Rabu, 15 April 2015

Allah Yang Melampaui Segala Kuasa Dunia (Wahyu 4:1-11)

1. Tidak banyak pembaca Alkitab yang tertarik mendalami bahkan membaca Kitab Wahyu. Bebe-rapa orang mengatakan bahwa membaca kitab Wahyu bagaikan dibawa ke “alam lain”, begitu banyak istilah dan simbol yang membingungkan, dan akhirnya kita tidak mengerti apa-apa.
Tetapi di pihak lain, ada juga beberapa yang malah keranjingan membaca Kitab Wahyu ini, karena semakin bisa masuk ke “alam lain” itu maka dianggap sesuatu yang semakin bagus sehingga bisa dipakai sebagai kode ramalan tentang akhir zaman.
Memang benar Kitab Wahyu penuh dengan bahasa simbolik, sehingga kita memang harus mengerti makna bahasa simbolik itu. Namun, itu semua sesungguhnya dilakukan oleh penulis untuk “menyamarkan” objek dalam Kitab ini demi kepentingan penyebarluasan Surat ini kepada khalayak umum.
Model penulisan Kitab Wahyu ini sesungguhnya similar dengan  Kitab para Nabi yang ada di Perjanjian Lama, keduanya sama-sama memberikan suatu peringatan melalui Firman Allah untuk zamannya sendiri. Sehingga inti utama Kitab Ayub juga sama: Pada akhirnya Kerajaan Allah-lah yang akan menang. Sangat sederhana, Allah yang akan menjadi Penguasa Tunggal, Allah yang melampaui segala kuasa dunia.
2. Bila kita perhatikan, tampak adanya kemiripan bagian awal perikop ini dengan Teks Khotbah Ibadah Minggu kita (Yesaya 6:1-8). Sebagaimana penglihatan Nabi Yesaya tentang kemuliaan Allah di takhta-Nya yang mahatinggi (Yesaya 6:1-3) sebagai awal dari langkah pelayanan Yesaya sekaligus dasar dan bukti atas penyertaan Allah terhadap umat-Nya ketika mereka dalam kegelisahan akibat kematian raja mereka yang mahsyur itu. Demikian pula perikop ini diawali dengan penglihatan Rasul Yohanes akan kemuliaan Allah di takhta mahamulia-Nya (Wahyu 4:1-3). Ini menunjukkan kepada kita dengan jelas bahwa Allah yang telah kita kenal di Perjanjian Lama itu terus-menerus berkarya dalam kemahatinggian-Nya untuk melindungi perjalanan umat-Nya, menebus, dan bahkan memberikan kelegaan ketika mereka di lingkup penganiayaan karena iman dan kesetiaan mereka.

Kamis, 09 April 2015

Mataku telah melihat Tuhan Semesta Alam (Yesaya 6:1-8)



1. Peneliti Modern (misalnya North, Eissfelt, Bright) pada umumnya sepakat mengatakan bahwa bagian cerita dalam perikop ini terjadi pada awal pelayanan Nabi Yesaya, sekitaran sepuluh tahun sebelum zaman perang Syro-Efraim yang terkenal itu. Dari ayat 1 dapat ditemukan keterangan jelas bahwa kejadiannya tepat pada “tahun matinya raja Uzia”, yaitu sekitaran tahun 742-740 sM. Perlu diingatkan, bahwa pada masa pemerintahan Uzia kerajaan Yehuda secara ekonomi hidup di dalam suasana damai dan makmur, walaupun ada catatan yang mengatakan bahwa sesungguhnya kemakmuran itu hanya dinikmati oleh segelintir orang. Secara politis, raja Uzia adalah salah satu dari beberapa raja kerajaan lain yang bersepakat untuk tidak tunduk kepada kerajaan Asyur yang memiliki kekuatan yang maha dahsyat ketika itu. Raja Uzia tetap bersikukuh bahwa Tuhan sebagai Raja Israel akan selalu menolong mereka.
2. Sekarang, raja Uzia yang penuh keberanian itu telah mangkat. Kematian raja Uzia tersebut tentunya memengaruhi kondisi psikis bangsa Yehuda, semua rakyat bertanya-tanya dengan penuh keraguan: akan bagaimanakah masa depan bangsa ini? Dan benar saja, setelah kematian Uzia ini situasi sosial politik Yehuda pun mengalami perubahan yang sangat cepat, raja-raja Yehuda selanjutnya tidaklah sekuat dan sebaik Uzia. Ketika seluruh rakyat dan tokoh Yehuda dalam kegamangan batin akibat situasi yang telah berubah tersebut ternyata nabi Yesaya (seperti Uzia) tetap teguh hati atas Kuasa Tuhan yang selalu melindungi dan berpihak terhadap bangsa pilihan-Nya.