kepada yang kekal, pada
kesetiaan.
Nas kedua yang dapat menjadi dasar kita yaitu,
Yeremia 31:33: “Aku akan menaruh Taurat-Ku dalam batin mereka dan menuliskannya
dalam hati mereka; maka Aku akan menjadi Allah mereka dan mereka akan menjadi
umat-Ku.” Pembaharuan ada pada penulisan Hukum Taurat yang sudah ada, yang
dulunya ditulis dalam batu, sekarang dalam hati. Reformasi dalam hal ini dapat
dipahami adalah pembaharuan untuk menghidupi Firman Allah.
Sehingga, Semper
Reformanda dalam terang kedua nas di atas adalah adanya suatu pembaharuan
gereja yang berlangsung terus-menerus. Berlangsung terus menerus untuk menjamin
berlangsungnya ajaran yang murni, Alkitabiah, dan berdasarkan inisiatif Allah
semata. Gereja yang menyadari perlunya usaha untuk selalu merenung dan
memerbaiki diri di sepanjang zaman.
Reformasi Gereja
Reformasi[2]
gereja yang terjadi di Eropa Barat tidak dapat terlepas dari keadaan masyarakat
Eropa Barat dan organisasi gereja-gereja yang ada pada saat itu. Dalam struktur
hirarki gereja, hirarki tertinggi adalah Paus yang berdomisili di Basilica St.
Petrus (Roma). Oleh karena itu, Paus memiliki wewenang yang begitu besar dalam
gereja, namun wibawanya mulai berkurang. Setiap raja-raja dan kaisar-kaisar ingin menguasai
daerah pemerintahannya sendiri, begitupun gereja-gereja yang ada dalam wilayah
kepemimpinannya, walaupun tetap saja ada yang masih loyal terhadap Paus. Pada
saat itu pula perekonomian di Eropa sedang mengalami perkembangan yang begitu
pesat sehingga sistem sosial yang ada sebelumnya tidak cocok lagi dengan
kenyataan yang ada pada saat itu. Oleh karena perkembangan ini, masyarakat
mulai kritis pada keadaan yang ada dan berlaku dalam masyarakat. Gereja menjadi
sasaran empuk yang dikritisi oleh masyarakat karena gereja merupakan salah satu
tiang penyangga bagi masyarakat pada saat itu. Masyarakat sudah gerah dengan
sistem feodalism, dan gereja merupakan salah satu pemraktik terhebat
berabad-abad sistem kuno tersebut.
Demikian pula, dampak renaisans abad ke-15
nyatanya sangat kuat dalam kebudayaan Eropa secara umum, mulai munculnya
keinginan untuk memelajari akan kebudayaan Yunani dan Romawi sehingga
orang-orang ingin kembali pada dunia kebudayaan kuno mereka, sampai semangat
untuk membaharui banyak hal dalam kehidupan masyarakat. Sikap ini juga yang
memengaruhi akan munculnya reformasi karena mereka terdorong untuk memelajari
Alkitab dalam bahasa asli.[3]
Awal timbulnya reformasi gereja adalah
perbedaan antara teologi dan praktek gereja dengan ajaran Alkitab seperti yang
ditemukan oleh Luther.[4]
Namun pemimpin-pemimpin gereja pusat
tidak menyadari akan bahaya yang mengancamnya. Paus Leo X dan tokoh-tokoh
gereja lainnya sibuk memikirkan akan pembangunan gereja raksasa, yaitu gereja
Santo Petrus di Roma, yang melambangkan keagungan Gereja Barat. Lalu demi
kepentingan akbar itu, Paus pun membungkusnya menggunakan “alat rohani” dengan
menyarankan kepada Uskup Agung Albrecht dari Mainz untuk memerdagangkan surat
penghapusan dosa (Indulgensia) secara besar-besaran
di Jerman.
Perdagangan Indulgensia dengan maksud “tertentu” ini
awalnya tidak diketahui oleh umat Kristen dan Luther pun tidak mengetahuinya.
Namun cara menjalankannya menimbulkan suatu kecurigaan tersendiri. Surat kuasa
yang diberikan Albrecht kepada para penjual menimbulkan sangkaan bahwa surat
penghapusan siksa itu juga dapat menebus dosa.
Johan
Tetzel, seorang Dominician merupakan kepala penjualan indulgensia ini. Tetzel
melakukan propaganda besar-besaran yang mengosongkan dompet rakyat Jerman untuk
mengisi kantong Albrecht dan Paus Leo X. Syarat indulgensia yaitu penyesalan
yang sungguh-sungguh tidak disebut lagi. Para pembeli mengaku dosa pada
rahib-rahib yang tidak mereka kenal. Rahib-rahib ini membantu Tetzel dalam
melancarkan akan penjualan indulgensia itu. Tetzel memerdaya masyarakat bahwa indulgensia
selain mengahapus dosa pembeli juga dapat melepaskan akan keluarganya dari api
penyiksaan di alam seberang. Kata-kata Tetzel yang melegenda berbunyi: “As soon as the money jingles in the chest,
the soul springs out of Purgatory”.[5]
Bereaksi pada penyalahgunaan indulgensi itu,
Martin Luther pada vigili (malam berjaga, malam sebelum hari raya Paskah) hari
raya semua orang kudus (31 Oktober 1517) menyusun 95 dalil yang dia tempelkan
pada pintu gereja di Wittenberg, sesuatu hal yang lumrah pada masanya. Maksud
awal dari apa yang dilakukan oleh Luther adalah untuk mendiskusikan secara
terbuka hal-hal yang menjadi pergumulan umat dan gereja, dan seandainya saja
gereja tidak berlebihan menanggapi secara negatif maka tidak akan ada
perpecahan ini – seandainya. Banyak orang tertarik pada gagasan Luther, dari
kalangan akademisi sampai rakyat biasa. Tentu saja, dampaknya adalah dalam
waktu singkat penjualan indulgensia itupun kehilangan untung besar. Hal ini
menimbulkan kemarahan besar bagi Albrecht dan banyak orang lainnya yang terkait
dengan penjualan indulgensia itu. Bahkan Luther pun dituduh sebagai seorang
penyesat.[6]
Memaknai “Ecclesia Semper Reformanda Est”
Pada hakekatnya Martin Luther membawa
kehidupan gereja pada perihal yang seharusnya di mana Kristus (Latin: Solus Christus) adalah utamanya. Solus Christus sebagai inti dari sola gratia (hanya oleh anugerah) yang
diterima dengan sola fide (hanya oleh
iman) dengan berlandaskan sola scriptura (hanya
Alkitab), yang segalanya bertujuan untuk soli
Deo Gloria (pujian hanya bagi Tuhan).[7]
Rumusan tersebutlah yang terus-menerus harus disegarkan ulang, atau dibaharui
ulang dalam kehidupan bergereja sehingga hakekat “reformanda est” (selalu direformasi) adalah pola hidup utama gereja
demi kemuliaan Tuhan. Apa yang membuat gereja kita tetap menjadi gereja
reformatoris adalah semangat mau selalu membaharui itu sendiri. ”Reformanda est” adalah sebuah gerakan (movement):
bak sebuah sungai yang bergerak terus sampai pada saatnya mencapai lautan
lepas. Sekali air itu berhenti, ia akan menjadi rawa yang menyimpan kematian.
”Reformanda
est” adalah sebuah proses (reforming)
yang tanpa henti, bukan sekadar menjadi sebuah peristiwa tunggal masa lalu (reformed) yang harus dibakukan dan
dibekukan sepanjang sejarah, sehingga ia tidak lebih dari sebuah monumen
semata. Ia adalah gerak dan nafas gereja! Semangat ini juga menunjukkan dan
mengingatkan dengan baik keyakinan kita bahwa gereja tidak pernah sempurna.
Hanya Allah yang sempurna. Dan justru di dalam ketidaksempurnaan ini kita terus
berlari dan berproses, dengan cara mengakui keterbatasan kita kini di sini dan
mencoba menemukan celah dan jalan baru menggereja ke masa depan.
Hidup dalam Gereja
yang selalu di Reformasi
Pengalaman berjemaat mengajarkan kita bahwa
tidak sedikit jemaat lokal yang telah mengalami pertumbuhan yang baik dan
signifikan, bukti bahwa ia mau berubah – mau direformasi. Menghadirkan pelayan
penuh waktu di setiap gereja, misi yang lebih luas tidak hanya di dalam
“gedung” gereja semata (termasuk kesehatan, pendidikan, perekonomian anggota
jemaat), transparansi manajemen dan keuangan gereja, sampai kepada evaluasi
berkala atas program yang telah dijalankan, itu semua merupakan bagian dari
kebaharuan yang memang menjadi ciri khas dari gereja reformasi. Kita telah
melaksanakannya, dan harus selalu baharu.
Namun, di sisi lain, kita tidak dapat juga
memungkiri adanya beberapa jemaat lokal di berbagai penjuru yang masih agak
sulit untuk menerima perubahan, tentu saja perubahan kebaharuan menjadi gereja
yang bertumbuh. Untuk beberapa gereja sistem primordialism[8]
yang menjadi kendala utamanya, yang lain mungkin sumber daya manusia sebagai
faktor sulit menerima perubahan. Sehingga, untuk ini ternyata masih merupakan
pekerjaan rumah yang tidak sederhana bagi gereja yang kita cintai untuk menyadarkan
esensi gereja reformasi itu sendiri kepada keseluruhan kita, yaitu: mau dan
harus berubah!
Ya, gereja harus mau berubah, bahkan
perubahan itu adalah nafas dari gereja itu sendiri. Tuhan tidak berubah, tetapi
gereja harus selalu berubah! Apa yang dilakukan Luther tentu tidak terlepas
dari rasa sadarnya terhadap perkembangan teknologi pada saat itu. Luther sadar
bahwa lebih setengah abad sebelumnya terjadi lonjakan besar di dunia dengan
ditemukannya mesin cetak oleh Johannes Guttenberg.[9]
Ini merupakan peluang besar selain untuk kepentingan penggandaan ide-ide
teologisnya yang brilian tetapi yang lebih utama adalah cita-citanya untuk
menjadikan Alkitab yang semula adalah hanya sebagai konsumsi terbatas
rohaniawan dan akademisi menjadi buku suci yang dimiliki setiap umat. Lalu
segeralah Alkitab diterjemahkan ke dalam “bahasa awam” dan di sanalah ledakan
reformasi yang sesungguhnya. Refleksi untuk ini, gereja sepanjang abad yang
tidak sadar atas perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi maka layaknya sulit
mengakui bahwa ia bagian dari cita-cita reformis.
Praksis hidup, semangat reformatoris
menekankan kesetaraan imamat bagi setiap pribadi dalam dunia kerjanya
masing-masing. Ini artinya bahwa Luther dan lainnya mengubah paradigma tua
dualistik dunia kerja: suci dan sekular, gereja dan pekerjaan di luar gereja.
Pola yang selalu ditanamkan tentang keutamaan imam gereja dibandingkan dengan
yang lainnya sama sekali tidak mencerminkan universalism keselamatan yang
dianugrahkan oleh Sang Juruselamat yang dipercaya oleh gereja itu sendiri.
Sehingga ini adalah bentuk kegembiraan reformis, setara dalam dunia kerja,
tidak ada yang boleh diklaim lebih “kudus”, yang masing-masing ditempatkan
sebagai perpanjangan tangan Allah demi kebaikan.
Gereja harus tetap terjaga, mawas diri.
Sejarah telah membuktikan bahwa di saat gereja merasa “kenyang” dalam status
quo-nya, maka saat itu pula godaan untuk “tertidur” semakin besar. Ketika ia
terlena hanya terhadap ritualism dan hirarkism formal, bukankah seharusnya
gereja lebih berarti bagi ruang-ruang sosial kemanusiaan? Kemiskinan,
kelaparan, ketidakadilan, rongrongan kapitalism dan lainnya adalah tempat yang
baik bagi gereja untuk menyatakan imannya. Ingat, sejarah juga mengajarkan
kepada kita bahwa selalu ada “gerakan” – yang kita percaya bersumber dari Roh
Tuhan – untuk membuatnya kembali terjaga dan mengintropeksi apa yang telah
dijalaninya. Munculnya aliran-aliran baru dalam sejarah gereja, walau tentunya
kita juga harus malu akan hal ini, menunjukkan bahwa selalu ada alat yang
dipakai oleh Tuhan untuk menjaga gereja-Nya agar tetap hidup menjadi “gereja”.
Mawas dirilah selalu.
Ecclesia Semper Reformanda est!
Bahan bacaan:
Aritonang, Jan S. Berbagai Aliran di Dalam dan
di Sekitar Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000).
Berkhof,
H. Sejarah Gereja. (Jakarta: BPK
Gunung Mulia,1994).
Kooiman, W.J. Martin Luther: Doktor dalam
Kitab Suci dan Reformator Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001).
Lane,
Tony. Runtut Pijar: Sejarah Pemikiran
Kristiani, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996).
McGrath,
Alister E. Sejarah Pemikiran Reformasi, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996).
Rogers, J. B. dan D. K. McKim, The Authority and
Interpretation of the Bible, (San Fransisco: Harper & Row, 1979).
Rogerson, J., C. Rowland dan B. Lindars, The
Study and Use of The Bible, (Grand Rapids: Erdmans, 1998).
van
den End, Th. Harta Dalam Bejana, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996).
[1] Roy Charly HP Sipahutar, M.Th.
Menyelesaikan Program Magister Theology di STT GMI Bandar Baru (2013), melayani
sebagai Pendeta di Gereja Protestan Persekutuan (GPP), Dosen Biblika Perjanjian
Lama di STAKPN Tarutung.
[2] Reformasi itu sendiri
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah perubahan radikal untuk perbaikan
dalam suatu masyarakat atau agama, baik itu dalam bidang politik, sosial,
maupun agama. Istilah reformasi secara langsung memberikan kesan bahwa
kekristenan Eropa Barat sedang diperbaharui. Namun Reformasi gereja yang
dimaksud pada awalnya merupakan suatu gerakan yang ingin memperbaiki hal-hal
tertentu saja dalam Gereja Katolik. Sebenarnya ada beberapa tokoh reformasi,
sebut saja Yohannes Calvin dan Ulrich Zwingli, tetapi Luther mendapatkan
perhatian lebih di sini, ya disebabkan dia adalah pemantik gerakan ini.
[3] Alkitab yang digunakan
pada saat itu berbahasa Latin (Vulgata, buah karya Jerome) sehingga yang
mengerti akan isi Alkitab itu hanyalah Paus dan rohaniawan, akademisi.
[4] Tokoh besar reformasi
selain Martin Luther adalah Yohannes Calvin. Namun sebelum kedua tokoh ini juga
sudah ada dua tokoh yang terlebih dahulu ingin merubah beberapa hal dalam
gereja. Kedua tokoh itu adalah John Wycliffe dari Inggris (1328-1384) dan Johannes
Hus dari Ceko (1373-1415). Namun kedua tokoh ini tidak berhasil dalam melakukan
perubahan dalam gereja karena tidak mendapat dukungan dari siapapun. Bahkan Hus
dibakar hidup-hidup, hasil konsili Constranz (1414-1418).
[5] Terjemahan bebas: “Begitu
mata uang bergemerincing di dalam kotak, jiwa yang sedang menanti di api
penyucian pun akan terlepas”.
[6] Untuk uraian yang lebih
dalam dapat dibaca dan telah dijelaskan dengan baik dalam buku “Sejarah
Gereja”, oleh: H.Berkhof, terbitan: BPK Gunung Mulia Jakarta.
[7] Sebenarnya, untuk Kitab
Suci, apa yang dilakukan Luther adalah sesuatu yang sudah sangat bersifat
“kritis” pada zamannya. Ingat, apa penilaiannya terhadap Surat Yakobus.
[8] Primordialisme adalah
sebuah pandangan yang memegang teguh hal-hal yang dibawa sejak kecil, termasuk
kepercayaan dan adat. Dalam masyarakat Batak khususnya, ungkapan “sisuan buluh”, “hami do naumboto na denggan di hami” atau “tona ni naparjolo” adalah contoh yang baik.
[9]
Menariknya, ide cemerlang mesin cetak ini awalnya untuk memudahkan penggandaan
surat indulgensia!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar