“... As the years went by we learned
more about gifts.
And giving of ourselves and what that means.
On a dark and
cloudy day a man hung crying in the rain.
Because of love, because of love
And we are the reason that He gave His life
We are the reason that He suffered and died.
Because of love, because of love
And we are the reason that He gave His life
We are the reason that He suffered and died.
To a world that was lost He gave
all He could give.
To show us the reason to live...”
David Meece
S
|
eperti apa yang
semua telah kita ketahui, Kitab-kitab Injil dan tulisan-tulisan Paulus (Kitab
Roma, 1 Korintus, 2 Korintus, dan seterusnya) dituliskan bukan karena Yesus
telah dilahirkan, namun semuanya itu ada karena Ia disalbkan dan bangkit pada
hari yang ketiga. Dengan kata lain, seandainya Yesus yang besar di Kapernaum
itu hanya dilahirkan, namun tidak disalibkan dan bangkit pada hari yang ketiga,
maka Kitab Suci bagian Perjanjian Baru yang ada pada kita sekarang tidak akan
ada (dituliskan). Itu berarti iman Kristen tidak akan ada, dan akibat turunannya
adalah Gereja Kristen tidak akan pernah berdiri.
Kebangkitan
Kristus sejak semula sesungguhnya merupakan pusat dari iman Kristen, Gereja
mula-mula menjadikan Paskah sebagai pusat perayaan Kristen. Sejarah mencatat,
bahkan sebelum tahun 313 yaitu tahun ketika Gereja mendapat perlindungan negara
(edik/putusan Milano)[1],
gereja hanya mengenal satu perayaan Kristen: yaitu Paskah! Itu berarti Perayaan
Natal dan yang lainnya itu muncul setelah kekristenan berkembang di Eropah dan
belahan dunia lainnya.
Sankin
pentingnya peristiwa kebangkitan (Paskah) tersebut bagi gereja mula-mula, maka
ibadah yang pada mulanya dilaksanakan setiap hari Sabtu (Sabat) menurut
kelaziman dan tradisi yang telah dipelihara oleh mayoritas umat yang tentunya
berlatar belakang Yahudi, mereka mengalihkannya menjadi setiap hari Minggu
(lihat 1 Korintus 16:2, Kisah Para Rasul 20:7). Perubahan tersebut bukan hal
yang gampang saja, tentunya ada alasan yang kuat untuk mengubah hari kebaktian
itu. Adapun dasarnya adalah karena mereka memandang kebangkitan Kristus
(Paskah) sebagai peristiwa yang besar, sehingga mereka ingin merayakannya setiap
minggu. Dan karena Yesus dibangkitkan pada hari Minggu, jemaat mula-mula pun
bersedia hari kebaktian menjadi hari Minggu,[2]
dan tradisi itu yang kita ikuti sampai dengan saat ini. Ini artinya,
seharusnyalah setiap umat Kristen yang datang dan bersujud dalam persekutuan
Ibadah setiap hari Minggu datang ke gereja karena mensyukuri Peristiwa Paskah!
Seratus Lima
Puluh Tiga Ekor
Sub-judul
tersebut adalah kutipan dari jumlah ikan yang ada dalam Yohanes 21:11. Ketika
Yesus dinyatakan telah meninggal mengenaskan di atas salib dengan kehinaan,
murid-murid pun dengan rasa kecewa tercerai-berai kembali kepada aktivitas
mereka sehari-hari sebagaimana mereka sebelum mengenal Yesus.
Bagaimana mereka
tidak kecewa, Guru yang selama ini mereka anggap sebagai harapan yang dapat
membebaskan mereka dari penderitaan dan jajahan Romawi ternyata akhirnya mati
juga. Bahkan mati layaknya seorang penjahat, di kayu salib! Mereka malu, karena
tentu banyak orang yang mengolok-olok. Mereka gelisah, karena harapan yang
tinggi tentang damai sejahtera yang hampir terlihat sebelumnya terpaksa harus
mereka pupus. Mereka gentar, sebab tidak ada lagi Sosok yang dapat mereka
andalkan dalam langkah dan “gerakan” mereka. Mereka ingin marah sekali, karena
Pemimpin yang sangat mereka kasihi telah disiksa tepat di depan mata mereka.
Namun demikian, untuk perasaan yang berkecamuk itu mereka tak mampu berbuat apa-apa.
Tapi sekarang, saatnya
untuk move on dari segala harapan
yang sia-sia, dan jalan yang terbaik untuk itu adalah dengan kembali “memijak
bumi”, kembali kepada kehidupan yang sebenarnya, kembali kepada rutinitas sebelum
bertemu dengan Yesus. Dan untuk seorang murid yang bernama Simon Petrus
ungkapan tersebut artinya adalah: pulang ke rumah dan menjadi Penjala Ikan
kembali!
Selanjutnya Injil
Yohanes menceritakan, bahwa ketika Simon Petrus dan beberapa yang lain sedang
menangkap ikan di Danau Tiberias (atau Galilea), tapi semalaman itu mereka
tidak mendapatkan apa-apa! Sampai subuh juga masih demikian. Namun sesuatu yang
aneh terjadi ketika hari mulai siang, Yesus datang berdiri di pantai tanpa
mereka kenali. “Tebarkanlah jalamu di sebelah kanan perahu...”,kata Yesus
kepada mereka. Dan mereka mendapatkan ikan yang sungguh banyak. Yohanes 21:11
mencatat: “Simon Petrus naik ke perahu lalu menghela jala itu ke darat, penuh
ikan-ikan besar; seratus lima puluh tiga
ekor banyaknya, dan sungguhpun sebayak itu, jala itu tidak koyak.”
Menjadi menarik
untuk bertanya-tanya: mengapa begitu detailnya pengarang Injil Yohanes menyebut
jumlah ikan tersebut sebanyak 153 ekor? Bukankah kalau maksudnya hanya sekedar
memberikan informasi bahwa ikan tersebut jumlahnya banyak cukup saja ia
mengatakan dengan istilah “sangat banyak” atau “jala itu penuh”? Tetapi mengapa
ada angka 153, tentulah angka itu memiliki maksud tertentu.
Pada zaman itu,
menurut ilmu pengetahuan Yunani, jumlah jenis ikan ada 153 macam. Karena itu
para murid mengasosiasikan angka 153 ini dengan angka jumlah jenis ikan
tersebut. Itulah jumlah jenis ikan yang mereka ketahui. Angka itu bagi mereka
berarti: semua jenis ikan di dunia.
Ketika dulu Tuhan
Yesus memanggil murid-murid-Nya, Ia berkata, “Mari, ikulah Aku, dan kamu akan
Kujadikan penjala manusia” (Markus 1:17). Bisa jadi para murid dan pengarang
kitab Injil ini kemudian menghubungkan semua jenis ikan dengan semua jenis
bangsa di dunia. Mereka merasa diingatkan bahwa mereka diutus kepada semua
bangsa. Menjala 153 ekor ikan, itu artinya menyampaikan kabar Paskah kepada
(“menjala”) seluruh jenis bangsa di muka bumi.
Dia bangkit Untuk
Semua Bangsa
Sengaja di awal
tulisan ini mengutip dua bait lagu yang sangat terkenal yang diciptakan oleh David Meece, “We are the reason”. Ingin kembali mengingatkan kepada setiap kita
sesungguhnya untuk siapa Dia Yang Kudus itu disalibkan. Tentu Dia tergantung di
Golgata bukan karena Ia yang berdosa,
atau karena kesalahan-Nya. Namun Ia ada di sana karena keberdosaan kita.
Mari kita simak
kedalaman makna lirik lagu di atas, dan berikut ini terjemahan bebasnya tanpa
memerhitungkan keserasian lagu:
“...sebagaimana tahun-tahun berlalu
dan kita pun mulai belajar lebih banyak tentang anugerah-Nya, yang memberi segalanya
bagi kita, dan Ia mengerti apa arti dari semua itu. Di waktu hari gelap dan
kelam, Anak Manusia tergantung sekarat dan diguyur derai hujan. Karena
kasih-Nya, ya karena kasih-Nya.
Kita adalah alasannya mengapa Dia
memberikan hidup-Nya. Kita adalah alasan mengapa Yesus mau menderita dan mati.
Bagi dunia yang hilang, Dia memberikan apa yang sanggup Dia berikan, untuk
menunjukkan apa yang menjadi alasan mengapa kita hidup...”
Di mata orang
Yahudi kematian disalib bukan hanya hinaan, melainkan kutukan dari Allah. Mati
disalib sungguh hal yang sangat memalukan: secara sosial adalah hinaan, secara
religius adalah kutukan. Tapi “Kristus telah menebus kita dari kutuk Hukum
Taurat dengan jalan menjadi kutuk karena kita” (Galatia 3:13a). Itu artinya,
Dia mau terhina dan terkutuk supaya kita hidup.
Namun demikian,
patut selalu disimak serta diingat bahwasanya kata “kita” yang dimaksudkan di
sini janganlah menjadi kita persempit pengertiannya menjadi hanya “suku kita”,
“bangsa kita”, atau bahkan hanya “gereja kita”. Bukankah tadi di atas telah
disinggung bahwa murid-murid diutus untuk menyampaikan kabar kesukaan tentang Kebangkitan
Kristus (berita Paskah) kepada seluruh bangsa dengan simbolisasi 153 ikan yang
memenuhi jala tangkapan mereka? Dengan ini kita menjadi mengerti benar bahwa
Kebangkitan Yesus diberikan bukan hanya untuk bangsa atau suatu umat tertentu,
tetapi darah dan kemenangan-Nya bagi keseluruhan dunia! Peristiwa Paskah memang
terjadi untuk semua bangsa manusia. Dia bangkit untuk semua orang.
*********
[1]
Salah satu putusan penting dari Edik
Milano adalah bahwa Gereja mendapat kebebasan sepenuh-penuhnya, bahkan
segala milik yang telah dirampas oleh negara pada masa-masa sebelumnya, harus
dikembalikan atau dibayar kepada Gereja.
[2]
Pada awalnya tradisi beribadah pada hari Minggu ini mendapat tantangan dari
lingkungan dan pemerintah. Namun karena Gereja mula-mula terus merayakan hari
Minggu sebagai hari kebaktian, lambat laun kebiasaan itu diterima oleh
masyarakat. Dan pada tahun 321, Kaisar Romawi bernama Constantinus Agung dengan
undang-undang menetapkan hari Minggu sebagai hari libur di daerah kekuasaannya.
Inilah agaknya sebab mengapa hari Minggu menjadi hari libur yang berlaku hampir
di semua belahan dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar