(Suatu tinjauan
Teologis Alkitabiah terhadap Seksualitas)
I. Pengertian
Ada tiga istilah berkaitan dengan “seks” yang
penggunaannya hampir sama dan bahkan kadang tumpang tindih, yakni seks, gender
dan “seksualitas”. Ketiga istilah ini memang memiliki beberapa kesamaan.
Kesamaan yang paling menonjol adalah bahwa ketiganya membicarakan mengenai
“jenis kelamin”. Perbedaannya adalah: seks lebih ditekankan pada keadaan
anatomis manusia yang kemudian memberi “identitas” kepada yang bersangkutan.
Jika seks adalah jenis kelamin fisik, maka gender adalah “jenis kelamin sosial”
yang identifikasinya bukan karena secara kodrati sudah given
(terberikan), melainkan lebih karena konstruksi sosial (satpam dan sekretaris
adalah dua contoh ekstrem mengenai gender, jenis kelamin sosial akibat
dikonstruksi masyarakat).
Sedangkan “seksualitas” lebih luas lagi maknanya
mencakup tidak hanya seks, tapi bahkan kadang juga gender. Jika seks
mendefinisikan jenis kelamin fisik hanya pada “jenis” laki-laki dan perempuan
dengan pendekatan anatomis, maka seksualitas berbicara lebih jauh lagi, yakni
adanya bentuk-bentuk lain di luar itu, termasuk masalah norma. Jika seks
berorientasi fisik-anatomis dan gender berorientasi sosial, maka seksualitas
adalah kompleksitas dari dua jenis orientasi sebelumnya, mulai dari fisik,
emosi, sikap, bahkan moral dan norma-norma sosial.[1]
Seksualitas menyangkut
berbagai dimensi yang sangat luas, yaitu dimensi biologis, sosial, psikologis,
dan kultural.
Sesuai dengan judul yang diberikan oleh Panitia Pertemuan ini, maka kita
akan berbicara pengertian yang disebutkan terakhir tersebut dalam persfektif
Alkitabiah. Akibat langsung
dari pengeksploitasian sepanjang sejarah kehidupan manusia terhadap topik ini maka terjadinya pereduksian pengertian manusia
terhadap seksualitas. Seksualitas
dianggap sebagai sesuatu yang biologis-fisik semata, sehingga maknanya hanya
terfokus pada hubungan badan atau persetubuhan antara pria dan wanita.[2]
Dalam
kitab Kejadian kita melihat bahwa masalah seksualitas manusia itu berkaitan
erat dengan penciptaan Adam dan Hawa. Diciptakannya perbedaan jenis ini
merupakan anugerah Allah yang diberikan kepada manusia sesuai dengan tugasnya
dalam menjalankan misi hidup manusia di dunia ini. Adanya dua jenis kelamin dan sifat-sifat perkelaminan
(seksualitas) bukanlah akibat dari dosa seperti yang dipandang oleh faham-faham
(atau pribadi) tertentu,[3] tetapi seksualitas adalah
bagian dari proses penciptaan Allah yang pada dasarnya baik adanya! Memang kejatuhan manusia dalam dosa telah menyimpangkan
maksud-maksud yang baik itu dan menjerumuskan manusia pada maksud-maksud yang
tidak baik, maka tugas kita saat ini adalah
mengembalikan penyimpangan seksualitas itu pada hakekat seksualitas yang benar.
II.
Pandangan Perjanjian Lama
Pernyataan Perjanjian Lama khususnya Kitab
Kejadian telah mengandung pemahaman orisinal manusia mengenai perbedaan jenis
kelamin. Heteroseksual manusia dipandang sebagai karya pencipta. Allah
menciptakan manusia menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia
laki-laki dan perempuan (Kejadian 1:27). Pada saat bersamaan teks ini berbicara tentang
manusia sebagai gambaran Allah dan sebagai dua jenis kelamin. Allah menciptkan manusia itu dari dua jenis
kelamin yang berbeda dan perbedaan itu menunjukkan bahwa Allah menciptakan
manusia itu menjadi mahluk yang seksual, artinya bahwa manusia itu dapat
mengembangkan kepribadian dan mengalami sukacita,
manusia boleh saling berbagi, saling melayani dan saling
membangun demi berkembangnya sosial dan kepribadian. Dalam seksualitas,
laki-laki dan perempuan bukanlah subjek dan objek yang dikontrol orang lain
tidak ada dominasi. Dalam seksualitas, Allah telah membuat laki-laki dan
perempuan bermartabat dan sederajat.
Tujuan seksualitas dalam Perjanjian
Lama adalah prokreasi (Kejadian 1:28) dan mitra
kerja atau penolong (Kejadian 2:18). Tujuan
pertama mengungkapkan tugas dan berkat, sedangkan tujuan kedua mengungkapkan
saling memiliki dan mengisi.[4] Manusia
diciptakan sebagai makluk seksual. Dimensi seksualitas ini tidak dapat
dilepas-pisahkan dari sejarah hidup manusia. Aktivitas seksual ini yang
memungkinkan kehidupan manusia tetap berlangsung. Oleh karena itu seksualitas
itu sendiri suci dan mulia sebab ditempatkan dalam kerangka partisipasi manusia
di dalam karya penciptaan Allah (co-creator
Dei).
Dalam Kejadian 2
digambarkan bahwa TUHAN Allah pertama-tama menciptakan manusia (=Adam) seorang
diri. Karena itulah maka TUHAN bersabda, “TUHAN Allah berfirman: “Tidak baik,
kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang
sepadan dengan dia.” (Kejadian 2:18) Maka TUHAN pun membentuk dari tanah segala
binatang untuk menemani manusia. Namun ternyata manusia masih tetap merasa
kesepian karena binatang-binatang itu ternyata bukanlah penolong yang sepadan
baginya. Karena itulah maka TUHAN membuat manusia tertidur dan kemudian
menciptakan Hawa (=kehidupan) baginya.
Semua
ciptaan Allah disebut “baik”, tetapi kesepian Adam
yang tidak mempunyai pasangan oleh Allah disebut “tidak baik”. Maka Allah menciptakan manusia sebagai
lelaki dan perempuan. Hawa diciptakan untuk menemani Adam; hubungan
heteroseksual antara mereka sangat berarti dan indah dalam pola ciptaan Allah.
Manusia pada fase kehidupannya sangat membutuhkan lawan seks baik dalam hal
fisik, jiwa, kemasyarakatan,
maupun kerohanian.[5]
Maksud Tuhan
mengaruniakan “Penolong yang sepadan” adalah agar
kedua pasangan menjalin “partnership”, suatu kesatuan sejodoh yang terdiri dari pria dan wanita,
sebagai teman hidup yang saling tolong-menolong, saling
mengasihi dan saling melengkapi. Hal ini disebabkan adanya alasan bahwa
tidaklah baik kalau manusia itu seorang diri saja (Kejadian 2:18-25). Jadi hakekat
seksualitas manusia tidak bisa dipisahkan daripada maksud
Tuhan agar terjadi persatuan hati dan persatuan kasih partnership antara kedua
jodoh itu. Tuhan juga bermaksud agar seksualitas itu
berfungsi “menyatukan” dan “menjadi satu daging” (Kejadian 2:24). Jadi bukan saja seksualitas diciptakan untuk kesatuan hati,
tetapi juga untuk kesatuan badan (hubungan seksual).[6]
Berdasarkan kisah penciptaan ini, tidak
terdapat unsur ketidaksederajatan di dalamnya. Untuk hidup berpasangan inilah
seorang perempuan dan laki-laki bersedia meninggalkan orangtua mereka. Mereka
mendirikan persekutuan yang mencapai puncaknya dalam saling serah diri,
sehingga mereka menjadi satu daging. Dikatakan bahwa hubungan orisinal antara
dua jenis kelamin adalah bebas dari rasa salah dan rasa malu (Kejadian 2:24). Akan tetapi keadaan bebas dari rasa
bersalah dan rasa malu di taman Firdaus tersebut hilang ketika manusia jatuh ke
dalam dosa.[7]
Perjanjian
Lama juga selalu memperbincangkan hubungan seksualitas dengan pendidikan dan
pengajaran terhadap anak-anak, dimana anak merupakan pusaka dan berkat dari
Tuhan, dan orangtua bertanggung jawab penuh terhadap anak-anak mereka (Mazmur 127:1-5; 128:1-6; Ulangan 6:6-9). Sangat
disayangkan bahwa banyak buku tentang seks yang mengabaikan aspek hubungan
seksual ini. Kehamilan, kelahiran dan perawatan anak-anak menjadi beban dalam
pernikahan yang tidak dapat dihindari. Perkembangbiakan telah ditentukan oleh
Pencipta sebagai bagian dari seksualitas itu sendiri.
Contoh penting menyangkut sikap positif
terhadap seksualitas dalam Perjanjian Lama di bagian lain adalah
kenyataan bahwa para nabi kerap kali menggunakan analogi perkawinan untuk
hubungan TUHAN dengan umat-Nya. Hubungan laki-laki dan
perempuan menjadi analogi terbaik dari para nabi dalam menggambarkan hubungan
Allah dengan manusia.[8]
Dari sekian banyak hukum menyangkut bidang seksual, di antaranya memberikan
norma moral yang bernilai tinggi, seperti hukum tentang bestialitas, inses,
perkosaan, perceraian dan pelacuran baik yang dilakukan oleh laki-laki maupun
perempuan.[9]
Dari
bagian Ketuvim (Tulisan, Puisi),
Kitab Kidung Agung adalah contoh yang baik menggambarkan keterbukaan Kitab Suci
terhadap kehidupan dan sisi seksualitas. Seperti yang kita ketahui bahwa Kitab
ini adalah yang pertama dari lima
gulungan (megillot) dalam kanon
Ibrani yang digunakan dalam perayaan-perayaan, biasanya ditentukan untuk dibaca
pada perayaan Paskah, karena pada penafsiran awal Yahudi sering sekali
diartikan bahwa isi di
dalamnya adalah sebagai kitab
yang menggambarkan (analogi)
kasih Allah untuk Israel. Seperti
dalam penafsiran Targum Tradisional, kitab ini selalu dilihat permulaannya
dengan pembebasan dari Mesir, bentuk keseluruhannya merupakan bagian-bagian
liturgi yang dibacakan pada perayaan Paskah selama delapan hari.[10] Ketika kultus masyarakat (bahkan modern
sekalipun) dalam beberapa komuni memandang tabu membicarakan seksualitas, namun
Kidung Agung mengungkapkan keagungan sisi-sisi seksualitas sebagai bagian
integral kehidupan umat Allah.
III. Pandangan Perjanjian
Baru
Yesus memerlihatkan sikap wajar alami
berhadapan dengan seksualitas, dan tidak memberikan tempat kepada sikap
dualistik manikeistis. Yesus memerlakukan perempuan sama seperti laki-laki.
Sejumlah perempuan menjadi murid dan sahabat-Nya (walaupun memang beberapa di antaranya tidak tercatat
namanya).[11]
Ia tidak membiarkan tradisi Yahudi menjadi penghalang bagi sikap-Nya terhadap
perempuan, atau menjadi beban dalam pewartaan-Nya sebagai pembebas para
perempuan. Dalam ajaran dan
sikap-Nya, sama sekali tidak ada indikasi yang menunjukkan bahwa Ia bersikap
negatif terhadap perempuan atau perkawinan. Namun tidak dapat disangkal bahwa
Gereja perdana mengupayakan kontrol diri dan disiplin dalam kehidupan seksual.[12]
Dalam pengajaran-Nya,
Yesus mengatakan bahwa yang dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan manusia
(Markus 10:9). Persekutuan suami-isteri membuat mereka menjadi satu daging.
Keduanya saling menghormati dan sama-sama menjaga kekudusan perkawinan karena
siapapun yang melakukan zinah akan dihukum oleh Alllah, baik zinah secara
badani maupun zinah di dalam hati (Matius 5:27-28). Yesus mengingatkan tujuan penciptaan laki-laki
dan perempuan supaya keduanyan hidup dalam cinta kasih dan bahagia di dalam hubungan seksualitas. Sebagai manusia
jasmaniah yang berlainan jenis dan sebagai manusia yang melayani dan menolong
sesama, mereka punya tanggungjawab dalam bidang seksual. Mereka yang telah
menjadi suami-isteri seharusnya meninggalkan ibu bapanya dan
membentuk suatu persekutuan
keluarga yang mencerminkan persekutuan Tuhan dengan manusia.[13]
Peringatan
untuk menghindari percabulan demi mengikuti Tuhan, melihat tubuh sebagai
kenisah Roh Kudus sangat urgen dibutuhkan. Karena itu, penyembahan berhala yang sering
berkaitan dengan perbuatan bejat, ketamakan dan percabulan mendapat tempat
utama dalam katalog dosa. Dalam 1 Tesalonika 4:3-8 dikatakan bahwa kesucian
yang dikehendaki Allah menuntut sikap menahan diri dan kemurnian dalam
kehidupan pernikahan. Pasangan
suami isteri diingatkan untuk saling setia dalam cinta. Nilai cinta dimuliakan
dengan memberikan kesejajaran di antara ikatan Kristus dan Gereja dengan ikatan
perkawinan. Laki-laki harus mencintai perempuan, dan sebaliknya perempuan harus
mencintai laki-laki sebagaimana Kristus mencintai dan menyerahkan diri bagi
Gereja.
Paulus
pun mengakui kelemahan manusia: “Sebab
aku tahu, bahwa di dalam aku, yaitu di dalam aku sebagai manusia, tidak ada
sesuatu yang baik. Sebab kehendak memang ada di dalam aku, tetapi bukan hal
berbuat apa yang baik. Sebab bukan apa yang aku kehendaki, yaitu yang baik,
yang aku perbuat, melainkan apa yang tidak aku kehendaki, yaitu yang jahat,
yang aku perbuat”
(Roma 7:18-19). Dosa telah
mempengaruhi seluruh kehidupan manusia. Manusia salah mempergunakan seks,
sehingga seks seolah-olah merupakan hal yang berdosa. Namun penebusan Kristus
di atas kayu salib menjamin pengampunan dosa kepada setiap orang percaya, baik
tubuh maupun jiwa. Dalam hal ini, bahagian penebusan Kristus. Kasih dalam
pernikahan orang Kristen (termasuk seks) oleh rasul Paulus, dipakai sebagai
simbol penyatuan Kristus dan gereja-Nya (Efesus
5:30-32).
Banyak agama dan
kebudayaan Timur yang menyangkal keindahan seks sebagai karya Allah. Mereka
menganggap seks adalah najis dan merupakan suatu akibat dosa manusia.
Berdasarkan keyakinan ini, mereka mengagungkan keperawanan dan pertapaan serta
merendahkan pernikahan. Sedangkan menurut iman kepercayaan kita, kita percaya
bahwa ciptaan Allah berlandaskan dua orde, yaitu orde penebusan dan orde
pengudusan. Kedua orde ini berlaku atas tubuh dan jiwa. Apa yang telah
dikuduskan dan disebut baik oleh Tuhan, hendaknya kita terima dengan pengucapan
syukur dan kita hormati sebagai kasih karunia Tuhan (1Timoteus 4:3-4).
III. Akhirnya, sikap kita
Orang beriman akan memandang seksualitas
sesuai dengan yang dikehendaki Allah, bahwa
seksualitas tidak dapat dilepaskan dari kesatuan hati yang saling mengasihi dan
juga kesatuan jasmani sebagai pernyataan kasih itu. Kenikmatan seksual bukanlah
dosa sehingga dengan demikian dianggap perlu dibuang dan
disembunyikan, tetapi merupakan anugerah Allah
yang patut disyukuri yang diberikan kepada mereka yang menikah perlu dicatat
bahwa kenikmatan seksual itu dinikmati sebagai penyalur dan manifestasi kasih
antara suami-isteri untuk mewujudkan maksud “'sedaging” dalam
menjalankan misi kekeluargaan yang diberikan Allah kepada manusia.
Memang harus diakui bahwa masih ada sebagian kecil gereja-gereja fundamentalism yang memandang seksualitas dengan nada
sumbang. Etika seksual dan moralitas sering dipandang sebagai moral pribadi dan
kesucian diri, tetapi kita perlu sadar bahwa soal-soal seksual dan moral adalah
juga masalah sosial yang menutut kesaksian umat Kristen untuk menghasilkan
Etika Seksual yang seturut dengan Kehendak Allah!
Melihat betapa hebatnya serangan media massa
yang menyodorkan faham-faham seksual tidak senonoh melalui film-film dan
majalah-majalah (X-rated/Blue film) terutama situs video telah
dengan leluasa memasuki kamar-kamar anak muda zaman sekarang, termasuk
kamar-kamar orang Kristen.[14]
Sudah tiba saatnya gereja-gereja Kristen dan umat Kristen memulai
program-program pembinaan dan pendidikan seksual secara intensif.
Kita harus menyadari adanya fakta bahwa banyak
rumah tangga Kristen zaman sekarang yang dilanda ketidakbahagiaan seksual,
perzinahan bahkan bisa menyerang kehidupan pelayan gereja
sekalipun. Ketidakbahagiaan menyebabkan makin membudaya kasus-kasus perceraian
menimpa keluarga Kristen. Benar-benar pendidikan dan pembinaan seksual harus
dimulai oleh gereja sejak seseorang memasuki masa remaja dan kedewasaan pemuda.
Bagi keluarga-keluarga perlu pula diberikan pembinaan seksual yang meneguhkan
pernikahan mereka, sebab kalau tidak jemaat akan lebih banyak mendapat
informasi seksual keliru melalui sumber-sumber di luar gereja yang umumnya
menyesatkan.
Ibadat Kristiani perlu ditumbuhkan terus sehingga menuju pada kehidupan yang dipimpin
oleh Roh. “Sebab mereka yang hidup menurut daging,
memikirkan hal-hal yang dari daging; mereka yang hidup menurut Roh, memikirkan
hal-hal yang dari Roh ... Tetapi kamu tidak hidup menurut daging, melainkan
dalam Roh, jika memang Roh Allah diam didalam kamu... Semua orang yang dipimpin
Roh Allah adalah anak Allah.” (Roma 8:1-17).
Harus diakui, gereja-gereja Kristen sering terlalu sibuk
dengan urusan rutin yang bersifat liturgis dan sakramen sehingga melupakan
bahwa pendidikan seksual sangat dibutuhkan oleh jemaat masa kini. Bila dahulu
hal demikian dianggap tabu, dalam situasi dunia bebas masa kini, justru harus
dengan tekun dan rajin dilakukan untuk mencari jawab Tuhan atas masalah-masalah
seksual yang banyak dihadapi jemaat Tuhan masa kini.
Perzinahan juga sering terjadi sebagai akibat
hubungan suami isteri yang tidak harmonis, karena itu persiapan dan pembinaan
bagi jemaat yang memasuki perkawinan maupun bagi suami isteri yang sudah
terikat perkawinan perlu dilakukan dengan rajin karena masa kini godaan dunia
begitu besar khususnya dalam segi penyimpangan seksual. Sering terjadi bahwa kejatuhan orang Kristen
dalam dosa seksual adalah dikarenakan ketidaktahuan, karena itu pendidikan dan
pembinaan seksual harus merupakan bagian dari pembinaan rohani jemaat Kristen
dalam rangka memerangi informasi-informasi seksual yang menyesatkan yang dengan
rajin dan gencar dikampanyekan oleh anak-anak kegelapan masa kini melalui media
massa.
Kita pantas bersyukur
karena telah banyak gereja-gereja
yang telah menyelenggarakan kateksasi pernikahan atau seminar pernikahan yang
benar-benar berdasarkan
firman Tuhan; hal ini perlu makin gencar dibudayakan dalam misi kristiani agar
kita dapat menyiapkan generasi umat Kristen yang baik dan kudus.
[1] Oxford Coincise English Dictionary, “sex”, (Oxford
University Press Software, 1993). Menurut Kamus
Besar Bahasa
Indonesia, kata seks dan seksualitas mempunyai atri
yang berbeda. Seks diartikan sebagai jenis kelamin, hal yang berhubungan dengan
jenis kelamin, dan birahi. Departemen
Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, edisi ke-3, (Jakarta: Balai
Pustaka,2003). Gunawan menyebutkan
bahwa Seksualitas dapat diartikan sebagai ciri, sifat, atau
peranan seks, dorongan seks, kehidupan seks. Rudy Gunawan,
Refleksi Atas Kelamin, (Magelang: Indonesia Tera), 2000
[2] Lihat selengkapnya dalam Jeanne Becher,
Perempuan Agama dan Seksualitas, (Jakarta: Gunung Mulia), 2004.
[3] Misalnya Tertulianus (155-230), Bapa
Gereja, yang memandang seksualitas sebagai
hal yang negatif juga mempunyai sikap yang pesimis terhadap seksualitas. Ia
berpendapat bahwa perkawinan dan perzinahan adalah dua hal yang berbeda dalam
tingkat kesalahannya. Atau pandangan lain, yang
memandang hidup selibat sebagai panggilan yang lebih istimewa dan suci dari
pada perkawinan, karena selibat menjauhkan diri dari kehidupan seksualitas.
[4]Berbeda dengan faham Roma Katolik yang menitik beratkan tujuan
perkawinan/hubungan seksual dalam kaitan dengan prokreasi dan di luar itu
dianggap sebagai dosa, firman Tuhan menjelaskan bahwa seksualitas diberikan
kepada manusia sebagai anugerah untuk disyukuri, dinikmati dengan penuh
tanggung jawab dalam kaitan hubungan kesatuan kasih sejodoh yang sehati, untuk
menikmati hubungan seksual sebagai pernyataan kasih secara badani, dan
selanjutnya untuk membuahkan anak-anak yang menjadi generasi penerus kedua
orang tuanya dalam melanjutkan tugas atau misi manusia di dunia ini.
[5] Dalam Kejadian 1
dijelaskan bahwa setiap selesai dengan satu hari penciptaan-Nya, digambarkan
bahwa “Allah melihat bahwa semuanya itu baik”. Demikian pula ketika Allah
menciptakan manusia dikatakan oleh bahwa Allah memerintahkan agar manusia dan
segala makhluk di bumi ini untuk berkembang biak. “Allah memberkati mereka,
lalu Allah berfirman kepada mereka: “Beranakcuculah danbertambah banyak;
penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung
di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi” (Kejadian 1:28). Dengan
demikian, kita dapat melihat bahwa hubungan seksual (koitus) baik untuk manusia
maupun hewan dan penyerbukan putik oleh benang sari adalah pemenuhan perintah
dari Yang Maha Kuasa untuk melanjutkan spesiesnya masing-masing dan dengan
demikian melestarikan alam ciptaan.
[6]Sudah jelas pula bahwa hubungan demikian adalah hubungan yang
utuh, sehingga
dalam perzinahan, seseorang telah merusakkan hubungan yang wajar yang sesuai
dengan maksud Tuhan dan menjadikan nafsu dan hati mendua sebagai berhalanya. Perzinahan
merusakkan hubungan partnership antara suami dan isteri dan menggantikannya
dengan hubungan gelap, karena itu dalam Alkitab, perzinahan dan poligami
disebut sebagai penyembahan berhala. Di samping tiadanya hubungan partnership
yang saling mengasihi secara utuh dalam perzinahan dan lebih tertuju pada nafsu
birahi dan hati yang bercabang, umumnya hubungan di luar hukum demikian yang
dilakukan secara gelap dan sembunyi-sembunyi berusaha selalu menghilangkan
jejak dengan cara melakukan pembunuhan janin (abortus) bila misalnya hubungan
itu menghasilkan kehamilan, dan bila hubungan zinah itu dibiarkan
berlarut-larut dan tidak diselesaikan dengan segera dan tuntas, hal ini akan
mengakibatkan pecah dan retaknya hubungan keluarga yang sah atau menjurus pada
permaduan yang dalam Alkitabpun sudah banyak contoh menunjukkan akibat-akibat
negatif berupa kehidupan keluarga yang kacau, pertentangan antara kedua rival
(ingat kasus Hanna isteri Elkana; 1 Samuel 1).
[7] Lihat Karl-Heinz Peschke, Etika Kristiani Jilid II: Kewajiban Moral dalam Hidup Pribadi, (Maumere:
Ledalero, 1999), 237-240.
[8] Kisah hidup Nabi Hosea
adalah contoh terbaik untuk analogi ini.
[9] Dalam Alkitab dijelaskan bahwa hubungan seksual yang tidak sesuai dengan Firman
Tuhan dinyatakan menjadi pelanggaran dan pelakunya akan dihukum. Kejahatan
seksual dibagi dalam dua kategori yaitu: pertama, meliputi hubungan seksual dengan
binatang dan hubungan seksual dengan sesamajenis yaitu, homoseksual. Hubungan seks
dengan binatang (bestialitas) dikutuk sebagai suatu pemyimpangan (Imamat 18:23, 20:15-16). Hutang darah
diperhitungkan baik kepada manusia maupun kepada bianatang itu, dan hukuman mati akan diberlakukan
bagi keduanya. Homoseksual yang lazim disebut dengan sodomi, berasal dari kisah
sodom dimana penduduk kota menginginkan hubungan seksual dengan para tamu
laki-laki (Kejadian 19:1-11). Dalam undang-undang alkitabiah mengharamkan hubungan
homoseksual dan memutuskan hukuman mati bagi kedua belah pihak (Imamat 18:22, 20:13). Dan kategori kedua, meliputi
perkosaan dan zinah. Dalam kategori ini ada hal-hal yang dilarang yaitu: Hubungan
seksual yang dilakukan dengan kekerasan atau pemerkosaan adalah kejahatan dan pelakunya haruslah
dihukum mati (bandingkan Kejadian 34) Dina anakYakub yang diperkosa Sikhem dan Amnon yang memerkosa
adik tirinya Tamar (2 Samuel 13). Keduanya dihukum mati, Namun ada kalanya pemerkosa harus dihukum
dengan memberi 50 syikal perak pada ayah perempuan yang diperkosa, juga harus
menjadikan perempuan itu menjadi istrinya (Ulangan 22:29). Zinah adalah perbuatan
yang sangat dilarang oleh Allah dan siapa yang melanggar akan dihukum oleh Allah. Orang yang sudah menikah
dilarang melakukan hubungan seks dengan orang lain yang bukan pasangannya dan
hukumannya adalah hukuman mati (Kejadian 20:11, Ulangan 5:18). Jika laki-laki yang telah menikah berhubungan seksual dengan
perempuan yang sudah menikah maka kedua perzinah ini akan dihukum mati (Imamat 20:10, Ulangan 22:22). Untuk
melengkapi kejahatan seksual dan yang harus dihindari kita akan melihat larangan-larangan
yang terdapat dalam Alkitab: Perbuatan zinah tidak saja terjadi pada saat perhubungan badan namun
membayangkan, memikirkan, berminat dan memandang lawan jenis untuk menjadi
miliknya adalah zinah, menyetujui pendirian tempat prostitusi dan mengunjungi rumah
pelacuran adalah dosa (1
Raja-raja 15:12, 2 Raja-raja 23:7, Ulangan 23:17-18).
[10] C.F. Keil dan F. Delitzsch, Commentary on the Old Testament in Ten Volumes (Vol. VI): Proberbs,
Ecclesiastes, Song of Solomon, (Michigan: Grand Rapids, 1872), 1-2. R.K.
Harisson dengan pendekatan
“harfiah-teologis”nya mengatakan
bahwa sesungguhnya dalam Kidung Agung sama sekali tidak
memiliki unsur bahkan tujuan untuk menggambarkan informasi tentang liturgi atau
institusi perkawinan Ibrani, tetapi lebih kepada penekanan etis dan kesetiaan
cinta/seksualitas. Lihat penjelasannya
dalam R.K. Harrison, Introduction to the Old Testament, (London: Tyndale Press, 1970), 1058ff.
[11] Penjelasan untuk hal ini dapat
dilihat penjelasan yang baik dalam Elizabeth
Scussler
Fiorenza, Untuk Mengenang Perempuan Itu,
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995).
[12] Karl-Heinz
Peschke, Etika Kristiani Jilid II: Kewajiban Moral dalam Hidup Pribadi, 241.
[13] Karena itu seharusnyalah mereka hidup secara bersama untuk
menghadapi dan melaksanakan tugas dan tanggung jawab dalam setiap persoalan
hidup sebagai suami-isteri (Markus 10:7-12). Yesus dalam pelayanan-Nya menghargai apa yang dikerjakan perempuan (Matius 13:13). Kerajaan Allah
diperumpamakan kepada gadis yang menyongsong pengantin laki-laki (Matius 25:1). Kemudian Yesus
mengasihi perempuan berdosa dan pelacur (Lukas 7:36-50).
[14] Pornografi saat ini makin meluas tanpa terbendung lagi lewat media
massa baik tertulis, melalui foto-foto kalender maupun majalah-majalah, dan
lebih efektif lagi secara hidup ditonjolkan melalui media film, video dan acara
TV umum. Di negara-negara maju atau modern sudah banyak dibuka di toko-toko
yang memperagakan dan menjual barang-barang cabul secara terbuka (seks shop) bahkan mempertunjukkan
hubungan seksual secara hidup (life Show)!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar