Jumat, 16 Agustus 2013

GPP Jambu Dolok




Komunitas Kecil, Penuh Kasih



"Disi diboto hami naeng ro amang pandita sadari on, martangiang do hami nabodari molo saut pangidoan asa unang ro udan, asa ummura dalanan ni amang nangkok tu dolok on” (Ketika kami mengetahui bahwa bapak Pendeta akan datang hari ini, maka kami berdoa semalam supaya hujan tidak datang tadi malam, agar bapak tidak lebih sulit melewati jalan sampai ke kampung kami), “ujar seorang ibu separuh baya menyambut kedatangan kami, dengan pelukan penuh kasih. Kalimat dan pelukan itu langsung saja mampu menghilangkan rasa letih dan peluh kami setelah menempuh perjalanan panjang dengan medan yang terjal dan sangat berat. Ibu separuh baya tersebut adalah salah satu anggota jemaat GPP Jambu Dolok. Gereja ini adalah salah satu gereja jemaat (huria pagaran) di Resort Pulu Raja – Asahan. Untuk sampai ke sana, dengan mengendarai sepeda motor, diperlukan waktu tidak kurang dari 4 jam dari Gereja Resort  (sabungan), termasuk melalui jalan yang terjal, licin, dan bebatuan sepanjang >8 km. Hari itu kami sangat beruntung, doa tulus jemaat dikabulkan karena tadi malam tidak turun hujan sehingga kami tidak harus menghadapi medan yang lebih sulit untuk bisa tiba di sana.


Gereja GPP Jambu Dolok berada di desa Jambu Dolok, Kecamatan Pintu Pohan, Kabupaten Toba Samosir. Gereja ini dirintis pada tahun 2009 yang lalu, pada saat ini beranggotakan 15 keluarga. Pelayanan GPP hadir di sana untuk memenuhi kerinduan jemaat akan pelayanan rohani yang pada beberapa tahun belakangan tidak lagi mereka rasakan, mereka sangat merindukan akan kabar kesukaan Kristus untuk dapat menguatkan dan meneguhkan iman mereka. St. Parasian Panjaitan adalah Pimpinan Jemaat dengan dibantu oleh 6 orang penatua untuk melayani gereja kecil tersebut. Dengan segala kesederhanaannya, tampak gedung gereja berdiri anggun dengan latar persawahan dan pegunungan hijau nan asri. Suara gemericik air yang beradu dengan bebatuan di sungai jernih tak jauh dari gedung gereja menambah nuansa hijau yang menciptakan rasa jiwa yang begitu damai.

Di hari Minggu itu, Ibadah Minggu berjalan dengan sangat sederhana, tanpa suara musik atau keyboard, bahkan tanpa pengeras suara sekali pun. Namun kesederhanaan itu semua membuat ibadah terasa begitu hikmat, merasuk ke ruang-ruang hati terdalam. Dengan khusuk umat mengumandangkan pujian sebagai dupa yang harum kepada Bapa yang selalu memberkati hidup jemaat, Dia yang telah membuat padi-padi mereka mulai menguning, dan menumbuhkan pohon-pohon karet sebagai sumber kehidupan mereka sehari-hari. Semua berjalan dengan begitu hangat dan bersahaja.
Ibadah diakhiri dengan doa berkat, dan jemaat saling bersalaman dengan penuh suka cita. Lalu jemaat kembali ke rumah masing-masing, dan tanpa berlama-lama mereka segera mempersiapkan diri untuk berangkat ke rumah salah satu jemaat yang telah dihunjuk untuk mengadakan Kebaktian Rumah Tangga (Partangiangan Huria). Mengapa Kebaktian Rumah Tangga ini harus diadakan pada hari Minggu juga? Alasannya, karena pada hari lain, kecuali hari Minggu, sebagian besar jemaat berada dan menginap di ladang-ladang mereka yang jauh dari perkampungan (huta), sehingga hanya pada hari Minggu saja kesempatan mereka untuk dapat bersama di perkampungan. Kebaktian Rumah Tangga hari itu juga berlangsung hikmat, dengan kopi yang disajikan hangat oleh pemilik rumah.

Akses komunikasi juga tidak mudah, hanya di beberapa titik tertinggi di desa itu yang terjangkau jaringan seluler. Jaringan listrik masih sebuah impian. Membeli kebutuhan pokok dan menjual hasil kebun juga harus menuruni gunung tidak kurang dari 8 km ke perkampungan di pinggir jalan besar. Pernah suatu ketika, karena keterbatasan bahan untuk melakukan Perjamuan Kudus dan tidak mungkin lagi membeli ke kota, maka kami harus menggunakan kopi sebagai pengganti anggur perjamuan. Darah Kristus hadir di dalam kopi perjamuan. Dan menariknya, Perjamuan itu adalah salah satu Perjamuan Kudus yang paling khusuk yang pernah saya ikuti. Kenangan itu tidak pernah akan terlupakan.

Setelah menyegarkan diri dengan berendam di sungai yang sangat jernih dan dingin, hari pun beranjak malam. Hampir semua jemaat datang berkumpul di rumah tempat kami menginap dan menghabiskan malam dengan bercerita. Penuh tawa dan kehangatan. Dari hal mendiskusikan Firman Tuhan, membicarakan program gereja, sampai kepada curhatan-curhatan kecil tentang kehidupan rumah tangga mereka, semua saling menanggapi disertai dengan candaan-candaan ringan. Dalam segi pembangunan, ternyata dengan segala keterbatasan mereka, jemaat dengan swadaya sedang dalam tahap penyelesaian penggantian atap (seng) gereja. Namun demikian, mereka juga masih tetap bergumul bagaimana caranya untuk dapat mencat ulang gedung gereja yang warnanya sudah kelihatan mulai kusam dan pudar, serta mewujudkan harapan untuk memiliki lonceng (giringgiring) gereja. “Semoga ada pihak yang mau membantu kami, ya amang,“demikian harapan yang mereka sampaikan malam itu.

Tak terasa sudah larut malam, sampai ada seorang penatua mengatakan, “nidok rohangku nunga boi modom ma hita, nga loja amang panditanta jala manogot ingkon mulak tu ingananna nasida” (tampaknya kita sudah harus istirahat, bapak Pendeta kita juga sudah terlihat lelah dan esok pagi juga beliau harus berangkat). Kaum bapak memilih untuk tidur bersama di rumah tempat kami menginap, dengan obrolan-obrolan ringan sebagai penghantar keperaduan.

Sebelum tidur saya membayang-bayangkan: seandainya persekutuan di gereja-gereja kita yang lain juga memiliki kehangatan seperti apa yang mereka miliki ini, tentu akan terasa lebih bermakna persekutuan kita. Saling peduli, berbagi bersama, mencari tahu alasan mengapa seorang dari antara jemaat tidak dapat hadir di tengah mereka, saling mendoakan, mendiskusikan pergumulan gereja bersama, dan selalu merindukan berita kesukaan Yesus Kristus. Ini semua membuat saya bertanya dalam hati, mengapa kasih yang seperti itu semakin jarang kita temui di gereja kita? Apa mungkin karena mereka ini masih di perkampungan terpencil ya, sedangkan kita hidup di tempat yang sudah lebih maju. Atau karena mereka belum tersentuh dampak kemajuan, sedangkan hidup kita sudah di dunia internet? Atau mungkin karena gereja kita sudah semakin besar, ya? Atau mungkin kita sudah terlalu sibuk dengan diri kita sendiri sehingga kita tidak sadari lagi pentingnya sebuah persekutuan yang hangat? Seandainya persekutuan kita sehangat persekutuan gereja kecil ini. Seandainya kita bisa lebih peduli. Seandainya kita mau turut bergumul dengan apa yang dirasakan oleh teman-teman kita. Seandainya, seandainya... Ah, cukuplah saya berandai-andai, karena malam sudah semakin larut, hawa dingin dan suara alam Jambu Dolok memaksa saya harus segera bersembunyi di balik selimut tebal. Namun satu hal yang pasti, persekutuan yang hangat ini akan selalu di hati. Wajah Kristus telah hadir di dalam setiap senyuman dan tindakan kasih di wajah dan hidup mereka.
Tuhan memberkati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar