Kamis, 01 November 2018

GEREJA DAN PEREMPUAN

(Refleksi Keikutsertaan Aktif Perempuan dalam Pelayanan Gereja)


Dulu, nun jauh di seberang lautan sana, hiduplah seorang gadis manis bernama Hester Needham. Ia lahir 23 Januari 1843 di kota yang dikenal sebagai salah satu pusat industri dunia ketika itu, London ibukota Inggris Raya, dan memiliki pengalaman yang cukup baik. Dia mahir melukis, pernah bekerja di luar negeri (Italia), aktif dalam organisasi keperempuanan dan pemuda juga seorang Guru Sekolah Minggu yang kreatif.
13 April 1889, ia menerima surat edaran yang berisikan kebutuhan Guru Perempuan Kristen di wilayah Afrika, Tiongkok, Jawa, Kalimantan, dan juga: Sumatera. Setelah melapor kepada Pdt. Dr. A. Schreiber di Barmen (Jerman), maka dipastikanlah bahwa Needman diutus ke Sumatera, Tapanuli, Silindung, Pansurnapitu. Needham tiba di Teluk Sibolga pada tanggal 10 Desember 1889. Inilah saat yang merupakan awal kegiatan dan pelayanan yang terarah kepada perempuan Batak. 16 Desember 1889, bersama Pdt. Meerwaldt ia sampai di Pansurnapitu, dan mereka segera berjalan-jalan melihat sekolah-sekolah yang ada di sana. Namun hatinya begitu teriris, air matanya menetes melihat kenyataan tidak ada satupun perempuan Batak yang duduk di bangku sekolah! Sejak saat itulah ia berjanji akan setia melayani perempuan Batak.

Secara terencana dan teratur, Needham mendidik perempuan Batak: anak-anak, remaja, gadis, ibu-ibu muda dan tua. Ia juga pergi mengunjungi desa-desa lain dan mengumpulkan gadis dan ibu-ibu untuk diajar menulis dan membaca, kerajinan rumah tangga, dan tentang Firman Allah. Bahkan di suatu periode, dikisahkan pula bahwa Needham juga pernah hidup di suatu ladang bersama satu keluarga penderita kusta, untuk mengurus mereka sampai sembuh! Walaupun masa pengabdiannya tidak berapa lama karena kesehatannya, namun sejarah Injil di Tanah Batak pasti akan selalu mengenang Needham, seorang perempuan Inggris, sebagai pelopor pengembangan Perempuan Batak dalam peran mereka sebagai pribadi yang memberikan arti dalam keluarga dan gereja.
Zuster Elfriede Harder
Selain Hester Needham, ada beberapa nama lain yang juga berperan dalam proses pemberdayaan perempuan Batak, sebut saja Lisette Nieman (Jerman) melayani di Laguboti, Agusta Weltneek (Jerman) juga di Laguboti, Kate Dimbleby dan Emely Dutton di Sipoholon, serta Nona Thora van Wedel di Pearaja. Satu nama lagi yang penting juga untuk diingat adalah: Zuster Elfriede Harder. Dia adalah salah seorang tenaga missionar yang diutus RMG datang ke Tanah Batak. Lahir 26 Juli 1896 di Berlin. Dibesarkan oleh neneknya setelah ibunya meninggal pada usianya kurang lima tahun. Doa neneknya mengenai Elfriede Harder adalah: “ya Tuhan, jika engkau mengijinkan dia hidup, jadikanlah dia sebagai pengajar.”
Elfriede adalah penggagas pendirian Sekolah Bibelvrouw, 01 Agustus 1934 di Narumonda. Inisiatif pendirian sekolah ini adalah bermula dari kursus Alkitab yang dilakukannya terhadap kamu perempuan yang sudah janda sejak tahun 1930 di Laguboti. Antusias kaum perempuan saat itu terhadap aksi pendekatan Elfriede sangat hebat. Elfriede melihat ketidakseimbangan antara status laki-laki dan perempuan yang telah menikah. Perempuan yang telah janda, ada kesan pada saat itu orang yang tidak berharga. Mereka-mereka ini dianggap sebagai: “ina na dibolongkon” (ibu yang terbuang). Dia rajin mengunjungi mereka-mereka yan telah janda dan pada akhirnya mengorganisir mereka melalui suatu kursus Alkitab di Laguboti.
Di samping pengajaran Kursus Alkitab, ia juga mengajarkan keterampilan martonun (bertenun), mengajarkan tentang hidup bersih, hidup disiplin dalam bekerja dan dalam hidup spiritualitas. Satu hal yang tidak akan pernah lekang dari seorang Elfriede Harder adalah karya tak kenal lelah dalam mengumpulkan nyanyian-nyanyian rohani yang saat ini kita kenal di Buku Ende Batak Toba sebagai bagian “Haluaon Na Gok” (Keselamatan yang utuh).[1]
Perempuan Dalam Alkitab
Perempuan memiliki peran penting selama masa pelayanan Yesus di bumi ini. Banyak perempuan yang menjadi sahabat dan pengikut setia Tuhan Yesus (Matius 27:55-56; Lukas 23:49,55). Tidak diragukan juga bahwa para perempuan-lah orang-orang yang terakhir meninggalkan Salib Yesus dan juga yang pertama melihat Yesus yang bangkit (Lukas 23:55; 24:1-12). Di samping itu, semasa hidup-Nya perempuan selalu mengikuti Yesus dalam setiap perjalanan pelayanan-Nya dan selalu membantu Yesus dan murid-murid (Lukas 8:1-3). Jelas terlihat bahwa Yesus tidak melarang perempuan melakukan pelayanan bahkan Yesus juga menginginkan perempuan mendengarkan pengajaran-Nya dan melupakan semua kesibukan rutinitas perempuan demi pendengaran firman Allah (Lukas 10:38-42). Laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama dalam pendengaran firman Allah.
Bahkan sebenarnya jauh sebelum kehadiran Yesus di dunia ini, Kisah Penciptaan dalam Kejadian 1:26-27 juga sudah mengungkapkan ide kesetaraan gender – sesuatu yang merupakan hal yang belum populer secara sosio-kultur pada zaman itu.[2] Tetapi penulis Kisah Penciptaan tersebut menyatakan bahwa Allah yang menciptakan manusia: laki-laki dan perempuan. Kedua jenis kelamin tersebut adalah bagian dari manusia, yang keduanya berdiri setara. Keduanya merupakan gambar Allah, yang saling melengkapi, tidak ada yang mendominasi.
Lebih jauh, bila kita mau mengerti bahwa Kisah Penciptaan dalam Kejadian 1 tersebut merupakan bagian penting dalam liturgi pada ibadah Israel di bait Allah[3] maka pengertiannya akan menjadi sangat jelas: perempuan, sebagaimana laki-laki memiliki hak dan peranan yang signifikan (penting) dalam ibadah dan pelayanan. Tidak ada alasan yang dapat memberangus keikutsertaan dan keaktifan kaum perempuan dalam pelayanan gereja, apakah itu faktor dogmatis, budaya, streotipe atau yang lainnya.[4] Secara global, reinterpretasi teks-teks suci yang membuahkan kesetaraan dan keadilan harus selalu dikumandangkan.[5]
Perempuan Gereja: saat ini dan lebih jauh lagi
Sejak semula gereja ini berdiri, tidak dapat dimungkiri bahwa kaum perempuan telah banyak terlibat dalam perjalanan dan pengembangan dari banyak sisi pelayanan. Kebersediaan gereja menahbiskan pelayan perempuan dapat dikatakan sebagai cikal-bakal peran serta yang lebih aktif perempuan gereja dalam pelayanannya. Sungguh suatu fakta yang baik bagi keterlibatan aktif kaum perempuan dalam pelayanan gereja.[6]
Yang menarik, di kalangan pelayan di tingkat Jemaat pula, di samping bagaimana sejak dulu dominasi kaum perempuan yang menjadi Guru-guru Sekolah Minggu, ternyata hampir mayoritas gereja kita juga telah menuju kesetaraan penuh bagi kaum ibu untuk menjadi penatua yang melayani gereja-gereja lokal kita.[7] Bukankah hal tersebut merupakan proses perubahan yang sangat positip mengingat budaya patriakhat (garis keturunan dan adat pada laki-laki) ketimuran kita yang begitu kental? Pernah kah kita sadari bahwa hasil didikan mereka-mereka inilah yang akan menjadi masa depan gereja? Sehingga dengan ini peran kaum perempuan menjadi jelas: tiang bagi keberlangsungan gereja! Oleh karenanya, bersama-sama dengan gereja maka kaum perempuan harus memerlengkapi dirinya menjadi “ibu” yang baik bagi para penerus gereja tersebut.
Bahkan, seharusnya perempuan memiliki ruang yang lebih luas dalam perannya di gereja bila diperbandingkan dengan persentase kehadiran perempuan dalam persekutuan dan ibadah. Perempuan tidak lagi hanya layak sebagai pelaksana kebijakan, namun turut serta dan memberikan sumbangsih dalam menentukan dan memutuskan arah dari kebijakan dan program-program gereja.
Bagaimana dengan peran mereka dalam keluarga? Keluarga sebagai sel utama yang membentuk unit dasar dalam masyarakat, keluarga membentuk dan dibentuk oleh kekuatan-kekuatan eksternal di sekitarnya. Peranan keluarga sangat besar bagi pembangunan masyarakat, maka perempuan (ibu) merupakan ”guru” utama yang menginterpretasikan kasih dalam dunia dan masyarakat bagi anak-anaknya atau keluarganya, bahkan sesama-nya dalam masyarakat itu sendiri. Mereka menerjemahkan arti-arti penting yang dimiliki oleh ke-kuatan-kekuatan luar, serta melindungi individu-individu dari kontak langsung dengan masyarakat. Nilai-nilai Kristus yang mereka tanamkan kepada jiwa setiap anak adalah pelayanan “implisit” yang akan tak ternilai maknanya. Karenanya kita menjadi tersadar: bahwa Gereja dan keluarga akan selalu membutuhkan “Needham-needham” baru di sepanjang perjalanannya di dunia ini.


[1] Banyak buku mengabadikan sejarah kedua tokoh ini, misalnya Irene Girsang dan Julia Besten, Menabur Kasih Berbuah Berkat, (UEM , 2011), Biro Perempuan HKBP, Perempuan Menyatu dalam Visi dan Misi, (Tarutung, 1991).
[2] Lihat penjelasan dan tafsiran yang lebih lengkap ini dalam Roy Charly HP Sipahutar, Kemitrasejajaran Perempuan dan Laki-laki, Skripsi Strata Satu, Tarutung: STAKPN, 2004, tidak diterbitkan.
[3] Hampir seluruh sarjana Perjanjian Lama modern sepakat dengan hal ini. Misalnya Norman K. Gottwald, The Hebrew Bible, (Philadelphia: Fortress Press, 1987) dan Robert B. Coote dan David Robert Ord, Pada Mulanya, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011).
[4] Hal ini menarik, marginalisasi dan vitimalisasi perempuan, isu perempuan yang tidak boleh menjadi pemimpin sering sekali dihembuskan ideologi agama. Bahkan sampai saat ini juga ada denominasi yang masih tidak memerkenankan perempuan menjadi pendeta!
[5] Seperti Martin L. Sinaga, saya sependapat perlunya dipertimbangkan pendekatan feminis postmodernis, yang selalu menantang terhadap klaim-klaim kebenaran. Lihat selengkapnya dalam L. Sinaga, Meluaskan Horison Tafsir Perempuan: Tanggapan dari Persfektif posmodernisme, (Forum Biblika 10, 1999).
[6] Menarik juga ini, Almanak HKBP 2017 menunjukkan adanya peningkatan Pendeta perempuan, mungkin hampir sepertiga. Anehnya, dalam sebuah perbincangan dengan seorang pimpinan sinode gereja, beliau menyebutkan pertumbuhan pendeta perempuan ini juga sebuah ancaman bagi efektifitas pelayanan gereja. Menurut saya hal tersebut merendahkan martabat kemanusiaan.
[7] Sesuai dengan pengalaman dan pengamatan penulis selama berjemaat di beberapa daerah, mereka dengan senang hati bersedia menjadi Guru-guru Sekolah Minggu di jemaat-jemaat lokal, tanpa pamrih sekalipun!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar