Jumat, 15 Februari 2019

Ibadah yang Benar (Maleakhi 3:13-18)

Maleakhi 3:13-18
Ibadah yang Benar

Teks:
13. Bicaramu kurang ajar tentang Aku, firman TUHAN. Tetapi kamu berkata: “Apakah kami bicarakan di antara kami tentang Engkau?”
14. Kamu berkata: “Adalah sia-sia beribadah kepada Allah. Apakah untungnya kita memelihara apa yang harus dilakukan terhadap-Nya dan berjalan dengan pakaian berkabung di hadapan TUHAN semesta alam? 
15. Oleh sebab itu kita ini menyebut berbahagia orang-orang yang gegabah: bukan saja mujur orang-orang yang berbuat fasik itu, tetapi dengan mencobai Allahpun, mereka luput juga.” 
16. Beginilah berbicara satu sama lain orang-orang yang takut akan TUHAN: “TUHAN memperhatikan dan mendengarnya; sebuah kitab peringatan ditulis di hadapan-Nya bagi orang-orang yang takut akan TUHAN dan bagi orang-orang yang menghormati nama-Nya.” 
17. Mereka akan menjadi milik  kesayangan-Ku sendiri, firman TUHAN semesta alam, pada hari yang Kusiapkan. Aku akan mengasihani mereka sama seperti seseorang menyayangi anaknya yang melayani dia. 
18. Maka kamu akan melihat kembali perbedaan antara orang benar dan orang fasik, antara orang yang beribadah kepada Allah dan orang yang tidak beribadah kepada-Nya.

Penulis dan Konteks Hidup
Dalam studi akademis, tampaknya Kitab Maleakhi ini tidak mendapatkan ruang perdebatan yang sampai menimbulkan ketegangan seperti yang dialami oleh kitab-kitab lain dalam gulungan Nabi-nabi Kecil. Childs (1980:489) menduga “hal ini disebabkan oleh pandangan umum yang melihat bahwa kerumitan yang terdapat dalam Kitab Maleakhi ini tidak sekompleks apa yang ditemukan dalam kitab nabi-nabi kecil yang lainnya. Demikian, pada umumnya para sarjana seolah-olah menyepakai konsensus yang menempatkan kepenulisan Maleakhi pada paruh pertama abad 5 sM sebelum peristiwa reformasi Ezra dan Nehemia.” Tentang ini kita akan menyinggungnya lagi nanti.
Siapakah Maleakhi? Superskripsi (1:1) “Ucapan Ilahi. Firman TUHAN kepada Israel dengan perantaraan Maleakhi”, adalah bentuk sastra yang biasa dalam tulisan kuno, seperti dalam Zakaria 1 dan lainnya. Namun berbeda dari nama kitab umumnya, Maleakhi (Ibr. Mal’aki) adalah gelar/ sebutan yang bearti “pembawa pesan” (utusan), ia bukanlah sebuah nama pribadi. Septuaginta (dan teks Yunani lain) mengartikannya dengan membubuhkan bentuk orang ketiga (pembawa pesan-Nya, his messenger), sedangkan teks Ibrani sendiri sesuai dengan pasal 3:1 menggunakan bentuk orang pertama (pembawa pesan-Ku, my messenger). Ada beberapa teori yang mencoba untuk mencari tahu siapa sebenarnya si “pembawa pesan” ini, tapi tampaknya argumentasi yang dibangun tidaklah begitu kuat, misalnya Bulmerincq yang mengusulkan penulisnya adalah salah seorang asistennya Ezra. Childs (1980:494) menduga bahwa nama pribadi dari nabi yang menuliskan mungkin hilang (atau dihilangkan?) ketika penyebarluasan tulisan ini, dan komunitas Ibrani telanjur mewariskan tradisi bahwa “mal’aki” seolah-olah nama pribadi itu sendiri.
Kapan kitab ini dituliskan? Ada pihak yang menganggap karena Kitab Maleakhi dalam Alkitab terdapat pada urutan akhir sehingga dituliskan paling terakhir, tentu anggapan ini keliru. Seperti yang telah disinggung di atas, Eissfeldt (1966:442-443) juga sepakat dengan kebanyakan sarjana yang meletakkan pentarikhan pada paruh pertama abad 5 sM di antara masa Hagai-Zakaria (520 sM) dengan masa Nehemia-Ezra (400 sM). Mungkin sekali ia sejaman dengan Deutero Yesaya (Yesaya 40-55). Dasar pengusulan ini adalah dengan tampak jelasnya eksistensi kultus Bait Allah serta fakta kehidupan umat yang menaati kultus tapi sekaligus adanya praktik penyembahan ilah lain yang tersebar luas, hal inilah yang nantinya ditentang oleh Ezra dan Nehemia. Periode ini adalah salah satu periode Alkitab yang sangat sedikit informasi yang dapat kita peroleh.

Kitab Maleakhi menyoroti lebih jauh dan tajam tentang ketegangan parah dalam komunitas setelah Pembuangan atas lemahnya kepemimpinan yang terjadi pada masa itu (Gottwald, 1987: 509). Misi ini dibangun dengan enam Ucapan Ilahi (oracles, Childs dan Pfeiffer menggunakan istilah “bagian”, Ibr. massa) dalam bentuk ketegangan antara imam dan umat, yang akhirnya nanti juga memiliki implikasi terhadap segi sosio-ekonomi serta membidik para elite politik negeri (1:1-5; 1:6 – 2:9; 2:10-16; 2:17- 3:5; 3:6-12; dan 3:13 – 4:3). Isinya sangat dekat dengan hal-hal yang menyangkut ibadah serta koreksi terhadap kesalahan-kesalahan di dalamnya, hal ini mengindikasikan bahwa pada masa penulisan kitab ini Bait Allah (yang kedua) telah didirikan kembali. Ironi memang karena imam tidak benar menggunakan Bait Allah tersebut (1:13), imam-imam juga tidak memberikan petunjuk yang benar tentang ibadah itu sendiri. Padahal secara politis, di “kecamatan” Yehuda yang merupakan bagian pemerintahan Persia, para imam (besar) memiliki kekuasaan strategis bukan hanya dalam peribadatan namun juga dalam lingkungan sipil. Secara sosial, pembangunan kembali Bait Allah ternyata tidak diikuti dengan munculnya suatu kehidupan yang secara nasional dikatakan baik, sehingga mengakibatkan banyak dari antara orang-orang Yahudi itu yang putus asa (Hinson, 2004:219). Hinson juga mencatat bahwa orang-orang yang kembali dari pembuangan merasa lebih “suci” dari mereka yang tidak ikut terbuang dan tetap tinggal di Yerusalem (yang jumlahnya tentu lebih banyak), hal ini memunculkan ketegangan tersendiri. Namun, marginalisasi yang terjadi ini malah menimbulkan rasa simpati dari suku-suku sekitar yang masih dalam teritori Persia, sehingga mereka berusaha mencari cara bagaimana mempersulit orang-orang Yahudi yang kembali dari pembuangan tadi.

Interpretasi Ayat
Apakah Tuhan yang harus memegang janjinya terhadap Israel, atau Israel yang harus segera mempersiapkan diri terhadap keadilan yang Tuhan akan tegakkan (Gottwaldt, 1987: 510). Dua perspektif ini menjadi refleksi penting bagi pembaca kitab Maleakhi. Menggaungkan keistimewaan sebagai bangsa pilihan atau bersiap untuk pengadilan yang akan didatangkan?
Barth (2001: 129) meringkas kebobrokan periode ini dengan mengatakan bahwa para imam telah merusak perjanjian Allah dengan Lewi dan menghina nama-Nya di dalam ibadah. Imam membuat banyak orang tergelincir oleh pengajarannya dan mendatangkan kutuk. Mereka tidak layak lagi melayani tempat kudus. Demikian pula umat Israel, mereka sedang menajiskan perjanjian bapa leluhurnya, mengkhianati isteri seperjanjian – yaitu melepaskan isteri sahnya untuk mencari isteri baru yang kaya walaupun perempuan itu berbakti pada ilah lain. Umat bersumpah palsu, lalai dengan persembahan, menipu Tuhan. (Usul saya: bacalah keseluruhan isi Kitab Maleakhi sebagai cara terbaik untuk mengetahui permasalahan sesungguhnya dan gejolak emosional di dalamnya). Ibadah yang hampir tidak berdampak pada kehidupan sosial.
Ø  Ayat 13-15: “Bicaramu kurang ajar tentang Aku, firman TUHAN. Tetapi kamu berkata: “Apakah kami bicarakan di antara kami tentang Engkau?” Kamu berkata: “Adalah sia-sia beribadah kepada Allah. Apakah untungnya kita memelihara apa yang harus dilakukan terhadap-Nya dan berjalan dengan pakaian berkabung di hadapan TUHAN semesta alam?”  Oleh sebab itu kita ini menyebut berbahagia orang-orang yang gegabah: bukan saja mujur orang-orang yang berbuat fasik itu, tetapi dengan mencobai Allahpun, mereka luput juga.”.
Ada dua persoalan para imam dalam ayat ini: kepura-puraan dan menggiring umat untuk melupakan perjanjian dengan Allah. Seolah-olah mereka tidak sadar atas perkataan yang telah diucapkan sehingga dapat berkelit sedemikian rupa. Setiap orang akan diminta pertangungan jawab atas firman yang diucapkan, oleh karenanya berhati-hatilah selalu. Yang lebih menyedihkan, para imam yang harusnya berfungsi untuk menguatkan keimanan dan pengharapan spiritualitas umat, tapi yang terjadi malah mereka yang menggerus iman dan pengharapan umat sedikit demi sedikit sedemikian meyakinkan. Bukankah menanamkan rasa pesimis adalah awal dari keterpurukan itu sendiri? Kata-kata “kurang ajar” yang dimaksudkan dalam ayat ini mungkin merujuk kepada 2:17, di mana Israel memutarbalikkan perspektif Allah tentang yang benar dan yang salah. Pada ayat 14, bahkan mereka menggiring umat untuk memandang bahwa ibadah adalah suatu kesia-siaan semata, sesuatu yang tidak menghasilkan apa-apa dan tak memiliki harapan! (Baker, 2006:293). Coggins dan Han (2011:221) dengan tegas mengatakan bahwa ketiga ayat ini merupakan pengingat yang baik bagi kita untuk selalu terjaga terhadap setiap perkataan siapapun, termasuk perkataan para imam dan orang-orang saleh, tidak mudah terlena dan mengaminkan segalanya tetapi tetap kritis dan mencari tahu kekesuaiannya dengan apa yang Tuhan inginkan dan nyatakan.
Ø  Ayat 16-18: Beginilah berbicara satu sama lain orang-orang yang takut akan TUHAN: “TUHAN memperhatikan dan mendengarnya; sebuah kitab peringatan ditulis di hadapan-Nya bagi orang-orang yang takut akan TUHAN dan bagi orang-orang yang menghormati nama-Nya.” Mereka akan menjadi milik kesayangan-Ku sendiri, firman TUHAN semesta alam, pada hari yang Kusiapkan. Aku akan mengasihani mereka sama seperti seseorang menyayangi anaknya yang melayani dia. Maka kamu akan melihat kembali perbedaan antara orang benar dan orang fasik, antara orang yang beribadah kepada Allah dan orang yang tidak beribadah kepada-Nya.
Ketiga ayat ini sangat kontras dengan ketiga ayat sebelumnya, bila di atas disuarakan bagaimana Allah yang begitu murka dengan ketidakbenaran dan kebohongan-kebohongan dalam ibadah, tetapi pada ketiga ayat ini yang ditawarkan Allah adalah restorasi atau pemulihan. Kalau kita periksa naskah aslinya, awal ayat 16 dimulai dengan kata “az”, yang dapat diartikan “lalu”, hal tersebut mengindikasikan ada perubahan fokus narasi pada bagian yang mengikutinya. Ada penghiburan bagi komunitas yang memilih untuk berbeda dari kebanyakan orang, kelompok ini terdiri dari orang-orang yang takut akan Allah (disebutkan dua kali dalam ayat 16), yaitu mereka yang menunjukkan rasa kagum dan hormat yang pantas bagi Allah dan jalan-Nya. Menurut saya termasuk pula mereka yang menyuarakan damai, yang mengingatkan bahwa ikatan “satu bapa” dan “satu Allah” (2:10) sebagai dasar kebersamaan untuk Israel yang lebih baik. Terlepas nuansa partikularis yang masih melekat pada diri keisraelan pada masa itu, tetapi cita-cita untuk menghadirkan kedamaian dengan mengingatkan bahwa kita semua merupakan milik Tuhan yang sama di bumi yang satu pula adalah langkah maju untuk hidup bersama. Tidak ada tempat bagi kaum ekslusivis dan radikalis, peradaban kita sudah lebih maju.
Dalam konteks periode Persia pada masa itu, penghargaan tinggi terhadap “Yang Disembah” juga dimiliki oleh bangsa-bangsa lainnya, tetapi yang dilakukan para imam Israel sudah sangat keterlaluan dengan menunjukkan penghinaan terhadap ritus dan Allah (Baker, 2006:296). “Pada hari yang Kusiapkan” (ayat 17), mungkin merujuk pada hari kedatangan-Nya, saat penghakiman bagi orang-orang yang menghina-Nya (bnd. 3:2). Yang pasti pada saat keadilan ditegakkan, menjadikan orang-orang setia sebagai “milik kesayangan-Ku sendiri” (ayat 17), restorasi telah diwartakan dan akan terjadi. Perbaikan ini bukan hanya untuk kehidupan Bait Allah saja, tetapi merupakan gerakan awal untuk pemulihan semua aspek kehidupan umat Allah.
Allah menyatakan tindakannya, menyelamatkan orang-orang dengan rasa kasihan, belas kasih, dan rahmat-Nya dari hukuman yang harusnya menjadi bagian mereka sebagai pelanggar perjanjian. Meskipun mereka secara de facto telah menyangkal hubungan perjanjian ayah-anak antara mereka dan Tuhan dengan tidak memberikan kepada Allah kehormatan. Allah mengorbankan persasaan-Nya, suatu hal yang dibutuhkan untuk sebuah pemulihan hubungan.
Ayat 18 berbicara tentang ibadah yang benar adalah sesuatu yang terlihat bukan saja dalam kekhusukan dan ketaatan penuh dalam ritus dan penyembahan di ruang-ruang tertutup, tetapi ia merupakan bentuk moralitas yang harus ditunjukkan dalam setiap dimensi kehidupan. Aktualisasi moralitas yang baik itu menjadi kesaksian bagi setiap siapa yang memandangnya mengetahui bahwa ia adalah bagian dari komunitas yang taat terhadap perjanjian dan kasih karunia Tuhan.

Refleksi dan Aplikasi
Gottwaldt (1987:510-511) dalam akhir pembahasannya tentang Kitab Maleakhi mengatakan bahwa “pesan dari pemberitaan ini jelas untuk mendorong penggantian para imam yang nyata-nyata terbukti korupsi, reformasi yang sebesar-besarnya bagi institusi Bait Suci!” Wah, sesuatu yang pasti tidak ingin didengar oleh mereka yang memiliki status quo di institusi yang kita cintai bersama: gereja. Saya mengikuti beberapa grup media sosial yang di antaranya membahas dan mewartakan sisi-sisi hidup bergereja. Banyak yang baik, tetapi tidak dapat dikatakan sedikit pula yang mendukakan hati. Di beberapa tempat terjadi pergolakan internal yang serius, penyebabnya dalam pengamatan saya selalu saja di seputar dua hal: uang dan kekuasaan (semoga saya salah). Dengan fakta yang terpapar itu membuat lahirlah pertanyaan, apakah begini model eklesiologi yang Tuhan inginkan? Bukankah gereja adalah institusi yang harusnya dibangun sebagai estalase yang baik untuk menjadi tiruan keidealan kehidupan bersama?
Saya tidak mengatakan bahwa persoalan ini muncul hanya dari kalangan para imam, tetapi imam yang tidak mewartakan kebenaran dan pengharapan di dalam hidup bergereja janganlah kita meletakkan harapan terlalu besar pada mereka untuk dapat mendatangkan damai sejahtera bagi kehidupan yang lebih luas. Tidak ada yang lebih buruk dari pada orang-orang yang mengatasnamakan Yang Maha Suci untuk kepentingan dan kepuasan diri sendiri.
Ibadah yang benar adalah sesuatu yang mengedepankan kebenaran dan kejujuran dalam praktiknya, ritual dan organisasi. Tidak hanya sampai di sana, ibadah tidak hanya tersembunyi di dalam gedung-gedung gereja dan komunitas Kristen saja, tetapi harus ditampakkan dalam setiap dimensi kehidupan dimana orang percaya mengaktualisasikan imannya: di ruang-ruang kerja, keluarga, di gedung DPR, di Rumah Sakit, di ruang persidangan, di Kantor Sinode, pada transaksi ekonomi, di jalan raya, dan seterusnya. Restorasi dimulai dari kehidupan bergereja yang baik, menjalar kepada kehidupan desa, kota, dan bangsa.




Pustaka

Barth, Christoph. Theologia Perjanjian Lama 4, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001).
Coggins, Richard dan Jin H. Han. Six Minor Prophets, (Blackwell’s Publishing, 2011).
Eissfeldt, Otto. The Old Testament: An Introduction, (New York: Harper and Row, 1966).
Gottwald, Norman. The Hebrew Bible, (Philadelphia: Fortress Press, 1987).
Childs, Brevard. Introduction to the Old Testament as Scripture, (Philadelphia: Fortress Press, 1980).
Baker, David. Joel, Obadiah, Malachi: NIV Application Commentary, (Michigan: Grand Rapids, 2006).
Hinson, David. Sejarah Israel Pada Zaman Alkitab, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004).



Tidak ada komentar:

Posting Komentar