Minggu, 22 Oktober 2017

ECCLESIA SEMPER REFORMANDA EST



ECCLESIA SEMPER REFORMANDA EST
(Gereja selalu direformasi)
Oleh: Pdt. Roy Charly HP Sipahutar, M.Th[1]

Tulisan ini merupakan salah satu upaya menziarahi semangat Reformasi Gereja yang akan dirayakan setengah milleniumnya pada 31 Oktober yang akan datang. Merefleksikan semangat yang tak akan diredup waktu, sebagai nafas gereja-gereja yang menamakan dirinya reformis.

Pengistilahan
Istilah “Ecclesia Semper Reformanda Est” (gereja yang selalu direformasi) sebenarnya memang tidak datang dari Martin Luther secara langsung, tetapi tak dapat disangkal bahwa pengistilahan ini telah menjadi hakekat dari gereja reformis yang terus dikumandangkan para pengikutnya. Semper Reformanda artinya adalah Gereja yang terus membaharui diri, reformasi selalu. Membaharui berarti membuat baru lagi sesuatu yang ada.
Untuk menolong kita memahami pengertian ini saya akan memulai dengan teks Ratapan 3:22-23: “Tak berkesudahan kasih setia Tuhan, tak habis-habisnya rahmat-Nya, selalu baru tiap pagi, besar kesetiaan-Mu.” Dari hal ini dapatlah kita pahami:
1.  Dalam konteks Kerajaan Allah, pembaharuan (“selalu baru tiap pagi”) berada dalam arus kekal, terus-menerus, tak berkesudahan, tak habis-habisnya.
2.  Inti dari pembaharuan ada pada “kesetiaan”. Jadi pembaharuan adalah perubahan dengan kembali kepada yang kekal, pada kesetiaan.

Nas kedua yang dapat menjadi dasar kita yaitu, Yeremia 31:33: “Aku akan menaruh Taurat-Ku dalam batin mereka dan menuliskannya dalam hati mereka; maka Aku akan menjadi Allah mereka dan mereka akan menjadi umat-Ku.” Pembaharuan ada pada penulisan Hukum Taurat yang sudah ada, yang dulunya ditulis dalam batu, sekarang dalam hati. Reformasi dalam hal ini dapat dipahami adalah pembaharuan untuk menghidupi Firman Allah.
Sehingga, Semper Reformanda dalam terang kedua nas di atas adalah adanya suatu pembaharuan gereja yang berlangsung terus-menerus. Berlangsung terus menerus untuk menjamin berlangsungnya ajaran yang murni, Alkitabiah, dan berdasarkan inisiatif Allah semata. Gereja yang menyadari perlunya usaha untuk selalu merenung dan memerbaiki diri di sepanjang zaman.

Reformasi Gereja
Reformasi[2] gereja yang terjadi di Eropa Barat tidak dapat terlepas dari keadaan masyarakat Eropa Barat dan organisasi gereja-gereja yang ada pada saat itu. Dalam struktur hirarki gereja, hirarki tertinggi adalah Paus yang berdomisili di Basilica St. Petrus (Roma). Oleh karena itu, Paus memiliki wewenang yang begitu besar dalam gereja, namun wibawanya mulai berkurang. Setiap raja-raja dan kaisar-kaisar ingin menguasai daerah pemerintahannya sendiri, begitupun gereja-gereja yang ada dalam wilayah kepemimpinannya, walaupun tetap saja ada yang masih loyal terhadap Paus. Pada saat itu pula perekonomian di Eropa sedang mengalami perkembangan yang begitu pesat sehingga sistem sosial yang ada sebelumnya tidak cocok lagi dengan kenyataan yang ada pada saat itu. Oleh karena perkembangan ini, masyarakat mulai kritis pada keadaan yang ada dan berlaku dalam masyarakat. Gereja menjadi sasaran empuk yang dikritisi oleh masyarakat karena gereja merupakan salah satu tiang penyangga bagi masyarakat pada saat itu. Masyarakat sudah gerah dengan sistem feodalism, dan gereja merupakan salah satu pemraktik terhebat berabad-abad sistem kuno tersebut.
Demikian pula, dampak renaisans abad ke-15 nyatanya sangat kuat dalam kebudayaan Eropa secara umum, mulai munculnya keinginan untuk memelajari akan kebudayaan Yunani dan Romawi sehingga orang-orang ingin kembali pada dunia kebudayaan kuno mereka, sampai semangat untuk membaharui banyak hal dalam kehidupan masyarakat. Sikap ini juga yang memengaruhi akan munculnya reformasi karena mereka terdorong untuk memelajari Alkitab dalam bahasa asli.[3]
Awal timbulnya reformasi gereja adalah perbedaan antara teologi dan praktek gereja dengan ajaran Alkitab seperti yang ditemukan oleh Luther.[4] Namun  pemimpin-pemimpin gereja pusat tidak menyadari akan bahaya yang mengancamnya. Paus Leo X dan tokoh-tokoh gereja lainnya sibuk memikirkan akan pembangunan gereja raksasa, yaitu gereja Santo Petrus di Roma, yang melambangkan keagungan Gereja Barat. Lalu demi kepentingan akbar itu, Paus pun membungkusnya menggunakan “alat rohani” dengan menyarankan kepada Uskup Agung Albrecht dari Mainz untuk memerdagangkan surat penghapusan dosa (Indulgensia) secara besar-besaran di Jerman.
Perdagangan Indulgensia dengan maksud “tertentu” ini awalnya tidak diketahui oleh umat Kristen dan Luther pun tidak mengetahuinya. Namun cara menjalankannya menimbulkan suatu kecurigaan tersendiri. Surat kuasa yang diberikan Albrecht kepada para penjual menimbulkan sangkaan bahwa surat penghapusan siksa itu juga dapat menebus dosa.
Johan Tetzel, seorang Dominician merupakan kepala penjualan indulgensia ini. Tetzel melakukan propaganda besar-besaran yang mengosongkan dompet rakyat Jerman untuk mengisi kantong Albrecht dan Paus Leo X. Syarat indulgensia yaitu penyesalan yang sungguh-sungguh tidak disebut lagi. Para pembeli mengaku dosa pada rahib-rahib yang tidak mereka kenal. Rahib-rahib ini membantu Tetzel dalam melancarkan akan penjualan indulgensia itu. Tetzel memerdaya masyarakat bahwa indulgensia selain mengahapus dosa pembeli juga dapat melepaskan akan keluarganya dari api penyiksaan di alam seberang. Kata-kata Tetzel yang melegenda berbunyi: “As soon as the money jingles in the chest, the soul springs out of  Purgatory”.[5]
Bereaksi pada penyalahgunaan indulgensi itu, Martin Luther pada vigili (malam berjaga, malam sebelum hari raya Paskah) hari raya semua orang kudus (31 Oktober 1517) menyusun 95 dalil yang dia tempelkan pada pintu gereja di Wittenberg, sesuatu hal yang lumrah pada masanya. Maksud awal dari apa yang dilakukan oleh Luther adalah untuk mendiskusikan secara terbuka hal-hal yang menjadi pergumulan umat dan gereja, dan seandainya saja gereja tidak berlebihan menanggapi secara negatif maka tidak akan ada perpecahan ini – seandainya. Banyak orang tertarik pada gagasan Luther, dari kalangan akademisi sampai rakyat biasa. Tentu saja, dampaknya adalah dalam waktu singkat penjualan indulgensia itupun kehilangan untung besar. Hal ini menimbulkan kemarahan besar bagi Albrecht dan banyak orang lainnya yang terkait dengan penjualan indulgensia itu. Bahkan Luther pun dituduh sebagai seorang penyesat.[6]

Memaknai “Ecclesia Semper Reformanda Est
Pada hakekatnya Martin Luther membawa kehidupan gereja pada perihal yang seharusnya di mana Kristus (Latin: Solus Christus) adalah utamanya. Solus Christus sebagai inti dari sola gratia (hanya oleh anugerah) yang diterima dengan sola fide (hanya oleh iman) dengan berlandaskan sola scriptura (hanya Alkitab), yang segalanya bertujuan untuk soli Deo Gloria (pujian hanya bagi Tuhan).[7] Rumusan tersebutlah yang terus-menerus harus disegarkan ulang, atau dibaharui ulang dalam kehidupan bergereja sehingga hakekat “reformanda est” (selalu direformasi) adalah pola hidup utama gereja demi kemuliaan Tuhan. Apa yang membuat gereja kita tetap menjadi gereja reformatoris adalah semangat mau selalu membaharui itu sendiri. ”Reformanda est adalah sebuah gerakan (movement): bak sebuah sungai yang bergerak terus sampai pada saatnya mencapai lautan lepas. Sekali air itu berhenti, ia akan menjadi rawa yang menyimpan kematian.
Reformanda est” adalah sebuah proses (reforming) yang tanpa henti, bukan sekadar menjadi sebuah peristiwa tunggal masa lalu (reformed) yang harus dibakukan dan dibekukan sepanjang sejarah, sehingga ia tidak lebih dari sebuah monumen semata. Ia adalah gerak dan nafas gereja! Semangat ini juga menunjukkan dan mengingatkan dengan baik keyakinan kita bahwa gereja tidak pernah sempurna. Hanya Allah yang sempurna. Dan justru di dalam ketidaksempurnaan ini kita terus berlari dan berproses, dengan cara mengakui keterbatasan kita kini di sini dan mencoba menemukan celah dan jalan baru menggereja ke masa depan.

Hidup dalam Gereja yang selalu di Reformasi
Pengalaman berjemaat mengajarkan kita bahwa tidak sedikit jemaat lokal yang telah mengalami pertumbuhan yang baik dan signifikan, bukti bahwa ia mau berubah – mau direformasi. Menghadirkan pelayan penuh waktu di setiap gereja, misi yang lebih luas tidak hanya di dalam “gedung” gereja semata (termasuk kesehatan, pendidikan, perekonomian anggota jemaat), transparansi manajemen dan keuangan gereja, sampai kepada evaluasi berkala atas program yang telah dijalankan, itu semua merupakan bagian dari kebaharuan yang memang menjadi ciri khas dari gereja reformasi. Kita telah melaksanakannya, dan harus selalu baharu.
Namun, di sisi lain, kita tidak dapat juga memungkiri adanya beberapa jemaat lokal di berbagai penjuru yang masih agak sulit untuk menerima perubahan, tentu saja perubahan kebaharuan menjadi gereja yang bertumbuh. Untuk beberapa gereja sistem primordialism[8] yang menjadi kendala utamanya, yang lain mungkin sumber daya manusia sebagai faktor sulit menerima perubahan. Sehingga, untuk ini ternyata masih merupakan pekerjaan rumah yang tidak sederhana bagi gereja yang kita cintai untuk menyadarkan esensi gereja reformasi itu sendiri kepada keseluruhan kita, yaitu: mau dan harus berubah! 
Ya, gereja harus mau berubah, bahkan perubahan itu adalah nafas dari gereja itu sendiri. Tuhan tidak berubah, tetapi gereja harus selalu berubah! Apa yang dilakukan Luther tentu tidak terlepas dari rasa sadarnya terhadap perkembangan teknologi pada saat itu. Luther sadar bahwa lebih setengah abad sebelumnya terjadi lonjakan besar di dunia dengan ditemukannya mesin cetak oleh Johannes Guttenberg.[9] Ini merupakan peluang besar selain untuk kepentingan penggandaan ide-ide teologisnya yang brilian tetapi yang lebih utama adalah cita-citanya untuk menjadikan Alkitab yang semula adalah hanya sebagai konsumsi terbatas rohaniawan dan akademisi menjadi buku suci yang dimiliki setiap umat. Lalu segeralah Alkitab diterjemahkan ke dalam “bahasa awam” dan di sanalah ledakan reformasi yang sesungguhnya. Refleksi untuk ini, gereja sepanjang abad yang tidak sadar atas perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi maka layaknya sulit mengakui bahwa ia bagian dari cita-cita reformis.
Praksis hidup, semangat reformatoris menekankan kesetaraan imamat bagi setiap pribadi dalam dunia kerjanya masing-masing. Ini artinya bahwa Luther dan lainnya mengubah paradigma tua dualistik dunia kerja: suci dan sekular, gereja dan pekerjaan di luar gereja. Pola yang selalu ditanamkan tentang keutamaan imam gereja dibandingkan dengan yang lainnya sama sekali tidak mencerminkan universalism keselamatan yang dianugrahkan oleh Sang Juruselamat yang dipercaya oleh gereja itu sendiri. Sehingga ini adalah bentuk kegembiraan reformis, setara dalam dunia kerja, tidak ada yang boleh diklaim lebih “kudus”, yang masing-masing ditempatkan sebagai perpanjangan tangan Allah demi kebaikan.
Gereja harus tetap terjaga, mawas diri. Sejarah telah membuktikan bahwa di saat gereja merasa “kenyang” dalam status quo-nya, maka saat itu pula godaan untuk “tertidur” semakin besar. Ketika ia terlena hanya terhadap ritualism dan hirarkism formal, bukankah seharusnya gereja lebih berarti bagi ruang-ruang sosial kemanusiaan? Kemiskinan, kelaparan, ketidakadilan, rongrongan kapitalism dan lainnya adalah tempat yang baik bagi gereja untuk menyatakan imannya. Ingat, sejarah juga mengajarkan kepada kita bahwa selalu ada “gerakan” – yang kita percaya bersumber dari Roh Tuhan – untuk membuatnya kembali terjaga dan mengintropeksi apa yang telah dijalaninya. Munculnya aliran-aliran baru dalam sejarah gereja, walau tentunya kita juga harus malu akan hal ini, menunjukkan bahwa selalu ada alat yang dipakai oleh Tuhan untuk menjaga gereja-Nya agar tetap hidup menjadi “gereja”. Mawas dirilah selalu.

Ecclesia Semper Reformanda est!


Bahan bacaan:
Aritonang, Jan S. Berbagai Aliran di Dalam dan di Sekitar Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000).
Berkhof, H. Sejarah Gereja. (Jakarta: BPK Gunung Mulia,1994).
Kooiman, W.J. Martin Luther: Doktor dalam Kitab Suci dan Reformator Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001).
Lane, Tony. Runtut Pijar: Sejarah Pemikiran Kristiani, (Jakarta:  BPK Gunung Mulia, 1996).
McGrath, Alister E. Sejarah Pemikiran Reformasi, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996).
Rogers, J. B. dan D. K. McKim, The Authority and Interpretation of the Bible, (San Fransisco: Harper & Row, 1979).
Rogerson, J., C. Rowland dan B. Lindars, The Study and Use of The Bible, (Grand Rapids: Erdmans, 1998).
van den End, Th. Harta Dalam Bejana, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996).



[1] Roy Charly HP Sipahutar, M.Th. Menyelesaikan Program Magister Theology di STT GMI Bandar Baru (2013), melayani sebagai Pendeta di Gereja Protestan Persekutuan (GPP), Dosen Biblika Perjanjian Lama di STAKPN Tarutung.
[2] Reformasi itu sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah perubahan radikal untuk perbaikan dalam suatu masyarakat atau agama, baik itu dalam bidang politik, sosial, maupun agama. Istilah reformasi secara langsung memberikan kesan bahwa kekristenan Eropa Barat sedang diperbaharui. Namun Reformasi gereja yang dimaksud pada awalnya merupakan suatu gerakan yang ingin memperbaiki hal-hal tertentu saja dalam Gereja Katolik. Sebenarnya ada beberapa tokoh reformasi, sebut saja Yohannes Calvin dan Ulrich Zwingli, tetapi Luther mendapatkan perhatian lebih di sini, ya disebabkan dia adalah pemantik gerakan ini.
[3] Alkitab yang digunakan pada saat itu berbahasa Latin (Vulgata, buah karya Jerome) sehingga yang mengerti akan isi Alkitab itu hanyalah Paus dan rohaniawan, akademisi.
[4] Tokoh besar reformasi selain Martin Luther adalah Yohannes Calvin. Namun sebelum kedua tokoh ini juga sudah ada dua tokoh yang terlebih dahulu ingin merubah beberapa hal dalam gereja. Kedua tokoh itu adalah John Wycliffe dari Inggris (1328-1384) dan Johannes Hus dari Ceko (1373-1415). Namun kedua tokoh ini tidak berhasil dalam melakukan perubahan dalam gereja karena tidak mendapat dukungan dari siapapun. Bahkan Hus dibakar hidup-hidup, hasil konsili Constranz (1414-1418).
[5] Terjemahan bebas: “Begitu mata uang bergemerincing di dalam kotak, jiwa yang sedang menanti di api penyucian pun akan terlepas”.
[6] Untuk uraian yang lebih dalam dapat dibaca dan telah dijelaskan dengan baik dalam buku “Sejarah Gereja”, oleh: H.Berkhof, terbitan: BPK Gunung Mulia Jakarta.
[7] Sebenarnya, untuk Kitab Suci, apa yang dilakukan Luther adalah sesuatu yang sudah sangat bersifat “kritis” pada zamannya. Ingat, apa penilaiannya terhadap Surat Yakobus.
[8] Primordialisme adalah sebuah pandangan yang memegang teguh hal-hal yang dibawa sejak kecil, termasuk kepercayaan dan adat. Dalam masyarakat Batak khususnya, ungkapan “sisuan buluh”, “hami do naumboto na denggan di hami” atau “tona ni naparjolo” adalah contoh yang baik.
[9] Menariknya, ide cemerlang mesin cetak ini awalnya untuk memudahkan penggandaan surat indulgensia!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar