1. Tidak banyak pembaca Alkitab yang
tertarik mendalami bahkan membaca Kitab Wahyu. Bebe-rapa orang mengatakan bahwa
membaca kitab Wahyu bagaikan dibawa ke “alam lain”, begitu banyak istilah dan
simbol yang membingungkan, dan akhirnya kita tidak mengerti apa-apa.
Tetapi di pihak lain, ada juga
beberapa yang malah keranjingan membaca Kitab Wahyu ini, karena semakin bisa
masuk ke “alam lain” itu maka dianggap sesuatu yang semakin bagus sehingga bisa
dipakai sebagai kode ramalan tentang akhir zaman.
Memang benar Kitab Wahyu penuh dengan
bahasa simbolik, sehingga kita memang harus mengerti makna bahasa simbolik itu.
Namun, itu semua sesungguhnya dilakukan oleh penulis untuk “menyamarkan” objek
dalam Kitab ini demi kepentingan penyebarluasan Surat ini kepada khalayak umum.
Model penulisan Kitab Wahyu ini
sesungguhnya similar dengan Kitab para
Nabi yang ada di Perjanjian Lama, keduanya sama-sama memberikan suatu
peringatan melalui Firman Allah untuk zamannya sendiri. Sehingga inti utama
Kitab Ayub juga sama: Pada akhirnya Kerajaan Allah-lah yang akan menang. Sangat
sederhana, Allah yang akan menjadi Penguasa Tunggal, Allah yang melampaui
segala kuasa dunia.
2. Bila kita perhatikan, tampak adanya
kemiripan bagian awal perikop ini dengan Teks Khotbah Ibadah Minggu kita
(Yesaya 6:1-8). Sebagaimana penglihatan Nabi Yesaya tentang kemuliaan Allah di
takhta-Nya yang mahatinggi (Yesaya 6:1-3) sebagai awal dari langkah pelayanan
Yesaya sekaligus dasar dan bukti atas penyertaan Allah terhadap umat-Nya
ketika mereka dalam kegelisahan akibat kematian raja mereka yang mahsyur itu.
Demikian pula perikop ini diawali dengan penglihatan Rasul Yohanes akan
kemuliaan Allah di takhta mahamulia-Nya (Wahyu 4:1-3). Ini menunjukkan kepada
kita dengan jelas bahwa Allah yang telah kita kenal di Perjanjian Lama itu terus-menerus
berkarya dalam kemahatinggian-Nya untuk melindungi perjalanan umat-Nya,
menebus, dan bahkan memberikan kelegaan ketika mereka di lingkup penganiayaan
karena iman dan kesetiaan mereka.