1. Peneliti Modern (misalnya North, Eissfelt, Bright) pada umumnya
sepakat mengatakan bahwa bagian cerita dalam perikop ini terjadi pada awal
pelayanan Nabi Yesaya, sekitaran sepuluh tahun sebelum zaman perang Syro-Efraim
yang terkenal itu. Dari ayat 1 dapat ditemukan keterangan jelas bahwa
kejadiannya tepat pada “tahun matinya raja Uzia”, yaitu sekitaran tahun 742-740
sM. Perlu diingatkan, bahwa pada masa pemerintahan Uzia kerajaan Yehuda secara
ekonomi hidup di dalam suasana damai dan makmur, walaupun ada catatan yang
mengatakan bahwa sesungguhnya kemakmuran itu hanya dinikmati oleh segelintir
orang. Secara politis, raja Uzia adalah salah satu dari beberapa raja kerajaan
lain yang bersepakat untuk tidak tunduk kepada kerajaan Asyur yang memiliki
kekuatan yang maha dahsyat ketika itu. Raja Uzia tetap bersikukuh bahwa Tuhan
sebagai Raja Israel akan selalu menolong mereka.
2. Sekarang, raja Uzia yang penuh keberanian itu telah mangkat. Kematian
raja Uzia tersebut tentunya memengaruhi kondisi psikis bangsa Yehuda, semua
rakyat bertanya-tanya dengan penuh keraguan: akan bagaimanakah masa depan
bangsa ini? Dan benar saja, setelah kematian Uzia ini situasi sosial politik
Yehuda pun mengalami perubahan yang sangat cepat, raja-raja Yehuda selanjutnya
tidaklah sekuat dan sebaik Uzia. Ketika seluruh rakyat dan tokoh Yehuda dalam
kegamangan batin akibat situasi yang telah berubah tersebut ternyata nabi
Yesaya (seperti Uzia) tetap teguh hati atas Kuasa Tuhan yang selalu melindungi
dan berpihak terhadap bangsa pilihan-Nya.
3. Nabi Yesaya dipanggil ketika ia sedang mengikuti upacara persembahan
kurban bakaran yang dilakukan oleh para imam. Asap kurban itu memenuhi seluruh
ruangan Bait Suci, dan Yesaya merasa seolah-olah berada di bagian ruang
mahasuci Bait itu. Ia dikelilingi oleh kemuliaan dan kesucian Allah yang duduk
di sebuah takhta yang menjulang tinggi sekali. Sebenarnya apa yang “dilihat”
oleh Yesaya hanya aspek tertentu dari kemuliaan dan sifat-sifat Allah secara
simbolis, karena manusia tidak bisa melihat Allah lalu tetap hidup (bandingkan
Keluaran 33:20-23). “...takhta yang tinggi...ujung jubah-Nya memenuhi Bait
Suci” (ayat 1), menggambarkan Allah sebagai Raja yang paling mulia menurut
pengalaman nabi, Dia yang mahatinggi dan Yang mahamulia. Penglihatan nabi
Yesaya ini sebagai warta kepada seluruh Israel bahwa bukan kekuatan raja Uzia
atau raja-raja dunia yang lainnya yang menjamin kesejahteraan bagi mereka,
tetapi hanya Allah saja Raja yang Maha Tinggi di atas segalanya yang memelihara
dan menjamin kehidupan mereka. Kekuatiran tentang masa depan menjadi tidak lagi
relevan, karena kemuliaan-Nya menaungi setiap aspek kehidupan setiap makhluk di
bumi.
4. “Serafim” (Ibrani: saraf,
artinya: “menyala”) adalah golongan makhluk yang menyerupai malaikat yang
mengelilingi takhta Allah. Mereka dilukiskan sebagai makhluk berdiri tegak di
depan takhta-Nya dan siap untuk melayani dan melaksanakan apa yang
diperintahkan kepada mereka. Dengan sepasang sayap yang melekat pada tubuhnya,
mereka dimengerti dapat dengan cepat terbang melaksanakan perintah itu dan
dengan semangat yang menyala-nyala! Simbolisasi Serafim ini menjadi pengingat
yang baik bagi Israel bahwa ada beribu malaikat yang Allah persiapkan untuk
melindungi mereka dari ancaman dan sengatan musuh-musuh mereka. Dalam konteks
kekinian, Serafim merupakan simbol pemeliharaan Allah (Providentia Dei) terhadap umat yang dikasihi-Nya. Bisa saja memang
“Serafim” yang dikirim Allah itu “tidak kita kenali” wajahnya karena dia adalah
orang yang biasa kita lihat sehari-hari, atau dalam diri orang lain yang
tentunya hadir untuk menolong kita dari kesukaran yang kita hadapi.
5. Para Serafim berseru-seru, “kudus,kudus, kuduslah...” (ayat 3). Tiga
kali ucapan “kudus” kepada hakikat Allah yang tunggal, untuk ini penafsiran
reformis (Luther dan Gereja Reformasi) menghubungkannya dengan ke-Tritunggal-an
Allah. Kata “kudus” yang diucapkan sebanyak tiga kali merujuk kepada Allah
Trinitas.
Yang Mahakudus telah berkenan menyatakan diri, memanggil Yesaya dan
mengutusnya. Jika Allah Yang Mahakudus menyatakan diri dan berhubungan dengan
dunia, maka kemuliaan-Nya meliputi seluruh bumi.
6. Di
hadapan kekudusan dan kemuliaan Allah itu, Yesaya menyadari kenajisannya. Suatu
hal yang memang harus dimiliki oleh setiap manusia, menyadari tentang hakekat
keberdosaannya. Dalam ayat 6-7, Serafim secara simbolis menyucikan Yesaya. Bara
api diambil dari mezbah dan disentuhkan pada mulut Yesaya, ini berarti bahwa
Allah berkenan mengampuni kesalahannya dan menghapus kenajisannya. Penyentuhan
mulut dengan api dihubungkan dengan tugas kenabian Yesaya yang menuntut
kemurnian dan keberanian dalam memberitakan firman Tuhan (bandingkan Zefanya
3:9). Yang menarik adalah, perjumpaan Yesaya dengan kemuliaan Allah dalam
bagian perikop ini melahirkan ketetapan hati dan kebulatan tekad dalam
penyerahan diri yang total, “Ini aku, utuslah aku!” (ayat 8). Bukankah hal
seperti ini merupakan sesuatu yang langka pada masa belakangan ini, termasuk di
gereja dan di kehidupan kita bermasyarakat? Saudara dan saya benarkah telah
memiliki kebulatan tekad dalam penyerahan diri sebagai hamba Allah Yang
Mahakudus? Cobalah renungkan dengan keheningan, namun bila hal tersebut masih belum kita miliki, itu pertanda
bahwa kita masih harus mencari dan bertemu dengan kemuliaan-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar