Komunitas
Kecil, Penuh
Kasih
"Disi diboto hami naeng ro amang pandita sadari on, martangiang do hami
nabodari molo saut pangidoan asa unang ro udan, asa ummura dalanan ni amang
nangkok tu dolok on” (Ketika kami mengetahui bahwa bapak Pendeta akan
datang hari ini, maka kami berdoa semalam supaya hujan tidak datang tadi malam,
agar bapak tidak lebih sulit melewati jalan sampai ke kampung kami), “ujar
seorang ibu separuh baya menyambut kedatangan kami, dengan pelukan penuh kasih.
Kalimat dan pelukan itu langsung saja mampu menghilangkan rasa letih dan peluh
kami setelah menempuh perjalanan panjang dengan medan yang terjal dan sangat
berat. Ibu separuh baya tersebut adalah salah satu anggota jemaat GPP Jambu
Dolok. Gereja ini adalah salah satu gereja jemaat (huria pagaran) di Resort
Pulu Raja – Asahan. Untuk sampai ke sana, dengan mengendarai sepeda motor,
diperlukan waktu tidak kurang dari 4 jam dari Gereja Resort (sabungan),
termasuk melalui jalan yang terjal, licin, dan bebatuan sepanjang >8 km.
Hari itu kami sangat beruntung, doa tulus jemaat dikabulkan karena tadi malam
tidak turun hujan sehingga kami tidak harus menghadapi medan yang lebih sulit
untuk bisa tiba di sana.
Gereja GPP Jambu Dolok berada di desa Jambu Dolok, Kecamatan Pintu
Pohan, Kabupaten Toba Samosir. Gereja ini dirintis pada tahun 2009 yang lalu,
pada saat ini beranggotakan 15 keluarga. Pelayanan GPP hadir di sana untuk
memenuhi kerinduan jemaat akan pelayanan rohani yang pada beberapa tahun
belakangan tidak lagi mereka rasakan, mereka sangat merindukan akan kabar
kesukaan Kristus untuk dapat menguatkan dan meneguhkan iman mereka. St.
Parasian Panjaitan adalah Pimpinan Jemaat dengan dibantu oleh 6 orang penatua
untuk melayani gereja kecil tersebut. Dengan segala kesederhanaannya, tampak
gedung gereja berdiri anggun dengan latar persawahan dan pegunungan hijau nan
asri. Suara gemericik air yang beradu dengan bebatuan di sungai jernih tak jauh
dari gedung gereja menambah nuansa hijau yang menciptakan rasa jiwa yang begitu
damai.
Di hari Minggu itu, Ibadah Minggu
berjalan dengan sangat sederhana, tanpa suara musik atau keyboard, bahkan tanpa
pengeras suara sekali pun. Namun kesederhanaan itu semua membuat ibadah terasa
begitu hikmat, merasuk ke ruang-ruang hati terdalam. Dengan khusuk umat
mengumandangkan pujian sebagai dupa yang harum kepada Bapa yang selalu
memberkati hidup jemaat, Dia yang telah membuat padi-padi mereka mulai
menguning, dan menumbuhkan pohon-pohon karet sebagai sumber kehidupan mereka
sehari-hari. Semua berjalan dengan begitu hangat dan bersahaja.
|
Ibadah diakhiri dengan doa berkat, dan
jemaat saling bersalaman dengan penuh suka cita. Lalu jemaat kembali ke rumah
masing-masing, dan tanpa berlama-lama mereka segera mempersiapkan diri untuk
berangkat ke rumah salah satu jemaat yang telah dihunjuk untuk mengadakan
Kebaktian Rumah Tangga (Partangiangan
Huria). Mengapa Kebaktian Rumah Tangga ini harus diadakan pada hari Minggu
juga? Alasannya, karena pada hari lain, kecuali hari Minggu, sebagian besar
jemaat berada dan menginap di ladang-ladang mereka yang jauh dari perkampungan
(huta), sehingga hanya pada hari
Minggu saja kesempatan mereka untuk dapat bersama di perkampungan. Kebaktian
Rumah Tangga hari itu juga berlangsung hikmat, dengan kopi yang disajikan
hangat oleh pemilik rumah.
Akses komunikasi juga tidak mudah, hanya di beberapa
titik tertinggi di desa itu yang terjangkau jaringan seluler. Jaringan listrik
masih sebuah impian. Membeli kebutuhan pokok dan menjual hasil kebun juga harus
menuruni gunung tidak kurang dari 8 km ke perkampungan di pinggir jalan besar.
Pernah suatu ketika, karena keterbatasan bahan untuk melakukan Perjamuan Kudus
dan tidak mungkin lagi membeli ke kota, maka kami harus menggunakan kopi
sebagai pengganti anggur perjamuan. Darah Kristus hadir di dalam kopi
perjamuan. Dan menariknya, Perjamuan itu adalah salah satu Perjamuan Kudus yang
paling khusuk yang pernah saya ikuti. Kenangan itu tidak pernah akan
terlupakan.
Setelah menyegarkan diri dengan berendam di sungai
yang sangat jernih dan dingin, hari pun beranjak malam. Hampir semua jemaat
datang berkumpul di rumah tempat kami menginap dan menghabiskan malam dengan
bercerita. Penuh tawa dan kehangatan. Dari hal mendiskusikan Firman Tuhan,
membicarakan program gereja, sampai kepada curhatan-curhatan kecil tentang
kehidupan rumah tangga mereka, semua saling menanggapi disertai dengan
candaan-candaan ringan. Dalam segi pembangunan, ternyata dengan segala
keterbatasan mereka, jemaat dengan swadaya sedang dalam tahap penyelesaian
penggantian atap (seng) gereja.
Namun demikian, mereka juga masih
tetap bergumul bagaimana caranya untuk dapat mencat ulang gedung gereja yang
warnanya sudah kelihatan mulai kusam dan pudar, serta mewujudkan harapan untuk
memiliki lonceng (giringgiring)
gereja. “Semoga ada pihak yang mau membantu kami, ya amang,“demikian harapan
yang mereka sampaikan malam itu.
Tak terasa sudah larut malam, sampai ada seorang
penatua mengatakan, “nidok rohangku nunga
boi modom ma hita, nga loja amang panditanta jala manogot ingkon mulak tu
ingananna nasida” (tampaknya kita sudah harus istirahat, bapak Pendeta kita
juga sudah terlihat lelah dan esok pagi juga beliau harus berangkat). Kaum
bapak memilih untuk tidur bersama di rumah tempat kami menginap, dengan
obrolan-obrolan ringan sebagai penghantar keperaduan.
Sebelum tidur saya membayang-bayangkan: seandainya
persekutuan di gereja-gereja kita yang lain juga memiliki kehangatan seperti
apa yang mereka miliki ini, tentu akan terasa lebih bermakna persekutuan kita.
Saling peduli, berbagi bersama, mencari tahu alasan mengapa seorang dari antara
jemaat tidak dapat hadir di tengah mereka, saling mendoakan, mendiskusikan
pergumulan gereja bersama, dan selalu merindukan berita kesukaan Yesus Kristus.
Ini semua membuat saya bertanya dalam hati, mengapa kasih yang seperti itu
semakin jarang kita temui di gereja kita? Apa mungkin karena mereka ini masih
di perkampungan terpencil ya, sedangkan kita hidup di tempat yang sudah lebih
maju. Atau karena mereka belum tersentuh dampak kemajuan, sedangkan hidup kita
sudah di dunia internet? Atau mungkin karena gereja kita sudah semakin besar,
ya? Atau mungkin kita sudah terlalu sibuk dengan diri kita sendiri sehingga
kita tidak sadari lagi pentingnya sebuah persekutuan yang hangat? Seandainya
persekutuan kita sehangat persekutuan gereja kecil ini. Seandainya kita bisa
lebih peduli. Seandainya kita mau turut bergumul dengan apa yang dirasakan oleh
teman-teman kita. Seandainya, seandainya... Ah, cukuplah saya berandai-andai,
karena malam sudah semakin larut, hawa dingin dan suara alam Jambu Dolok memaksa
saya harus segera bersembunyi di balik selimut tebal. Namun satu hal yang
pasti, persekutuan yang hangat ini akan selalu di hati. Wajah Kristus telah
hadir di dalam setiap senyuman dan tindakan kasih di wajah dan hidup mereka.
Tuhan memberkati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar