Seorang
Bapak bemarga Panjaitan, di sebuah desa terpencil di wilayah Kabupaten Toba
Samosir, datang membawa dua orang anaknya dan meminta supaya Gereja bersedia
membaptis mereka. Dia bukan seorang Protestan, tetapi seorang penganut
kepercayaan “asli” nusantara: Parmalim. Dia harus membawa kedua anaknya untuk
mendapatkan Surat Pembaptisan sebagai syarat administrasi pengurusan Akte
Kelahiran di Kantor Catatan Sipil. Lebih jauh, di kolom agama KTP bapak
setengah baya tersebut juga tertera “Protestan”, itu karena dia memang
diharuskan memilih salah satu agama resmi di republik ini.
Bangsa Bhineka
Perbedaan
memang sudah merupakan hakekat kehidupan
manusia, ia tidak dapat diganggu-gugat. Hal itu bukan lagi suatu yang baru
muncul secara tiba-tiba pada masa-masa belakangan ini, namun dari perspektif
iman sekalipun menyatakan bahwa perbedaan itu telah ada semenjak penciptaan itu
dilakukan oleh Allah. Menolak perbedaan adalah tindakan yang menolak Allah yang
telah menciptakan perbedaan (bandingkan Kejadian 1:26-27; 2:19).
Dalam
konteks kebangsaan, kebhinekaan tentunya adalah sebuah keniscayaan. Dia
bukanlah suatu bahan perbincangan yang baru begitu saja muncul namun merupakan
eksistensi bangsa, dengan kesadaran penuh para pendiri bangsa ini sejak awalnya
telah menyatakannya dengan lantang bahwa perbedaan itu sebagai semboyan negeri
Indonesia. Bhineka dalam budaya dan bhineka dalam kepercayaan.