Kamis, 09 April 2015

Mataku telah melihat Tuhan Semesta Alam (Yesaya 6:1-8)



1. Peneliti Modern (misalnya North, Eissfelt, Bright) pada umumnya sepakat mengatakan bahwa bagian cerita dalam perikop ini terjadi pada awal pelayanan Nabi Yesaya, sekitaran sepuluh tahun sebelum zaman perang Syro-Efraim yang terkenal itu. Dari ayat 1 dapat ditemukan keterangan jelas bahwa kejadiannya tepat pada “tahun matinya raja Uzia”, yaitu sekitaran tahun 742-740 sM. Perlu diingatkan, bahwa pada masa pemerintahan Uzia kerajaan Yehuda secara ekonomi hidup di dalam suasana damai dan makmur, walaupun ada catatan yang mengatakan bahwa sesungguhnya kemakmuran itu hanya dinikmati oleh segelintir orang. Secara politis, raja Uzia adalah salah satu dari beberapa raja kerajaan lain yang bersepakat untuk tidak tunduk kepada kerajaan Asyur yang memiliki kekuatan yang maha dahsyat ketika itu. Raja Uzia tetap bersikukuh bahwa Tuhan sebagai Raja Israel akan selalu menolong mereka.
2. Sekarang, raja Uzia yang penuh keberanian itu telah mangkat. Kematian raja Uzia tersebut tentunya memengaruhi kondisi psikis bangsa Yehuda, semua rakyat bertanya-tanya dengan penuh keraguan: akan bagaimanakah masa depan bangsa ini? Dan benar saja, setelah kematian Uzia ini situasi sosial politik Yehuda pun mengalami perubahan yang sangat cepat, raja-raja Yehuda selanjutnya tidaklah sekuat dan sebaik Uzia. Ketika seluruh rakyat dan tokoh Yehuda dalam kegamangan batin akibat situasi yang telah berubah tersebut ternyata nabi Yesaya (seperti Uzia) tetap teguh hati atas Kuasa Tuhan yang selalu melindungi dan berpihak terhadap bangsa pilihan-Nya.

3. Nabi Yesaya dipanggil ketika ia sedang mengikuti upacara persembahan kurban bakaran yang dilakukan oleh para imam. Asap kurban itu memenuhi seluruh ruangan Bait Suci, dan Yesaya merasa seolah-olah berada di bagian ruang mahasuci Bait itu. Ia dikelilingi oleh kemuliaan dan kesucian Allah yang duduk di sebuah takhta yang menjulang tinggi sekali. Sebenarnya apa yang “dilihat” oleh Yesaya hanya aspek tertentu dari kemuliaan dan sifat-sifat Allah secara simbolis, karena manusia tidak bisa melihat Allah lalu tetap hidup (bandingkan Keluaran 33:20-23). “...takhta yang tinggi...ujung jubah-Nya memenuhi Bait Suci” (ayat 1), menggambarkan Allah sebagai Raja yang paling mulia menurut pengalaman nabi, Dia yang mahatinggi dan Yang mahamulia. Penglihatan nabi Yesaya ini sebagai warta kepada seluruh Israel bahwa bukan kekuatan raja Uzia atau raja-raja dunia yang lainnya yang menjamin kesejahteraan bagi mereka, tetapi hanya Allah saja Raja yang Maha Tinggi di atas segalanya yang memelihara dan menjamin kehidupan mereka. Kekuatiran tentang masa depan menjadi tidak lagi relevan, karena kemuliaan-Nya menaungi setiap aspek kehidupan setiap makhluk di bumi.
4. “Serafim” (Ibrani: saraf, artinya: “menyala”) adalah golongan makhluk yang menyerupai malaikat yang mengelilingi takhta Allah. Mereka dilukiskan sebagai makhluk berdiri tegak di depan takhta-Nya dan siap untuk melayani dan melaksanakan apa yang diperintahkan kepada mereka. Dengan sepasang sayap yang melekat pada tubuhnya, mereka dimengerti dapat dengan cepat terbang melaksanakan perintah itu dan dengan semangat yang menyala-nyala! Simbolisasi Serafim ini menjadi pengingat yang baik bagi Israel bahwa ada beribu malaikat yang Allah persiapkan untuk melindungi mereka dari ancaman dan sengatan musuh-musuh mereka. Dalam konteks kekinian, Serafim merupakan simbol pemeliharaan Allah (Providentia Dei) terhadap umat yang dikasihi-Nya. Bisa saja memang “Serafim” yang dikirim Allah itu “tidak kita kenali” wajahnya karena dia adalah orang yang biasa kita lihat sehari-hari, atau dalam diri orang lain yang tentunya hadir untuk menolong kita dari kesukaran yang kita hadapi.
5. Para Serafim berseru-seru, “kudus,kudus, kuduslah...” (ayat 3). Tiga kali ucapan “kudus” kepada hakikat Allah yang tunggal, untuk ini penafsiran reformis (Luther dan Gereja Reformasi) menghubungkannya dengan ke-Tritunggal-an Allah. Kata “kudus” yang diucapkan sebanyak tiga kali merujuk kepada Allah Trinitas.
Yang Mahakudus telah berkenan menyatakan diri, memanggil Yesaya dan mengutusnya. Jika Allah Yang Mahakudus menyatakan diri dan berhubungan dengan dunia, maka kemuliaan-Nya meliputi seluruh bumi. 
6. Di hadapan kekudusan dan kemuliaan Allah itu, Yesaya menyadari kenajisannya. Suatu hal yang memang harus dimiliki oleh setiap manusia, menyadari tentang hakekat keberdosaannya. Dalam ayat 6-7, Serafim secara simbolis menyucikan Yesaya. Bara api diambil dari mezbah dan disentuhkan pada mulut Yesaya, ini berarti bahwa Allah berkenan mengampuni kesalahannya dan menghapus kenajisannya. Penyentuhan mulut dengan api dihubungkan dengan tugas kenabian Yesaya yang menuntut kemurnian dan keberanian dalam memberitakan firman Tuhan (bandingkan Zefanya 3:9). Yang menarik adalah, perjumpaan Yesaya dengan kemuliaan Allah dalam bagian perikop ini melahirkan ketetapan hati dan kebulatan tekad dalam penyerahan diri yang total, “Ini aku, utuslah aku!” (ayat 8). Bukankah hal seperti ini merupakan sesuatu yang langka pada masa belakangan ini, termasuk di gereja dan di kehidupan kita bermasyarakat? Saudara dan saya benarkah telah memiliki kebulatan tekad dalam penyerahan diri sebagai hamba Allah Yang Mahakudus? Cobalah renungkan dengan keheningan, namun bila hal  tersebut masih belum kita miliki, itu pertanda bahwa kita masih harus mencari dan bertemu dengan kemuliaan-Nya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar